Di paviliun, malam itu— Qingyan menatap Lin Yue dengan wajah serius. “Nona, kenapa menerima tawaran Kaisar? Itu sama saja menantang ayahmu sendiri. Apa Nona tidak sadar betapa berbahayanya ini?” Lin Yue menoleh sekilas. Wajahnya tenang, hanya matanya yang menyiratkan kilat dingin. “Apa yang kau khawatirkan? Aku bukan wanita lemah.” Ia mengelus lembut kepala Yueya yang meringkuk di pangkuannya. Qingyan menggenggam erat tangannya. “Tapi Kaisar… dia kultivator puncak. Nona belum cukup kuat untuk melawannya.” Lin Yue tersenyum tipis. “Seberapa tinggi pun ilmunya, kalau hati dan pikirannya tidak sejalan, kalau telinga dan matanya memilih buta… pada akhirnya, ia tetap akan kalah.” --- Keesokan Pagi – Balairung Balairung penuh sesak. Para pejabat, bangsawan, hingga murid sekte berdiri tegang, menanti tontonan. Suara bisik-bisik berdesir, bercampur rasa ingin tahu dan harap akan kehancuran sang putri buangan. Kaisar duduk di singgasana, wajah tenang tapi tatapan matanya menusuk. “L
Kata-kata Kaisar terpantul di dinding giok, jatuh bagai palu yang menghantam dada semua orang. Para pejabat menunduk dalam, sebagian pura-pura sibuk merapikan lengan jubah, tak berani menatap. Beberapa yang licik saling melirik, senyum tipis terbit di sudut bibir. Di sisi kanan, Putri Ronghua menunduk dengan wajah sendu, tapi kilatan puas tak bisa disembunyikan di sudut matanya. Selir Agung mengelus bahu putrinya, tatapannya tajam menunggu Lin Yue hancur. Bisik-bisik pelayan menetes di udara. “Putri buangan…” “Tak pantas…” “Bagaimana mungkin Kaisar sendiri mengatakannya…?” Qingyan mengepal tangan di belakang Lin Yue, jemarinya bergetar menahan amarah. Ia ingin maju, tapi punggung tegak nona mudanya membuat langkahnya tertahan. Udara di balairung semakin padat. Asap dupa menebal, menekan dada semua orang. Hening. Semua mata tertuju pada Lin Yue, menunggu ia menunduk. Namun yang terdengar hanya napasnya sendiri, berat, menahan badai. Tatapannya terangkat. Aura pekat dan mence
Ronghua menatap luka di tangannya, darah menetes pelan. Wajah cantiknya yang biasanya penuh senyum anggun kini berubah pucat lalu merah padam. “Berani sekali binatang hina ini melukaiku!” serunya tajam, suaranya bergetar antara marah dan malu. Yueya mendesis pelan dari pangkuan Lin Yue, bulu-bulunya berdiri, ekornya mengembang. Lin Yue menepuk lembut kepala kucing putih itu, lalu menatap Ronghua dengan tatapan menusuk. “Binatang hina?” bibirnya melengkung tipis. “Kupikir hanya orang yang tak punya wibawa yang menyebut makhluk suci seperti itu.” Qingyan yang duduk di samping Lin Yue refleks menunduk dalam-dalam, menahan napas. Ia tahu, bentrokan ini bisa berbuntut panjang. Ronghua menggertakkan gigi, matanya membara. “Kau berani melawanku di dalam istana? Jangan lupa siapa yang berdiri di belakangku.” Lin Yue mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya rendah namun jelas, menusuk telinga setiap orang di ruangan. “Siapapun yang ada di belakangmu, tak akan mengubah kenyata
Lin Yue menyelesaikan kultivasinya. Pikirannya jernih, tubuhnya rileks, tapi matanya langsung tertuju pada belati yang tergeletak di meja. Ia meraih gagangnya—dingin, dinginnya menembus kulit. Saat bilah bergetar, cahaya biru melesat keluar, membentuk sosok rubah kecil berekor tiga. Mata rubah itu bersinar tajam, membuat dada Lin Yue berdebar. “Roh… suci?” bisiknya nyaris tak terdengar. Sebelum sempat mencerna, api keemasan muncul. Fenghuang terbentuk di sampingnya, kepakan sayapnya membuat udara bergetar. Suara tajamnya menusuk: “Jangan salah pilih.” Lin Yue menahan napas. Ia menatap dua makhluk agung itu, jantungnya berdentum keras. Rubah itu menunduk. “Aku memilihmu.” “Namamu?” Lin Yue bertanya, suara bergetar. “Yueya,” jawabnya lirih. Percakapan berlanjut, ketegangan menggantung di udara. Fenghuang menguji, Yueya membalas dengan senyum tenang, berjanji rela terbakar bila berkhianat. Lin Yue hanya bisa berdiri kaku di antara mereka—tapi di dadanya, tekad tumbu
Tatapan Lin Yue bagai bilah dingin, menancap ke arah tiga orang yang menuduhnya. Asap memenuhi ruangan, membuat sebagian tamu menutup hidung dan berbisik. Namun langkahnya tetap mantap, kepala tegak, hingga suara derap kakinya terdengar jelas di lantai batu. Teruskan menuduh. Teruskan mencibir. Aku sudah terlalu lama menunduk. Malam ini, aku keluar sebagai diriku yang baru. “Dia… bukan Lin Yue yang dulu,” bisik seorang bangsawan. Lin Yue tidak menoleh. Benar. Aku bukan lagi boneka untuk diinjak. --- Paviliun Lin Yue Bulan menggantung redup di langit. Lin Yue berdiri di jendela, rambutnya digerakkan angin malam. Di halaman, pelayan-pelayan sibuk membereskan puing kekacauan. “Pangeran Feiyan dikurung sebulan penuh… di penjara keluarga kerajaan,” bisik seorang pelayan, suaranya bergetar. Lin Yue memejamkan mata. Feiyan, kau hanya buah bidak yang sudah jatuh. Dan aku… aku yang dulu terbuang, kini berdiri di atas kepalamu. Sudut bibirnya terangkat tipis, hampir tak terlihat. ---
“Hahaha… ribut sekali.”Suara Pangeran Mo terdengar santai. Ia melangkah ke sisi Lin Yue, menatap Kaisar dengan senyum seenaknya.“Yang Mulia… mengapa terburu-buru menuduh istriku?”Senyumnya tampak polos, tapi setiap kata jatuh bagai palu.“Api memang indah… tapi bukan dia yang menyalakannya.”Kaisar menyipitkan mata. “Lalu menurutmu siapa? Atau justru kau sendiri yang melakukannya?”Pangeran Mo mengangkat tangannya dengan malas. “Untuk apa aku repot-repot? Aku terlalu pintar untuk melakukan kebodohan semacam itu.”Bisik-bisik mulai terdengar. Semua tamu, selir, dan pangeran menahan napas melihat Kaisar beradu mulut dengan Lin Yue dan Pangeran Mo.Selir Agung maju, matanya berkilat. “Sudahlah, Putri Lin Yue! Akui saja. Hanya kalian berdua yang mungkin berani melakukan hal ini!”Lin Yue menoleh dengan tatapan dingin. “Apa maksudmu? Sejak tadi aku di kediamanku. Aku keluar hanya karena mendengar ledakan. Dan sekarang… aku justru dituduh?”Kaisar menekan suara beratnya. “Bicara jujur, P