Share

Ketika Suamiku Berubah Pelit
Ketika Suamiku Berubah Pelit
Penulis: Safiiaa

Bab 1

Ketika Suamiku Berubah Pelit

"Nggak bisa! Itu urusanmu, yang penting aku sudah memberimu nafkah. Urusan cukup atau tidak itu tergantung bagaimana kamu mengaturnya!"

"Lihat lah, Mas, anak kita sudah dua, mau diatur yang model bagaimana pun ya tetap saja kurang!" protes Fitri pada suaminya ketika menerima uang belanja bulanan. Setiap akhir bulan, Aditya memberikan uang penghasilan bengkel padanya. 

"Ya itu tergantung kamu! Makanya, kuajak tinggal dengan Ibuku kamu tidak mau! Coba saja kalau kita tinggal di sana, uang belanjamu tidak akan habis untuk memberi makan Ibu dan adikmu!" hardik Aditya lagi. Tak henti bibirnya menyalahkan Fitri soal di mana mereka tinggal. Setelah berucap demikian, Aditya melangkah keluar menuju bengkelnya yang berjarak seratus meter dari rumah mereka. 

Mendapati suaminya berkata demikian membuat tenggorokan Fitri tercekat. Rasanya tak mampu untuk sekedar menelan air liurnya sendiri. 

Apa yang diucapkan oleh suaminya memang benar adanya. Keadaan keluarganya yang miskin membuatnya menggantungkan nafkah hanya pada suaminya saja. Ibu Fitri yang seorang janda dengan seorang adik yang masih membutuhkan biaya sekolah. 

Pekerjaan Ibu Fitri, Rohmah namanya, yang hanya seorang penjahit rumahan membuat Fitri tak tega untuk menopang kehidupan hanya pada penghasilan ibunya saja. Hatinya tergerak untuk turut menafkahi keluarganya, meskipun pada akhirnya pengeluaran lebih besar dari pada pemasukan yang membuat suaminya kesal tiap kali Fitri mengeluh. 

Tak ada yang bisa dilakukan Fitri lagi selain diam dan menerima berapapun pemberian suaminya. Sepuluh lembar uang ratusan itu disimpannya dalam dompet lusuh yang dibelinya ketika bekerja dahulu. 

"Semoga uang ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kami hingga Mas Aditya memberiku uang belanja lagi." Doanya dalam hati. 

Setelah memasukkan uang pemberian suaminya, Fitri bergegas ke dapur untuk mengambil sepiring nasi beserta lauknya sebelum memanggil Annida dan Annisa untuk sarapan. 

Kedua anaknya sedang asik melihat acara televisi kesukaan mereka. 

"Yuk makan dulu, Nak," ajak Fitri pada keduanya dengan membawa sepiring nasi di tangannya. 

Annisa dan Annida yang tengah rebahan segera bangkit dan duduk untuk sarapan. 

Dua bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan itu membuat Fitri harus rela menahan segala keinginannya untuk memanjakan diri demi memenuhi asupan gizi untuk keduanya. Fitri ingin anaknya tumbuh sempurna dengan gizi seimbang. Termasuk juga suaminya yang selalu mencari lauk ikan, telur atau ayam tiap kali makan. 

"Enak, Bu, ikannya," ujar Nisa, bocah empat tahun itu menikmati tiap suapan yang disodorkan Ibunya. 

"Iya, habiskan ya?" sahut Fitri seraya menyiapkan sesendok nasi beserta mujair goreng kepada Annida, kakak Nisa.

Keduanya makan dengan lahap hingga meminta nambah. Dalam hatinya, Fitri senang melihat kedua anaknya makan dengan lahap meskipun ia merasa ketar-ketir dengan uang yang diberikan suaminya akan kurang jika tiap kali makan anak dan suaminya meminta lauk demikian. "Biarlah, nanti pasti dapat rejeki lebih," batin Fitri. 

Setelah menyuapi kedua anaknya, Fitri kembali berkutat dengan pekerjaan rumah. Meskipun sudah dibantu oleh sang Ibu, rasanya pekerjaan rumah tangga tak ada habisnya. Membuat Fitri kadang terpaksa mengabaikan pekerjaannya sejenak ketika lelah mendera. 

Hari sudah siang, waktunya Fitri mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Meskipun pagi tadi sedikit ada drama antara dirinya dengan Aditya, tetapi tak membuat Fitri melupakan kewajibannya. 

Serantang nasi, lauk juga sayur sudah berada dalam genggaman ketika ia melihat pemandangan di depannya. 

"Makasih ya, Mas Bro," ujar Aditya pada seseorang di sebelahnya. Tangan kiri Aditya memegang amplop tebal dalam genggamannya yang kemudian buru-buru ia masukkan ke dalam kantong. 

"Sama-sama, Mas. Itu rejeki buat, Mas. Hasil kerja Mas bagus banget, bikin motorku laku lumayan mahal."

"Ah kamu, Mas. Bisa aja." Aditya berujar sambil tersenyum malu. 

"Aku balik dulu, ya? Makasih banyak sekali lagi." Lelaki itu tersenyum sambil berjalan menuju mobil sedan warna hitam yang terparkir di depan bengkel Aditya. 

Fitri kemudian berjalan mendekati Aditya dengan tangan memeluk rantang makanan. Dalam hati Fitri ada sedikit rasa bahagia ketika melihat suaminya memegang amplop cokelat panjang yang sudah jelas isinya adalah uang. Apalagi memang yang dimasukkan amplop cokelat panjang selain uang? 

"Ini makannya, Mas," ujar Fitri. Tetapi sang suami malah sibuk merapikan bajunya yang sedikit tersingkap ke atas, memperlihatkan ujung amplop dalam sakunya yang tidak masuk secara sempurna. 

"Kamu? ngagetin aja!" pekik Aditya. 

"Hehehe maaf, Mas." Fitri tersenyum tetapi tak menoleh. Ia tetap berjalan menuju sebuah ruangan kecil dalam bengkel yang digunakan Aditya ketika letih mendera.

Dengan cekatan, Fitri membuka rantang itu dan menatanya di atas meja plastik usang tetapi masih terlihat bersih. Fitri mengambil sebuah piring di atas rak untuk makan suaminya dengan satu sendok yang sudah berada di atasnya. 

"Mas, sudah siap ini," ujar Fitri sedikit keras. 

Aditya yang tengah membersihkan sisa kotoran bekas oli motor segera beranjak dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya sebelum ia menikmati makanan dari sang istri. 

"Habis dapat rejeki ya, Mas?" tanya Fitri ketika Aditya baru saja duduk di sebelahnya. Pertanyaan Fitri membuat tangan Aditya berhenti di udara, urung mengambil nasi yang sudah di tata di atas rantang. Mata Aditya menoleh ke wajah Fitri yang tengah tersenyum sumringah. 

"Rejeki apa? Tiap hari ya dapat rejeki, sudah kubagi buat kamu kan? Kalau ada rejeki lebih juga itu untuk modal bengkel aku lagi!" hardik Aditya sedikit lantang. 

Fitri yang tadinya tersenyum senang karena merasa bahwa ia akan mendapat tambahan belanja seketika wajahnya berubah menjadi terdiam dan kaku. Ia tak berani menjawab ucapan suaminya kalau nada bicaranya sudah meninggi. Lagi-lagi ia hanya bisa menelan ludah sambil mengurut dada. 

Aditya pun kembali melanjutkan makanannya dengan lahap tanpa sedikitpun merasakan perubahan mimik wajah istrinya. Baginya, sudah cukup uang belanja yang ia berikan. Tak perlulah memberi istri uang diluar uang belanja, toh nanti pasti habis juga. 

Selesai makan, Aditya kembali melanjutkan pekerjaannya. Sudah sering kali Fitri mengingatkan untuk salat dahulu setelah makan siang, tetapi Aditya tak pernah mengindahkan perintahnya. 

Fitri pun hanya bisa diam. Ia membereskan sisa makanan suaminya dengan diam dan dongkol. Ingin rasanya mendapat uang selain dari jatah belanja. Baginya, uang sepuluh ribu pun jika bukan untuk jatah belanja, lumayan bisa untuk jajan di warung. Walau hanya sebungkus biskuit. Atau bisa untuk membeli pelembab wajah sekedar untuk memoles wajahnya. 

Kepala Fitri lelah jika harus mengatur uang sedemikian hemat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi sekarang Nisa mulai suka jajan di warung. Ini akan semakin menambah usahanya untuk menekan kebutuhan demi uang jajan untuk buah hatinya bisa tercukupi. 

Aditya masih sibuk dengan alat bengkelnya saat Fitri pulang. Padahal dalam hati Fitri berharap jika suaminya luluh hatinya untuk mau membagi sedikit saja rejeki yang ia miliki untuknya. 

Lagi-lagi Fitri harus menelan pil pahit bernama kecewa. Ia harus belajar menata hati untuk tidak merebut apa yang bukan haknya. Jika diberi ya diterima, jika tak diberi ya sudah. Memaksa jati untuk berkeyakinan bahwa sedikit namun berkah itu lebih baik daripada banyak tapi tak berkah. Fitri menghela napas dalam. 

Fitri berjalan dengan langkah gontai. Kemana lagi ia harus mencari uang untuk tambahan belanja minggu depan sementara uang yang ia pegang hanya bisa bertahan untuk dua minggu saja. Seperti dua bulan yang sudah-sudah. 

"Hei, jalan sambil ngelamun aja!" sapa seseorang yang suaranya sangat dikenal oleh Fitri. Dia Kartika, teman baik Fitri yang biasanya ia mintai tolong saat sedang butuh uang. Keduanya lantas berjalan bersama menuju rumah Fitri. 

"Dari mana kamu, tumben," tanya Fitri lemah. Ia yang sedang tak bersemangat membuatnya enggan menanggapi sahabatnya itu. 

"Mau ke rumah kamu, eh kamu ada di sini. Kamu dari mana kok cemberut gitu?" tanya Tika.

"Habis antar makan siang Bang Aditya," jawab Fitri sambil menunjukkan rantang yang ia bawa. 

"Duh baik banget sih," sambar Tika. 

"Ya lah! Gimana pun dia tetap suamiku." Setengah hati Fitri berujar. Serapat apapun suaminya dengan uang, selama tidak main kekerasan, Fitri masih berusaha menerima. Karena manusia tak bisa memperlakukan seseorang berdasarkan rejeki yang ia dapatkan. Manusia hanya bisa berusaha untuk bekerja dan berdoa, selebihnya Allah yang menentukan rezekinya. Jika rejeki yang Aditya bagi untuk dirinya hanya itu, ya sudah, bagi Fitri itu yang harus diterima. Asal suaminya ikhlas. Fitri tak keberatan jika harus mencari tambahan belanja dari hasil keringatnya sendiri. 

"Terus kalau kurang? Hutang lagi?" sindir Tika. Meskipun menyindir, Fitri tidak sakit hati. Ia sudah terbiasa bergurau dengan Tika. Baik buruknya Fitri, Kartika suka mengingatkan jika salah, meskipun terkadang caranya terlalu sadis. Seperti saat ini. 

"Yaelah kamu! Sama sahabat sendiri masak nggak mau bantu!" Fitri mencebik. Jika bukan pada Tika, kepada siapa lagi ia akan berharap. 

"Bosen!" sahut Tika sambil memalingkan muka.

Fitri lantas memukul gemas lengan Tika. Keduanya lantas tertawa bersama. Begitulah sahabat, saling membantu dan memberikan semangat. 

"Butuh berapa?" tanya Tika saat keduanya sudah duduk di ruang tamu. Fitri duduk selonjoran di lantai sambil sesekali matanya mengawasi Annisa yang tengah bermain di halaman. 

Fitri tercengang mendengar ucapan sahabatnya itu. Ia lantas menoleh ke arah sahabatnya. 

"Butuh berapa?" ulang Fitri. Ia masih belum mengerti maksud pertanyaan Tika. 

"Tadi bilang mau hutang, sekarang ditanya malah balik tanya," sindir Tika. Ia sibuk mengipasi wajahnya dengan sobekan buku milik Annida yang sudah tak terpakai. 

"Kalau hutang, aku takut tak mampu bayar," sela Fitri. Ia yang merasa mendapat jatah belanja pas-pasan ragu untuk berhutang. 

"Terus?"

"Aku mau kerja saja," jawab Fitri akhirnya. 

"Kerja apa kamu? Anakmu gimana?"

"Nggak tahu. Aku lelah memutar otak untuk mengelola uang pemberian Mas Aditya yang bagaimanapun tak akan cukup untuk hidup sebulan. Dua bulan ini terasa sekali pengeluaran setelah Annisa kenal susu formula," papar Fitri. 

"Jualan online saja," sahut Tika lagi. 

"Jual apa? Modalnya nggak punya!" sergah Fitri. 

"Jualan pulsa enggak harus pakai modal banyak. Kamu bisa pakai uang belanjamu, nanti setelah seminggu pasti balik modal," papar Tika lagi. Ia yang sudah lebih dulu bergelut dengan dunia penjualan secara online memberikan masukan pada Fitri. 

Akhirnya tanpa banyak berkata-kata lagi, Fitri mengiyakan ucapan Kartika. Sore harinya ia segera berangkat ke konter agen pulsa untuk mengisi saldo. 

Tak henti Fitri promosi di story w******p-nya untuk memberitahu para teman dan tetangga dekat bahwa ia julan pulsa, dan benar saja, banyak yang akhirnya berlangganan dengannya.

Benar saja, seminggu setelahnya, Fitri sudah balik modal. Ia pun menambah modal jualannya hingga dua kali lipat. Sedikit banyak, keuntungan itu membuat Fitri tak perlu terlalu bersusah payah memutar otak agar asap dapurnya tetap ngebul. 

Malam itu, Fitri sedang mengajari Nida di ruang tamu. Ibunya datang menghampiri sambil membawa jarum dan kain di tangannya. Ketiganya berkumpul di ruang tamu dengan diam. 

"Nduk, besok ikut Ibu ke rumah budemu, ada tasyakuran kehamilannya Fisa," ujar Ibunya memecah keheningan. 

Otak Fitri segera berpikir untuk mencari tambahan uang lagi sebab uang hasil jualan pulsanya hanya cukup untuk ia gunakan sebagai tambahan belanja saja. 

"Iya, Bu." Fitri hanya mengiyakan, tanpa mampu menanyakan bingkisan apa yang akan ia bawa nantinya.  

Setelah itu ia kembali fokus pada buku pelajaran anaknya. Namun gagal. Kepalanya sudah tak fokus lagi untuk mengajari Nida. 

"Sebaiknya nanti bicara pada Mas Aditya saja agar mau memberi uang lagi untuk membeli bingkisan," batinnya berucap. 

Setelah beberapa saat, ketiganya bubar masuk ke kamar masing-masing. Fitri yang sudah lelah memilih mengajak kedua putrinya untuk beristirahat. 

Cahaya rembulan menyinari bumi yang kian kelam. Gemerlap beribu bintang yang indah membuat Aditya betah berada di teras rumah sambil memainkan ponsel miliknya. Ia asik dengan game online yang membuatnya candu. Sesekali bibirnya berteriak kegirangan karena mendapatkan poin tambahan. 

Hawa dingin mulai menusuk-nusuk persendian Aditya. Setelah dirasa badannya dingin dan letih, Aditya segera masuk ke dalam rumah. Dijajarinya sang istri yang sudah terlelap lebih dulu. Ia berbaring di ranjang yang sama. 

Namun pergerakan tubuh Aditya membuat Fitri kembali membuka matanya. 

"Mas, jam berapa ini baru masuk kamar?" tanya Fitri sambil sibuk mengucek matanya. Keningnya berkerut manakala melihat jarum pendek jam dinding sudah berada di angka satu. 

"Baru juga jam satu," ujar Aditya acuh. Ia lantas berbaring membelakangi tubuh istrinya. 

"Mas, besok ada acara di rumah bude, bagi uang ya buat beli bingkisan," pintanya lembut. 

"Bingkisan buat apa? Datang ya datang aja, ngapain bawa bingkisan segala! Kalau pakai bawa-bawa gitu mending ngga usah berangkat ke sana! Kamu nggak kekurangan saja sudah beruntung!" hardiknya sambil memejamkan mata. Setelah berucap kasar, Aditya semakin tenggelam dalam tidurnya. Ia tak lagi peduli bagaimana respon istrinya. 

Sedangkan di belakang tubuh Aditya, Fitri tengah nelangsa. Ia menangis dalam diam. Ia sudah berusaha adil dengan ibu dan mertuanya. Sedikit rejeki yang ia miliki sudah berusaha ia bagi rata untuk semuanya. Namun sang suami malah acuh pada saudara lainnya. 

Padahal siang tadi Fitri melihat amplop cokelat dalam lemari yang masih utuh terselip di bawah tumpukan baju milik suaminya. "Sebegitu perhitungannya kah dirimu, Mas?" batin Fitri. 

BersambungπŸ„πŸ„πŸ„

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status