Bab 1

Ibuku menikah dengan seorang pria kaya raya. Aku, anak dari pernikahan sebelumnya, harus ikut masuk ke keluarga konglomerat itu.

Hidup di keluarga kaya tentu saja menyenangkan. Kecuali satu hal, kakak tiriku yang tampan dan dingin itu sangat membenciku. Tatapan matanya padaku makin lama terasa makin aneh.

Sampai suatu malam, dia pulang dalam keadaan mabuk. Aku berteriak sampai suaraku serak, tetapi tetap saja aku terpaksa memanggilnya sayang semalaman.

"Tenanglah."

Jakun di leher pria yang memelukku itu tampak bergerak dengan penuh daya tarik. Matanya yang sedikit kebiruan seakan dibalut oleh kabut mabuk. Namun, naluri tubuhnya justru buas tak terkendali, menyeretku naik turun dalam lautan hasrat.

Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti bagaimana kami bisa melangkah sampai sejauh ini. Dia memang tampan, tetapi dia adalah kakak tiriku.

Aku memang sempat menyimpan perasaan padanya, tetapi malam ini jelas-jelas dia yang memulai semuanya lebih dulu setelah mabuk. Awalnya aku pikir pria ini sudah salah orang. Baru saja aku meronta sedikit, dia langsung merenggut dasi dari lehernya, mengikat kedua pergelangan tanganku dengan kasar.

"Plak!" "Buka kakimu!"

Aku sudah sebesar ini, tetapi pantatku masih saja dipukul. Aku hanya bisa meringkuk malu dalam pelukannya ketika dipaksa membuka semuanya lebih lebar lagi.

Seekor binatang liar seakan mengamuk di dalam tubuhku, seolah sedang melampiaskan amarahnya. Aku diempaskan hingga hancur berantakan, terus memohon ampun.

Namun, semua itu sia-sia. Ibuku berhasil membujuk ayah tiriku untuk pergi berbulan madu, jadi hanya kami berdua yang ada di vila besar ini.

Suara-suara memalukan itu pun terdengar makin jelas.

"Kak ...."

Begitu aku memanggilnya, entakan dari binatang itu malah terasa makin keras. Dia bahkan mulai menggigitku. Kini, rambut pria yang biasanya begitu terkendali itu tampak kusut. Kepalanya menunduk untuk mencari makanan di puncak gunungku.

Sambil menggigitnya lembut, pria itu berkata, "Kamu memanggilku Kakak, tapi memanggilnya sayang."

Tubuhku gemetaran hebat, akalku pun perlahan menghilang. Rasanya aku hampir mencair. Samar-samar aku mulai mengerti bahwa pria ini mendengar percakapanku di telepon dengan pacar baruku sebelum dia pergi minum malam itu.

Aku yang tidak tahan lagi, memohon dengan suara bergetar.

"Lepaskan aku …. Sayang ...."

Pria yang baru pertama kali merasakan gairah benar-benar menakutkan. Terlebih lagi, dia memiliki kebiasaan berolahraga. Tubuhnya tampak luar biasa di balik setelan jasnya. Bahkan, bagian privatnya lebih dari sekadar luar biasa.

Pria itu terkekeh pelan, lalu mengangkat tubuhku dengan satu tangannya.

"Ini baru benar, Sayang. Tenang saja, sebentar lagi akan selesai."

Lebih baik percaya pada hantu daripada percaya dengan ucapan seorang pria. Aku menangis sampai suaraku serak, sementara ciuman-ciuman penuh bau alkohol jatuh bertubi-tubi ke seluruh tubuhku. Sampai akhirnya, aku pingsan begitu saja.

Ketika terbangun, tubuhku sudah dibersihkan. Butuh waktu lama untukku bisa menerima kenyataan tentang apa yang terjadi semalam.

Aku tidur dengan kakak tiriku, yang selama ini selalu membenciku!

Saat aku dan ibuku masuk menjadi bagian dari keluarga kaya ini, ibuku sempat memeringatkanku dengan sangat serius. Yang paling penting adalah jangan pernah menyinggung putra tunggal dari suami barunya, James Peyton.

Meskipun ibu dan ayah tiriku akan menikah, kenyataannya hubungan mereka masih sebatas pacaran. Mereka sedang dalam proses menaiki tangga hubungan selanjutnya. Aku mengingat kata-kata ibuku dengan jelas. Jadi, saat pertama kali bertemu dengan James, aku berpura-pura menjadi gadis polos yang pendiam.

James kelihatannya tidak jauh lebih tua dariku, tetapi aura dominannya sangat kuat. Dia berdiri di tangga, memandangiku dari atas ke bawah dengan sorot mata yang aneh. Aku tidak bisa membedakan apakah itu adalah tatapan benci atau merendahkan.

Mungkin lebih banyak benci. Dia hanya bergumam pelan sebagai sapaan untukku.

Pada saat itu, aku merasa agak kecewa. Siapa yang akan merasa senang jika dibenci pria setampan itu?

Namun, sekarang jika aku memikirkannya lagi, sorot mata James saat itu bukanlah kebencian, melainkan hasrat yang menggelora.