Share

Bab 11 Bertemu

Author: Lin shi
last update Last Updated: 2025-09-16 21:37:57

Sore itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan hanya karena angin sore yang menyelinap malas lewat jendela ruang tamu yang terbuka setengah, tapi juga karena aura kelam yang menyelimuti Danang. Ia terduduk di sofa, kemeja kerja yang kusut menjadi saksi bisu betapa berat hari yang baru saja dilaluinya. Pijatan di pelipisnya tak mampu mengusir bayangan-bayangan yang berputar di kepalanya. Endang keluar dari dapur, tangannya sibuk mengeringkan sisa air ditangannya. Langkahnya terhenti di depan sofa, sorot matanya menyelami wajah putranya yang pucat.

“Dan, Mama mau tanya soal usaha restoran itu,” suara Endang lirih, seolah takut membuyarkan lamunan Danang.

Danang hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap kosong ke arah dinding. “Nggak jadi, Ma.”

Kening Endang berkerut dalam. “Nggak jadi? Kok bisa? Bukannya kamu dulu semangat sekali? Uang yang Mama kasih… terus gimana?”

Helaan napas berat lolos dari bibir Danang. Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang menyimpan segudang beban.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 60 Menunggu bahagia

    Setiap hari, Dina selalu datang ke rumah sakit untuk melihat ketiga buah hatinya. Ia tak pernah absen, bahkan di hari hujan sekalipun. Ketiga bayi mungilnya menjadi alasan terkuatnya untuk terus bertahan.Hari ini, suasana ruang NICU terasa berbeda. Wajah dokter anak yang biasanya tenang kini tampak tersenyum hangat. “Perkembangan kedua bayi laki-laki Ibu sangat baik,” ujarnya sambil menatap Dina. “Rayan dan Revan sudah cukup kuat untuk dibawa pulang. Tapi untuk Alya… mohon bersabar, ya, Bu. Berat badannya belum stabil, dan pernapasannya masih perlu dipantau beberapa hari lagi.”Dina mengangguk, namun hatinya terasa berat. “Dok, apakah ada kemungkinan Alya bisa segera pulang dalam waktu dekat ini?” tanyanya penuh harap.Dokter itu tersenyum lembut. “Kami akan terus memantau kondisinya, Bu. Kami optimis, tapi kita harus sabar. Setiap bayi memiliki waktu yang berbeda untuk pulih.”Ucapan dokter itu seperti dua sisi mata uang bagi Dina, bahagia sekaligus sedih. Ia menatap ketiga bayinya

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 59 Mengharapkan bahagia

    “Bun, uang dari mana?” tanya Dina memberanikan diri, suaranya bergetar menahan cemas yang menggelayuti pikirannya. Udara sore yang lembap semakin menekan dadanya. Ia menatap bundanya yang duduk di sudut ruang tamu sederhana mereka, dikelilingi tumpukan kain dan benang warna-warni. Bau lembut kain baru bercampur aroma kopi dingin di meja kecil di sebelah mesin jahit.Aini, yang serius memasang kancing pada baju yang baru saja dijahitnya dengan penuh ketelitian, menoleh perlahan. Gerakannya terhenti, jarum di tangannya melayang di udara. Keningnya berkerut, memperlihatkan garis-garis halus yang semakin jelas seiring bertambahnya usia. Tatapannya beralih ke wajah putrinya yang tampak gelisah.“Uang apa?” jawab Aini, nada suaranya datar namun terdengar ragu, seolah menimbang apakah pertanyaan itu perlu dijawab sekarang.“Untuk bayar rumah sakit?” Dina bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tetap gemetar. “Tadi… hampir enam puluh juta keluar, Bun. Uang dari mana? Apa bunda ber

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 58 Kecewa

    Sore itu, udara di gang kecil itu terasa lembap dan berdebu. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya jingga di dinding-dinding rumah yang rapat berjejer. Danang berjalan di belakang Pak RT dengan langkah mantap tapi hati yang was-was. Di sampingnya, Yoga ikut melangkah pelan, menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.“Rumahnya di ujung sana, Mas,” kata Pak RT sambil menunjuk sebuah rumah sederhana bercat hijau muda dengan pagar besi yang mulai berkarat. “Pemuda itu jarang keluar, tapi beberapa kali warga lihat dia belanja di warung depan.”Danang mengangguk. Hatinya berdebar pelan. Entah kenapa, ada harapan kecil yang tumbuh, semoga kali ini benar-benar Deni.Setelah mengetuk beberapa kali, pintu rumah itu terbuka. Seorang pemuda muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan sekilas... mirip sekali dengan Deni. Bahkan cara dia menatap membuat dada Danang bergetar sesaat.Namun, begitu pemuda itu berbicara, harapannya perlahan runtuh.“Iya, Pak? Ada perlu?” suaranya datar, d

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 57 Tiga nama, Tiga doa'

    Kamar rawat Dina siang itu terasa lebih hidup dari biasanya. Suara tawa kecil dan obrolan riuh memenuhi ruangan. Hanum duduk di sisi ranjang sambil mengupas buah, sementara Seno sibuk menyiapkan kursi tambahan untuk tamu dari kampung, Paman Amar dan istrinya, Bik Sarti, yang baru saja tiba.“Ya Allah, Din, kamu kurusan, tapi cantiknya tetap aja nggak ilang,” ucap Bik Sarti sambil menepuk lembut tangan Dina. “Anak tiga sekaligus, kamu harus banyak makan, biar kuat.”Dina tersenyum lemah tapi hangat. “Iya, Bik... capeknya memang dobel, tapi waktu lihat mereka bertiga, semua rasa letih langsung hilang.”Hanum menimpali sambil menatap Dina dengan bangga. “Iya, mereka kuat... sama seperti ibunya.”Dina hanya tersenyum tipis. Ada cahaya lembut di matanya, kelegaan sekaligus rindu, sebab hingga kini ia belum bisa memeluk bayi-bayinya. Mereka masih dirawat di ruang NICU, di balik kaca tebal yang memisahkan dunia kecil mereka dari dekapan ibunya.Tawa ringan pun terdengar. Setelah cukup lama b

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 56 Mantan oh mantan

    Suasana malam di toko jahit “Rumah Busana” masih ramai oleh tawa tiga wanita: Tatik, Rani, dan Yuni. Meskipun mesin jahit sudah lama dimatikan, suasana ceria yang mengisi ruangan tidak kunjung pudar. Mereka duduk melingkar di sekitar meja kerja, dikelilingi oleh tumpukan kain berwarna-warni dan alat jahit yang berserakan. Perbincangan hangat dan tawa yang mengalun seolah menjadi soundtrack malam itu, menandakan betapa akrabnya persahabatan mereka.Malam ini, mulut mereka belum bisa berhenti membahas kejadian lucu yang terjadi siang tadi, saat Dinda datang secara tiba-tiba mencari Dina. Rani, yang masih terpengaruh oleh tawa, mengingat kembali momen itu dengan rasa geli. “Yun… aku masih nggak habis pikir,” kata Rani sambil mengusap air mata karena terlalu banyak tertawa. “Kok kamu bisa-bisanya bilang kalau toko ini udah dijual ke Haji Imron segala? Siapa lagi tuh Haji Imron?”Yuni, yang duduk di sebelah Rani, langsung nyengir lebar, pipinya merah karena malu. “Ya ampun, Ran… itu spont

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 55 Nama Yang indah

    Malam itu, ruang keluarga rumah Danang terasa hangat. Di atas meja masih ada sisa teh hangat dan piring kue kering yang belum habis. Dinda duduk bersandar santai di sofa, sementara Mamanya duduk di sebelah Danang dengan wajah penasaran.“Jadi, gimana hasil pencarianmu tadi?” tanya Mamanya sambil menyeruput teh pelan.Danang menghela napas, lalu menatap mereka berdua. “Kalian nggak bakal percaya apa yang aku alami tadi.”Dinda langsung duduk tegak. “Apa mas ?" Wajahnya penasaran.Danang menghela napas panjang. “Kalau yang aku temuin tadi sih... namanya memang mirip. Tapi bentuknya—” ia berhenti sebentar, mengatur napas. “Bentuknya... beda jauh!”Mama menaikkan alis. “Beda jauh gimana maksudmu, Dan?”Danang memijit pelipisnya, seolah masih terbayang kejadian aneh yang baru saja dialaminya. “Begitu pintu rumahnya kebuka, aku berharap Dina yang keluar. Namun, yang keluar seorang wanita... bajunya merah nyala, rambutnya keriting panjang kayak mie instan tumpah, bibir merah kayak cabe setan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status