Kapomu Kapan, Mas? (36)Ira menatapku dengan ekspresi panik."Gimana, nih, Ti?"Aku menggeleng. Bingung harus memberi solusi apa."Tadi pas aku berangkat remnya baik-baik aja, kok," katanya lagi.Kami tidak mungkin meneruskan perjalanan dengan kondisi rem blong seperti itu.Dalam kebimbangan, aku tak henti berdoa. Lalu, tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja."Ra, coba masuk ke lahan parkir sana!" Aku menunjuk lahan parkir lantai bawah atap gedung. Untunglah ketahuan rem blong kami masih berada dalam lahan parkir. Entah apa jadinya kalau kami sudah berada di jalan raya ketika baru sadar rem mobil Ira blong.Ira menuruti perintahku. Kami akhirnya masuk ke lahan parkir yang agak kosong. Di sana Ira berusaha mengendalikan mobilnya dan menurunkan gas pelan-pelan sampai akhirnya mobilnya bisa berhenti dengan sempurna."Kayaknya aku masih diincer, Ti," ucap Ira saat mobil benar-benar berhenti."Maksudnya, Ra?" Aku bertanya."Kayaknya orang-orang itu masih ngincer aku, Ti. Kalau kayak gini,
Kapokmu Kapan, Mas? (37)Ira. Bagaimana keadaannya? Apakah kebakaran terjadi di unit Ira? Lututku lemas ketika membayangkannya.Aku cepat-cepat menuju bagian depan gedung. Kulihat banyak orang dievakuasi. Akan tetapi, aku tak melihat Ira maupun Pak Arsyad.Aku semakin panik. Ingin rasanya aku masuk ke dalam gedung itu untuk memeriksa keadaan mereka. Sayangnya, baru juga beberapa langkah maju, tubuhku ditahan seseorang."Mbak ... gak boleh ke sana! Bahaya," kata orang itu.Aku bergeming. Lututku semakin seperti tak bertulang saat melihat kobaran api yang semakin besar. Api yang awalnya berasal dari bagian belakang apartemen, dengan cepat merambat ke sisi depan gedung itu.Tak butuh waktu lama tim pemadam kebakaran datang. Mereka dengan sigap mengevakuasi para penghuni apartemen. Aku berusaha mencari keberadaan Ira dan Pak Arsyad di antara orang-orang yang berhasil dievakuasi. Nihil. Mereka tidak ada di sana.Malam semakin larut. Aku tidak bisa berlama-lama di lokasi apartemen Ira. Aku
Kapokmu Kapan, Mas? (37b)"Kamu ngapain di rumah sakit?" tanya Pak Arsyad ketika kami sudah di dalam mobil."Saya nyari sodara saya, Pak.""Oh ....""Tadi malam apartemen tempat sodara saya kerja kebakaran. Saya lihat di tivi. Saya takut dia kenapa-kenapa. Makanya saya langsung cari info ke sini.""Oh, saudara kamu kerja di apartemen tempat saya tinggal?"Aku menatap Pak Arsyad."Bapak tinggal di apartemen itu juga? Bapak gak kenapa-kenapa, kan?" Aku pura-pura panik. Ya ... memang aku panik tadinya."Kamu khawatirin saya?" Pak Arsyad bertanya dengan nada menggoda."Pak ... saya lagi gak bercanda, loh.""Iya, saya tinggal di sana. Semalam saya sempat pulang. Tapi langsung keluar lagi karena Mama telpon minta saya tidur di rumah beliau.""Terus, tadi Bapak kenapa tidak masuk kerja?"Pak Arsyad tak menjawab. Cukup lama pria itu diam sampai akhirnya aku mengerti. Dia marah karena aku berulang kali memanggilnya dengan panggilan seperti di kantor. Padahal berkali-kali dirinya meminta dipang
Kapokmu Kapan, Mas? (38)Suara itu milik Bang Anton, kakak kandung Bang Robi. Apakah mereka terlibat dalam kematian kedua orang tuaku? Siapa lagi yang terlibat selain mereka? Apakah keluarga Bang Robi terlibat juga? Kak Elfa ... apakah termasuk ke dalamnya?Kucoba redam detak tak beraturan di dada dengan berkali-kali melafazkan istighfar. Barulah setelah aku bisa tenang, kulanjutkan membuka satu demi satu file bukti yang diberikan Ira. Sebagian besar isi file itu berupa pesan chat antara Bang Robi dengan beberapa orang. Di antaranya Bang Anton.Emosiku semakin menjadi-jadi saat mengetahui fakta sebenarnya. Kecelakaan yang terjadi pada kedua orang tuaku, dikarenakan ulah Bang Robi dan komplotannya. Hanya karena proyek kerja, keluargaku dibunuh dengan begitu sadis. Lalu, agar tak ketahuan, Bang Robi sengaja mendekatiku yang rapuh. Ya Allah ... jahat sekali mereka.Falshdisk kedua yang kubuka isinya tak kalah mencengangkan. Isinya adalah bukti Bang Robi menyuruh orang menghabisi nyawaku.
Kapokmu Kapan, Mas? (38b)Saat mata kami bertemu, aku bisa melihat wajanya merah padam."Maaf, saya refleks karena khawatir," ucapnya seraya memalingkan wajah."Iya ...." Hanya itu yang bisa kujawab.Pak Arsyad kembali menoleh ke arahku."Kamu sudah makan?" tanyanya.Aku menggeleng."Sedang tidak selera," jawabku acuh.Tanpa pikir panjang, Pak Arsyad langsung menarik tanganku keluar."Mau ngapain, Mas?""Makan! Kita cari makan. Saya gak mau kamu sakit."Pak Arsyad membuka pintu mobilnya dan mempersilakan aku naik. Setelahnya, dia menutup pintu mobil sisi penumpang bagian depan itu. Lalu berjalan untuk naik di sisi kemudi."Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku setelah mobil Pak Arsyad melaju."Ke mana saja yang penting cari makan buat kamu." Pak Arsyad bicara sambil fokus dengan jalanan di depannya. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku sejak naik mobil tadi."Tapi saya gak laper, Mas."Tepat saat aku mengatakan itu, mobil Pak Arsyad berhenti karena antrian lampu lalu lintas."Gak ada tap
Kapokmu Kapan, Mas? (39)Aku terperanjat melihat kedatangan Pak Arsyad secara tiba-tiba di ruang kerja Bang Robi."Kamu lagi ngapain di situ, Ning?" tanyanya.Aku yang salah tingkah langsung berdiri dari kursi kerja Bang Robi dan berpura-pura membersihkan meja kerja itu."Saya gantiin tugas teman, Pak," jawabku. Aku berusaha mengatur diri setenang mungkin. Padahal, degub jantungku sedang berlarian."Oh ... ya sudah. Lanjutin kerjaan kamu. Setelah itu ke ruangan saya, ya!" Setelah mengatakan itu, Pak Arsyad berbalik arah dan keluar dari ruang kerja Bang Robi.Aku menarik napas lega setelahnya.Cepat-cepat kuselesaikan apa yang sudah kulakukan. Lalu, sesegera mungkin keluar dari ruang kerja Bang Robi. Beruntung, saat keluar aku belum melihat tanda-tanda keberadaan sekretaris Bang Robi. Jadi, semua aman menurutku.Aku berganti arah ke ruang kerja Pak Arsyad. Beliau sudah menunggu di sana. Duduk dengan posisi menopang dagu.Lantai ruang kerja yang sudah kubersihkan sebelumnya, menjadi kot
Kapokmu Kapan, Mas? (39b)Perusahaan dan aset-aset berharga yang tak pernah kuketahui sebelumnya, diwariskan untukku. Aku yang dibesarkan Bude Ningsih dengan kesederhanaan, tak terlalu menggubrisnya. Padahal ada orang serakah yang ingin menguasai semuanya. Orang itu adalah Bang Robi."Jadi gimana, Nduk, langkah kamu selanjutnya? Surat-surat berharga warisan orang tua kamu gimana?""Nah itu dia, Bude, masalahnya semua itu hilang.""Memang kamu simpan di mana, Nduk?""Di rumah Mbok Mina, Bude.""Rumah yang kebakaran itu?"Aku mengangguk."Berarti ikut terbakar?"Aku menggeleng."Kemungkinan enggak, Bude. Aku rasa ada yang ambil. Tapi aku gak tau itu siapa. Mau tanya Mbok Mina tapi belum ada kesempatan."Malam itu kuhabiskan dengan bertukar kisah bersama Bude Ningsih. Mendengar nasihat-nasihatnya membuat hatiku terasa damai. Semua sesak dan perih seolah sirna begitu saja.Aku bahkan tertidur di pangkuan Bude Ningsih. Lalu, baru terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Posisi Bude Ningsi
Kapokmu Kapan, Mas? (40)"Apa?" Nada bicara Pak Arsyad berangsur normal."Saya melakukan itu karena memang pantas.""Maksud kamu?""Saya melakukan itu karena memang saya ingin menghancurkan Pak Robi!""Saya tidak tahu masalah kamu dengan Pak Robi. Tapi, asal kamu tau, apa yang kamu perbuat berdampak buruk bagi perusahaan!" Pak Arsyad kembali meninggikan nada bicaranya.Aku tak menjawab."Siapa kamu sebenarnya? Hah?" Pak Arsyad kembali membentakku."Siapa pun saya, bukan urusan Bapak," jawabku cuek. Aku mencoba menetralisir rasa yang entah apa. Bahagia, juga terluka. Aku bahagia karena rencanaku ternyata berjalan dengan lancar. Akan tetapi, aku juga merasa terluka akibat sikap Pak Arsyad. Terlebih ketika bentakan demi bentakan dilontarkannya kepadaku."Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi!"Aku yang sedari tadinya menunduk, lantas menoleh ke arah Pak Arsyad.Saat mata kami bertemu, Pak Arsyad segera mengalihkan pandangannya.Entah kenapa, ada nyeri yang menjalari hatiku mend