Dani duduk tanpa dipersilakan. Asisten Diandra yang paham betul dengan keadaan pun segera berdiri dan pindah tempat. Ia memberi ruang untuk mereka berdua bicara. "Dia, aku tau kalau kamu sebenarnya sangat membenciku. Tapi, aku sangat berterima kasih padamu. Meskipun aku sempat jahat, kamu tetap membawaku ke rumah sakit."Pria dengan setelan kantor itu menghela napas. Wajahnya memang terlihat sungguh-sungguh. Begitu juga dengan matanya yang tampak seperti masih sakit. Namun, tak ada yang tahu apa isi hati Dani yang sebenarnya kecuali pria itu dan Tuhan saja. "Sebenarnya aku tidak mau lagi bertemu denganmu, Mas. Aku sudah cukup menderita hidup sama kamu. Aqila jadi korbannya. Kita urus saja urusan masing-masing saja.""Aku tau, Dia. Aku paham. Tapi, aku tidak tenang saat keadaan kita seperti ini. Maafkan aku, Dia. Aku ingin hubungan kita baik-baik saja.""Aku sudah memaafkan kamu, Mas. Tapi tolong, jangan temui aku lagi! Aku sudah punya kehidupan sendiri. Andai aku tau siapa yang memi
"Jadi gini, Yan, aku sekarang lagi nyari kerjaan buat anaknya temen. Kali aja ada lowongan di kantormu," ucap Imran sambil meneguk teh hangat di rumah tamu. Zayyan yang baru saja ganti baju dengan kaus santai lalu duduk pun langsung menanggapi "Tergantung dia ahlinya apa, Mas. Soalnya, di kantor belum lama ini juga udah terisi sama karyawan baru," balas Zayyan lalu ikut menikmati martabak manis rasa coklat keju di atas piring. Tak lama Diandra muncul dari dalam kamar dan ikut duduk di sana. "Anak temennya Mas Imran laki apa perempuan? Masih muda apa udah tua?" timbrung Diandra. "Ya elah, Zayyan udah jadi milik kamu, Dia. Enggak usah khawatir bakal ada yang naksir. Dia juga enggak bakal main belakang." Imran sengaja menyindir. Lalu tertawa karena melihat Diandra yang sekarang lebih sensitif. "Mas Imran jangan nyindir gitu lah, Mas. Kan aku malu ada Bang Zayyan." Wanita muda itu melirik pria di sampingnya. Tampak Zayyan menahan senyuman, tetapi pandangannya ke bawah. "Biarin aja, l
"Dia, kasih saja! Berapa yang Bu Eni minta," sahut Zayyan tiba-tiba. Lelaki gagah itu datang lalu duduk di sebelah istrinya. "Abang ...." Diandra mendongak. Pria itu menatap mantan mertua istrinya. "Ibu butuh berapa?" Eni yang terlihat sedikit gengsi akhirnya mengatakan, "Sekitar 50 jutaan. Kalian tau sendiri, Dani sudah tidak memiliki pekerjaan lagi. Dia sekarang jadi beban kami.""Jangan bilang gitu, Ma. Mas Dani kan anak Mama. Kalau Mama anggap dia sebagai beban, kasian dia." Diandra mendadak iba. Ia menoleh sekilas pada Zayyan. "Benar, Bu. Lebih baik, fokus sama pengobatan Dani. Saya akan ambilkan cek dulu," lanjut Zayyan lalu membuka laci dekat tempatnya duduk dan menulis sejumlah uang yang dibutuhkan oleh wanita tua itu. Eni terlihat mencebik meskipun dua orang di hadapannya tidak melihatnya. "Dok perhatian segala, mereka kira saya bakal muji kebaikan mereka? Mimpi!" batin wanita tua itu. Ia kembali mengubah raut wajahnya saat Zayyan mendorong kertas bertuliskan nominal sej
"Abang, kita mau ke mana? Kenapa arahnya tidak ke rumah?" tanya Diandra pada pria di sampingnya yang tengah fokus pada kemudinya. "Dia, aku mau ngajak kamu jalan-jalan sebentar. Kita ke mol, ya. Seharian aku liat kamu sibuk terus. Sekalian makan malam, ya." Zayyan tersenyum manis menoleh ke samping. Lalu ia kembali memutar setir, menelan pedal gas menuju tempat yang ia ingin kunjungi. "Oh, ya udah." Diandra pun membalas dengan senyuman. Setelah keduanya sampai di dalam gedung parkiran dalam mall tersebut, Zayyan membuka pintu samping untuk istrinya. Kemudian, pria itu mengulurkan tangannya agar Diandra menggenggamnya. Mereka tersenyum, lalu berjalan ke dalam mall. Kedua sejoli terlihat bahagia, terlihat dari bibir mereka yang tak pernah padam dari senyuman. Zayyan menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah toko berlian, lalu ia menoleh ke samping. "Kita masuk, yuk!""Mau ngapain, Bang? Aku rasa kita enggak butuh apa-apa di sini." Dia menatap pintu luar toko tersebut. "Memang k
"Apa, Bang?" Diandra menahan senyuman. "Enggak." Zayyan tampak malu-malu. "Lanjut makan aja! Kita pulang habis ini."Diandra mengangguk. Lalu mereka berdua pun segera menuntaskan acara makan malam itu. Setelah beberapa menit berlalu, dan makanan pun sudah habis, mereka berdua berjalan ke luar mall. Masih dengan tangan yang saling bergandengan, keduanya menuju mobil. Zayyan membukakan pintu untuk istrinya. Lalu beralih pada pintu satunya lagi dan mereka meluncur ke tengah jalanan. Mobil melewati lampu-lampu yang menyala terang, sepanjang kota itu terlihat jelas dan menawan. Kota Jakarta memang tak pernah gagal mengukir nostalgial dari masa ke masa. Kenangan indah dan masa-masa itu membuat Diandra teringat kembali. "Sayang, ngantuk ya?" Zayyan tersenyum sambil mengemudikan mobilnya. "Eh ...." Diandra tersadar seraya menoleh. "Iya, Bang. Habisnya kekenyangan." Wanita muda itu tersenyum. Lalu tangannya Zayyan sentuh dengan lembut. "Tidurlah! Nanti kalau sudah sampai, aku bangunkan,"
"Aku dari luar dengan teman, Mas. Kamu udah pulang? Udah dari tadi?" Jawaban Dewi itu terdengar gugup. "Sama siapa?" ketus Dani. Ia duduk di kursi tunggal yang berayun pelan. "Aku ... sama teman, Mas. Oh ya, aku taruh dulu Alfa di kamarnya. Dia udah tidur pulas, enggak enak pasti dalam gendongan terus." Dewi mengulas senyuman kaku. Lalu ia bergegas pergi ke kamar untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari suaminya. Dani tak bisa diam saja. Ia mengikuti istrinya itu ke dalam kamar. Setiap gerakan Dewi tak lepas dari pandangannya. Setelah meletakkan Alfa pada keranjang tidurnya, Dewi beralih ke kamar mandi. Lama sekali ia di sana, entah apa yang sedang ia lakukan. Yang jelas, Dani sudah tak bisa menahannya lagi. Pria yang menunggu di kursi dalam kamar itu mulai berdiri. Ia membenahi kaus santainya lalu mengetuk pintu kamar mandi. "Wik! Udah belom? Aku mau bicara sama kamu!" "Bentar, Mas. Aku lagi sakit perut," jawab Dewi dari dalam. Ia memang pandai memanfaatkan keadaan. Wanita
"Kenapa kamu enggak tinggalin aja suami miskinmu itu? Kembalilah padaku, Wi! Aku ayah biologisnya Alfa." Pria bercambang tipis itu mengulas senyuman. Ia menyentuh anak rambut Dewi yang sebagian menutupi wajah. "Enggak bisa begitu, Ben. Enggak mudah. Nantilah aku pikirkan lagi bagaimana caranya pergi dari dia. Kamu yang sabar, ya! Maafkan aku." Suara mendayu itu terdengar lirih di dekat wajah Beni. Mereka berdua berada di dalam sebuah kamar hotel yang terlihat berantakan. "Kenapa enggak bisa? Aku selalu menantimu, Dewi. Kau menghilang beberapa bulan lalu dari acara itu. Dan aku mencarimu ke mana-mana, tetapi tidak ketemu. Sekarang, kau malah menikah dengan pria itu. Sudahlah miskin, kudengar dia meninggalkan istrinya demi kamu juga?" Pria berkemeja putih itu menggeleng kepalanya. Ia tak habis pikir dengan jalan cerita wanita yang ia cintai itu. "Kita bahas soal ini lain kali aja ya, Ben. Aku lagi enggak mood bahas Mas Dani." Saat wanita itu ingin bangkit dari duduknya, Beni malah me
"Sepertinya memang ini azab untukku. Aku tidak pernah puas dan tidak pernah bersyukur memiliki istri sebaik dan secantik Diandra. Dia mengabdi dengan segenap jiwa raganya padaku, sementara aku menikmati malam-malam indah bersama wanita lain." Dani duduk dengan hati perih. Kini ia sudah tak dapat lagi menggenggam tangan Diandra. "Andai saja saat itu aku tidak mengikuti apa kata mama. Mungkin saat ini aku masih bersama dengan Diandra dan Aqila. Hartaku yang sebenarnya. Tapi, aku malah tergiur dengan Dewi yang selalu ada di sisiku. Setiap saat dan waktu. Sentuhan lembutnya yang selalu menggoda dan menggoyahkan iman, akhirnya aku menikahinya." Dani merem*s kepalanya sendiri. Menyesali semua perbuatan yang selama ini ia lakukan. "Aku akan meminta Diandra kembali lagi. Aku tidak mau dia bertahan di pernikahannya dengan Zayyan itu. Diandra tetap milikku. Dia adalah cintaku. Belahan jiwaku," tuturnya lagi. Lalu lelaki itu beranjak dari kursi ruang tengah dan ingin keluar menemui Diandra. N