"Kayaknya kamu bangga banget jadi selingkuhan Yoga? Kamu bangga bisa dinikmati sesuka hati sama Yoga?" cibir Lia.
"Ya jelas bangga dong ya. Lagian, yang pasti aku nggak gratisan kayak yang kamu bilang. Aku bahkan dibayar lebih mahal daripada kamu!" jawab Riana bangga dengan membusungkan dada.Riana yang tadi merasa gugup sekarang merasa tidak perlu lagi untuk merasa takut. Sebab orang-orang di sekelilingnya secara terang-terangan mendukung keberadaannya di sana.Tidak ada rasa bersalah dalam diri Riana. Melainkan rasa menang atas persaingan dalam mendapatkan Yoga."Oh, jadi intinya kamu ini kayak jual diri begitu? Dinikmati, lalu dibayari?" sindir Lia."Nggak usah ngomong kayak gitu, Lia! Jelas-jelas Riana lebih unggul dibanding kamu!" Bu Lasmi tak mau kalah membela calon menantunya."Unggul dari segi mananya, Bu? Dari segi pelakornya? Iya?""Aku bukan pelakor, Lia!""Lalu apa menYoga hanya terkekeh lucu mendengar ancaman Lia. Hati pria angkuh itu merasa geli. Dalam pikirannnya, mana mungkin orang seperti Lia bisa berbuat sejauh itu! "Palingan Lia bicara kayak gitu karena hatinya yang lagi sakit. Lalu berlagak pengen nakut-nakutin aku. Iih, wanita menyebalkan! Pikirnya aku takut sama ancaman recehnya." batin Yoga. "Lia, Lia, kalo kamu mau pergi ya pergi ajah dari sini. Nggak usah banyak omong! Sakit hati tuh nggak usah terlalu di pelihara, ntar kamu bisa gila, terus bunuh diri. Kalo kamu mau bunuh diri, mending pulang ke rumah orang tuamu ajah, bunuh diri di sana ajah! Di sini aku gak ada waktu buat ngurusin seseorang kayak kamu." Yoga terkekeh. Sikapnya yang sedari dulu selalumeremehkan Lia tak kunjung berubah. Ia yang sudah terlanjur melekatkan imej miskin pada diri Lia, membuat Yoga tak pernah bisa memandang Lia sedikit lebih tinggi. Selalu saja wanita itu dianggap sebelah mata olehnya.
Di rumah, Riana melihat Lia masih ada di sana. "Belum pergi juga wanita itu!" batin Riana merasa geregetan dan dongkol. Sebab sebenarnya Riana tidaklah mengharapkan kehadiran Lia. Kehadiran Lia telah membuatnya tak bisa bebas bersama Yoga.Ironis sekali, Riana yang notabene orang yang menumpang malah tak menyukai tuan rumah. Tapi Ria melihat ada yang berbeda dari sosok Lia. Lia sama-sekali tidak terlihat cemberut ataupun menampakkan rona muka tak suka. Justru sebaliknya, Lia malah tersenyum melihat kedatangan Riana. Melihat itu, Riana memberanikan diri untuk mendekat. "Selamat sore, Mbak Lia! Belum pulang ke rumah orang tua Mbak ke Jakarta?" Riana bertanya pelan.Lia tertawa kecil. Didalam hati Lia mencebik mendengar pertanyaan konyol Riana, "Betapa tak tahu dirinya wanita ini." batin Lia. Sengaja Riana lebih bersikap sopan terhadap Lia, sebab saat itu Melisa dan Bu Lasmi sedang tidak ada di
Riana merasa kian berkuasa di rumah Yoga. Apalagi dilihatnya Lia tak lagi sekeras dulu, meski Lia masih enggan melakukan pekerjaan rumah tangga, tapi setidaknya wanita itu tidak bertindak kasar. Tok... Tok... Tok! Malam sekitar pukul delapan, Lia dikejutkan oleh bunyi ketukan pintu kamar. "Lia! Buka pintunya, Sayang!" Sebuah suara berat yang amat ia kenal. Tidak salah lagi itu, adalah suara Yoga. Lia berdecih aneh mendengar Yoga menyebutnya dengan kata-kata sayang. Sudah lama sekali laki-laki tersebut tidak menyapa dengan sapaan seperti itu. Tapi Lia bukannya terbuai dengan panggilan sayang dari bibir Yoga, melainkan rasa jijik lah yang terbersit di hati. "Ada apa dia datang ke kamarku?" hati Lia bertanya-tanya, sebab selama ini Yoga selalu memilih untuk tidur tidak dalam satu ruangan dengan Lia. "Kenapa?" sahut Lia dari dalam kamar. "Tolong buka pintunya bentar ajah
"Alasan yang sungguh tidak masuk akal, bukankah aku tidak mandul? Mengapa justru mengharapkan kelahiran anak laki-laki dari rahim yang lain, namak sekali jika Yoga memang mrncari alasan yang dibuat-buat saja." batin Lia."Jadi kamu menginginkan anak laki-laki?" Lia bertanya masih dengan tanpa menatap Yoga.Yoga nampak ragu. "I ... iya, Lia. Sebenarnya selama ini aku nggak enak bilang sama kamu untuk minta punya anak lagi." Lagi-lagi dalam hati Lia berdecak, "Bagus!" Mengaku tak enak mengatakan ingin punya anak pada istri sendiri, tapi justru memintanya pada wanita lain. Argumen yang membagongkan. "Aku mau kamu maklumin hubungan aku sama Riana, Lia. Sebagaimana yang udah aku katakan tadi, aku menjalin hubungan sama dia bukan tanpa alasan. Kamu bisa kan maafin aku? Aku tahu kamu wanita yang baik." Dalam hati Lia melengos dengan kata-kata dari bibir suaminya. Begitu mudahnya laki-laki tersebut mengkhia
"Apa, Sayang? Kamu menyetujui niatku untuk menikahi Riana?" Yoga bertanya ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar."Iya, Ma. Aku setuju kamu menikahi Riana." jawab Lia getir.Sebenarnya dalam hati jika Yoga ingin berpikir jernih maka istri mana yang rela cintanya diduakan. Mungkin di dunia ini seribu banding satu wanita yang rela dimadu. Tak dipungkiri begitu juga yang sebenarnya Lia rasakan.Tapi apa daya itulah yang diinginkan oleh Yoga. Rumah tangga yang telah lima tahun terbina harus pupus sudah dengan kehadiran Riana dan keburukan sikap keluarga.Lia menghela nafas panjang, tidak ada yang pantas dipertahankan lagi, tidak ada cinta yang harus ia jaga, dan tidak ada lagi rasa cinta yang tertinggal di hatinya untuk seorang Yoga. Laki-laki itu telah berpikir jauh dari lubuk hati Lia.Yoga mendekat, kembali kedua tangan Yoga meraih tangan kanan milik Lia. Menggenggam tangan tersebut begitu erat dengan mata yang dibuat-buat nampak berkaca-kaca. Entahlah Lia tak mengerti mengapa
Lia kembali memeriksa berkas-berkas penting yang diperlukan untuk mengurus segala sesuatunya.Tak lupa ia kembali memeriksa lembaran kertas yang telah ditandatangani oleh Yoga tempo hari."Dasar pria bd*oh yang terlalu merasa dirinya pintar. Huuuh! kena batunya kamu kali ini!" Lia mengibas-ngibaskan kertas tersebut ke muka lalu kembali memasukkannya ke dalam tas dengan rapi.Setelah itu, Lia mulai bersiap untuk berkemas. Untuk sementara, Lia harus mengurus tokonya terlebih dahulu. Untungnya, semua karyawan disana bisa Lia andalkan. Semua karyawan adalah pekerja keras dan dapat dipercaya. Sehingga Lia merasa sangat terbantu.Dalam situasi seperti ini, Lia sadar bahwa dia harus benar-benar memikirkan apa yang harus ia lakukan terlebih dahulu, sebab tanpa pemikiran yang matang maka semua bisa ambyar. Dan Lia sama sekali tak ingin hal itu terjadi.Berhubung dengan yoga yang ingin menikahi Riana, Lia tak terlalu memikirkan hal itu lagi. Justru rencana pernikahan itu akan menjadi sebuah b
"Sebentar ya, Mas!" Yoga sibuk mencari-cari nama Lia di daftar kontak."Halo, Lia! Kamu sekarang dimana sih?" Yoga bertanya kesal."Saya lagi di tempat kerja, Mas. Kenapa?" jawab Lia tanpa merasa bersalah."Kamu gimana, sih?" ujar Yoga kesal."Lhoo, emangnya ada apa sama aku, Mas?" Lia berpura-pura heran."Kamu pesenin makanan sebanyak ini, tapi kok nggak di bayarin, gimana sih kamu?""Lhaa, tadi kan Mas bilang pesenin ajah, ya aku pesenin dong. Kalo Mas bilang pesennya terlalu banyak, bukankah tadi Mas sendiri udah bilang setuju sama aku. Mas bilang nggak apa-apa pesen sekalian buat ibu sama Melisa juga. Soal bayarannya, aku mah nggak tahu, aku kan cuma pesenin ajah. Aku sana sekali nggak janji buat bayarnya, Mas. Perkara bayar-membayar mah tergantung sama siapa yang makan dong, Mas. Masa mau nyuruh aku yang bayarin?" di ujung sana, Lia menjawab sambil cengar-cengir."Tapi kan kamu tahu sendiri kalo aku lagi gak punya uang sebanyak itu. Lagian tadi kalo aku tahu kayak gini, mending
Di sebuah kafe yang telah di sepakati, Lia menemui pengacara Richardo."Pak Richardo, aku sudah menyiapkan semua berkas yang kita butuhkan." ucap Lia. Wanita itu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya.Pengacara Richardo belum langsung berbicara. Ia memperhatikan satu persatu berkas yang Lia sodorkan padanya.Kepala Pak Richardo mengangguk-angguk."Bagus. Dengan adanya surat ini, nanti Yoga tak akan bisa menuntut jika rumah kalian terjual pada orang lain. Surat ini akan menjadi penghalang untuj tuntutannya. Kerja bagus, Lia. Good job!" pengacara Richardo mengamati selembar surat pernyataan persetujuan dari Yoga untuk menjual rumah yang bersangkutan. Surat tersebut telah dibubuhkan tanda tangan Yoga sendiri di atas materai. Dengan arti kata surat tersebut telah bisa diandalkan jika sewaktu-waktu Yoga ingin menuntut. Bukankah dia sendiri yang telah membubuhkan tanda-tangannnya di sana? Jadi pria itu tak akan bisa berbuat banyak. "Pak Richardo, aku sungguh minta tolong s