Share

Part 3

"Kamu itu kalau ngomong gimana, sih? Plin-plan banget."

Reno hanya menahan tawa.

Aku menghela napas lega melihat tawanya. Berarti dia cuma bercanda kalau selingkuh sama Pita.

Hanya saja yang membuatku kesal adalah kami tidak jadi berhenti di salon kecantikan.

"Udah, nggak usah punya niatan bunuh diri. Lo kerja aja di cafe gue, pumpung lagi butuh karyawan. Ntar bonusnya, gue ajak lo ke salon kecantikan rutin setiap weekend, kalau kerja lo bagus tapi."

Aku terdiam.

Reno menoleh ke arahku sambil menyeringai lebar. "Gue yakin, kalau jerawat lo hilang, mantan suami lo itu bakalan menyesal. Semua orang yang udah ngehina lo pasti bakalan gigit jari."

Aku menatap Reno lamat-lamat. Bingung mengartikan apa motifnya menolongku. Karena kasihan, kah? Karena cinta dengan Pita, adikku? Karena butuh karyawan? Atau karena tertarik denganku?

Ah, motif seseorang yang menolong kita itu memang tidak perlu diartikan niatnya, yang penting kita tetap harus mengucapkan terimakasih.

"Ini rumahku, kamu boleh tinggal di sini, bebas. Nggak usah bayar uang sewa." Reno memasuki gerbang rumah megah yang terdapat taman kecil di depan rumah.

"Tapi, syaratanya kamu harus kerja di cafeku. Terus kalau pulang kerja bantu bersih-bersih, nggak pa-pa, kan?"

"Ini rumahmu sendiri, apa rumah orangtuamu?"

Reno memarkirkan mobilnya di garasi. "Rumah gue, dong."

"Kamu udah nikah?"

"Udah, istri gue dua. Plus selingkuhan gue si Pita."

"Seriusan, sih, kalau ngomong. Bikin orang bingung aja."

Reno membuka pintu mobil, kemudian turun sambil menarik tas kantornya.

Kupikir dia akan membukakan pintu. Ternyata dia malah melangkah lebih dulu memasuki rumah.

Sambil menghela napas aku akhirnya turun dari mobil. Tak apalah tinggal di sini. Yang penting dapat pekerjaan dan juga bonus facial di salon setiap weekend.

Kali aja hidupku bisa berubah, dan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari mas Aldi.

"Ayo gue anterin ke kamar lo."

"Mana istri kamu?" tanyaku kepo.

"Hmm, gue nggak punya istri," jawab Reno ketus.

Gendeng nih orang. Omongannya nggak jelas banget.

"Katanya istrimu dua?"

"Iya dua, tapi lagi nyari mereka ada di mana. Belum ketemu-ketemu."

"Ngomong aja kalau nggak laku." Aku mengerucutkan bibir.

"Emangnya lo. Karena tersakiti mau bunuh diri."

"Mending udah pernah nikah, lah kamu? Cuma halu."

"Nikah kalau nggak pernah disentuh percuma. Kayak gue nih, belum nikah tapi udah pernah nyentuh si Pita."

"Seriusan sih kalau ngomong! Ishh! Kamu itu pernah selingkuh beneran sama Pita enggak? Ngomong mencla-mencle kayak orang gila. Pusing sendiri dengerin omongan kamu."

"Yaudah, sih, santai. Nih kamar lo." Reno membuka pintu sebuah kamar yang ada di belakang.

"Jawab dulu, kamu pernah selingkuh sama Pita enggak?"

"Enggak, ah, elah, khawatir amat."

"Lah, terus ngapain ngomongnya gitu terus?"

"Sengaja bikin lo emosi. Orang kalau emosi pasti nggak jadi bunuh diri, pengennya bunuh orang."

"Iya, rasanya pengen bunuh kamu."

Reno menggindikan bahu sambil tersenyum miring. "Sana masuk. Bikin makanan sendiri kalau lapar."

Aku akhirnya masuk ke dalam kamar yang sedikit berantakkan dan porak poranda itu.

Menghempaskan ransel ke bawah lantai, kemudian mulai merapikan seprei yang berantakkan.

Aku mengernyit melihat sebuah k**ndom tergletak di sana. "Punya siapa, nih?"

Aku bergindik jijik saat cairan putih menetes di benda tersebut. Dengan cepat aku membuangnya ke tong sampah. Punya siapa, ya? Jorok banget nggak dibuang.

Apa punya Reno? Ah, tidak mungkin. Ini kan rumah Reno, masak dia mau main gitu-gituan di kamar pembantu.

Atau jangan-jangan dia sudah punya istri, dan selingkuh di sana?

Gila! Pusing sendiri mikirin kehidupan pria koplak itu yang sebenarnya.

Udahlah. Mungkin ini punya pembantunya yang sebelumnya tidur di sini.

***

Pagi-pagi sekali aku membantu Bi Surti memasak sarapan. Kami begitu cocok berkolaborasi dalam membuat makanan, padahal baru kenal beberapa jam yang lalu. Saat beliau membangunkanku tidur.

Kata bi Surti, Reno memang belum menikah. Kutanya siapa yang sebelumnya tidur di kamarku, beliau bilang tidak tahu. Karena beliau hanya ART laju, yang pulang ke rumah jika pekerjaannya sudah beres.

Aneh banget, lagian kalau mau nglakuin gitu-gituan Reno nggak perlu main di kamar pembantu. Di kamarnya saja sudah bebas. Bodo amatlah.

Setelah memindahkan semua menu masakan ke meja makan. Bi Surti menyuruhku makan. Ada sebagian sisa makanan yang disisakan untuk kami. Nafsu makanku masih seperti sebelumnya. Hambar, tidak berselera.

Teringat dengan mas Aldi yang selalu mengabaikanku selama 7 bulan. Andai saja, aku tahu jika dia jijik denganku. Pasti aku sudah pergi dari rumah itu sejak dulu.

Sedihnya hidupku. Padahal aku sebenarnya sangat mencintai mas Aldi, tetapi dia tidak pernah membalas cintaku.

Reno menuju ke dapur setelah sarapan. "Dihabisin makanannya. Siapa yang mau ngabisin kalau bukan lo yang ngabisin."

Aku hanya memberengut. Mentang-mentang gendut emangnya bisa ngabisin semuanya apa.

"Nanti sore makanannya dipanasin  lagi, ya, Bi. Biar kalau malam masih bisa dimakan," ucap Reno kepada bi Surti.

"Iya, Den."

"Owh, iya, Pus, sehabis makan kamu langsung siap-siap kerja jadi pelayan di cafeku. Nanti bakalan dianterin dua bodyguardku di luar," ucap Reno kemudian melenggang pergi dari dapur. Setelah pamit mau berangkat ke kantor dulu.

"Makan yang banyak, Ndut, biar nambah gendut."

"Bi Surti, udah dibilangin jangan panggil aku gendut."

Bi Surti terkekeh.

Setelah makan, aku langsung bergegas mandi kemudian berganti baju. Siap-siap berangkat ke cafe milik Reno.

Ada dua bodyguard yang menunggu di teras rumah. Mereka juga baru saja sarapan di meja makan bersama Reno. Kupikir Reno  itu memang gila, karena menyuruhku dan bi Surti mamasak makanan yang banyak. Ternyata makanan itu tidak Reno makan sendiri, melainkan untuk para pembantu-pembantunya yang bekerja di rumah ini.

"Sudah siap?" tanya salah satu bodyguard berbadan kekar. Memakai kaos hitam ketat, dan celana jeans biru.

Aku mengangguk.

Mereka bedua beranjak. Kemudian memberi isyarat agar aku mengikuti mereka.

"Nggak naik mobil, ya?" tanyaku bingung.

"Enggak, cuma dekat, kok."

Okelah, nggak masalah. Sekalian olahraga.

Mereka berdua terus malangkah dengan tenang. Akan tetapi sudah 30 menit berlalu kami tetap belum sampai ke kafe milik Reno.

"Ini namanya jauh, Mas. Besok naik mobil aja."

Kedua bodyguard itu hanya terdiam, dengan wajah datar.

Aku mendengkus, sambil menyeka peluh yang menetes di dahi. Kakiku sampai pegel berjalan jauh seperti ini. Menyebrangi jalan raya, menyusuri gang, melewati pasar.

"Pesen angkot kenapa, sih?" keluhku dengan tubuh dibanjiri oleh keringat.

"Boros!" jawab mereka serempak.

Sampai satu jam kemudian kami telah sampai di sebuah cafe yang masih sepi. Mungkin sekitar 3 km kami berjalan kaki. Di atas plakatnya tertulis buka mulai jam 10.00 - 00.00.

Aku duduk di salah satu anak tangga terbuat dari kayu yang ada di depan teras kafe megah milik Reno. Capek sekali rasanya. Kedua bodyguard ini mengerjaiku, awas aja nanti. Aku aduin ke Reno.

"Masih ada waktu 2 jam lagi sebelum kafenya buka, mari kita jalan-jalan lagi. Tuan Reno memerintahkan anda untuk banyak jalan-jalan, walaupun sejauh apapun tempat tujuan."

"Emang nggak waras itu majikanmu. Ngomongnya asal ceplos, kelakuannya aneh, par ...." Aku menaikkan sebelah alis, melihat ekspresi Bodyguard itu yang hanya diam seperti kulkas. Kemudian menghela napas, lelah. Kalau majikannya dihina pura-pura tidak mendengar. Hebat banget settingannya Reno.

Orang berlemak biasanya keringatnya lebih dobel dari orang kurus biasa. Aku mengibas-ngibaskan tangan.

"Mau beli pakaian baru di mall?"

"Kalian yang beliin."

Bodyguard itu mengangguk.

"Ayo, nggak pa-pa. Pakaianku bau keringat."

"Mall sekitar 2 km dari sini, mari kita jalan kaki."

Aku membulatkan mata. "Whatt? Jalan kaki lagi? Kenapa nggak pesen ojek online aja, sih, naik angkot kek."

"Tidak bisa, itu sudah peraturan dari tuan Reno."

"Majikanmu itu memang sudah nggak waras!" Aku melotot sebal.

Kedua bodyguard itu langsung buang muka ketika majikannya di hina.

***

2 Jam kemudian.

Beberapa pelayan yang bekerja di kafe Reno sudah datang. Ada 4 pelayanan yang bekerja.

Yang pertama, namanya Ben, si barista kopi. Kemudian ada Cindy dan Sevelyn yang bertugas membuat makanan dan cemilan yang disediakan. Ada pula Melin, yang bekerja sebagai kasir.

Awalnya mereka mengejek dan menertawakanku. "Bisa kabur semua pelanggan kita, kalau pelayannya kayak gini."

"Jerawatmu bikin orang ketakutan."

Dan, berbagai cibiran yang lain.

"Aku yang bikin cemilan dan makanan aja." Aku menunduk.

"Gimana kalau lo jadi tukang bersihin toilet aja, cocok tuh sama wajahnya," ledek Sevelyn, yang diikuti gelak tawa dari yang lainnya.

Aku hanya menunduk pasrah. Dari dulu selalu saja seperti ini. Selalu jadi bahan ledekan. Kebal-kebal.

Hanya mas Aldi yang tidak pernah meledekku. Dia selalu diam saja, dan pernah beberapa kali tidur seranjang denganku, walaupun tanpa menyentuh. Selebihnya mas Aldi lebih suka tidur di sofa.

Malu aku jika tahu mas Aldi ternyata jijik kepadaku. Tapi setidaknya, saat bersama dia aku tidak pernah dikata-katai lagi.

"Yaudah lah terserah nih gajah bengkak mau tugas jadi apa. Gue mau nyamperin pelanggan dulu." Sevelyn buru-buru menghampiri pelanggan pertama yang datang pada siang ini.

Aku menoleh ke arah dua pelanggan yang datang itu. Seorang pria berahang tegas, memakai kemeja biru tua yang dimasukkan ke dalam celana formal. Bersama seorang wanita manis yang memakai gamis hitam dengan khimar berwarna kuning kecoklat-coklatan.

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Ma ... Mas Aldi? Sama Pita?"

Mas Aldi selingkuh sama Pita?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status