Langkah Nerissa langsung terhenti ketika mendengar suara Naven. Tak menyangka jika Naven belum tidur. “Baik, saya kembali.” Terpaksa Nerissa kembali ke sofa dan duduk di sana. Mata Nerissa semakin berat. Dia benar-benar sangat mengantuk sekali. Namun, dia belum bisa pergi sebelum Naven tidur. Sesekali dia menguap karena mengantuk. Rasanya dia ingin sekali segera pergi ke kamarnya untuk merebahkan tubuhnya. Sayangnya, dia harus sabar menunggu. “Pak Naven sudah tidur?” tanyanya. “Belum.”Mendengar jawaban itu, Nerissa hanya bisa pasrah. Dia kembali menunggu Naven. Karena mengantuk, Nerissa menyandarkan kepalanya ke punggung sofa. “Pak Naven sudah tidur?” Beberapa saat kemudian Nerissa bertanya. “Belum.” Mendapati jawaban itu membuat Nerissa lelah menunggu. Dia terus menguap. Karena terlalu nyaman bersandar di punggung sofa, lama-lama Nerissa memejamkan matanya. “Pak Naven sudah tidur?” Kembali Nerissa memastikan kembali. Suara Nerissa terdengar lirih karena sudah mengantuk.Ka
Mendapati larangan itu tentu saja membuat Nerissa bingung. Kenapa tiba-tiba sekali Naven melarangnya. Padahal dia sudah siap untuk pergi berenang.‘’Memang kenapa?”“Kita akan pergi.”“Pergi ke mana?” Nerissa tampak penasaran sekali.“Sudah jangan banyak bicara. Bersiaplah. Nanti kamu akan tahu.” Naven mengayunkan langkahnya ke kamarSebenarnya Naven hanya mengulur waktu. Karena dia sendiri juga sedang memikirkan ke mana dia akan pergi bersama Nerissa.Saat ditinggal begitu saja oleh Naven, Nerissa hanya bisa terdiam. Dia masih merasa aneh sekali dengan sikap Naven. Kenapa juga pria itu tiba-tiba sekali ingin mengajaknya pergi.“Dia benar-benar menyebalkan sekali!”Nerissa harus menahan geramnya ketika Naven harus menghalangi kesenangannya. Namun, dia tidak punya kuasa untuk menolak. Dengan langkah kesal, Nerissa segera kembali ke kamar. Bersiap untuk pergi dengan Naven.Di kamar mandi, Naven yang sedang menggosok rambutnya dengan sampo, memikirkan ke mana dia akan membawa Nerissa. Pa
Kini tinggal Nerissa sendiri bersama mertuanya. Tentu saja itu membuat Nerissa takut sekali. Apalagi teman-teman Mama Ruby terlihat orang-orang berkelas.“Jadi menantu Jeng Ruby ini kerja di mana?” Salah seorang teman bertanya.Mendengar pertanyaan itu, Nerissa tampak takut. Sebagai karyawan rendahan, pastinya itu sangat memalukan.“Dia kerja sebagai manajer pemasaran di perusahaan kami.” Mama Ruby mengulas senyum manisnya. “Mereka itu seperti saya dan suami yang bertemu di kantor.” Kali ini Mama Ruby tertawa ketika menceritakan hal itu.“Wah ... ternyata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”“Benar-benar mereka memang menuruni kisah kami.” Mama Ruby tampak senang.Nerissa melihat Mama Ruby tampak bahagia sekali. Tentu saja membuat Nerissa tampak jauh lebih tenang.“Nerissa, belum ada tanda-tanda?” Teman Mama Ruby menatap Nerissa.“Tanda-tanda apa Tante?” Nerissa tampak bingung.“Tanda-tanda kehamilan?”Mendapati penjelasan itu membuat Nerissa bingung. Dia tidak tahu harus menjawab ap
Mendengar pertanyaan itu membuat dahi Naven berkerut dalam. Pikirannya melayang memikirkan siapa yang menghubungi. “Ini siapa?” Walaupun sudah bisa menebak, tapi Naven mau mendengar secara langsung. Saat Naven melemparkan pertanyaan itu, Nerissa menghentikan langkahnya. Entah kenapa dia merasa ikut penasaran ketika Naven bertanya siapa yang menghubungi. “Saya Evan Martin-teman Nerissa.” Benar dugaan Naven jika yang menghubungi adalah pria yang kala itu bertemu di restoran cepat saji. Pria itu ternyata benar-benar menghubungi Nerissa.“Ada perlu apa?” tanya Naven dengan ketus. “Apa bisa saya bicara dengan Nerissa?”Mendengar permintaan itu, Naven langsung menatap dengan tajam Nerissa. Dia sedikit kesal ketika pria di seberang sana ingin bicara dengan Nerissa. Tatapan Naven itu membuat Nerissa yakin jika sambungan telepon itu ada hubungannya dengan dirinya. Namun, tentang apa Nerissa tidak tahu.“Jika ada yang penting kamu bisa sampaikan padaku. Nerissa sedang sibuk.” Nerissa su
Naven yang sedang asyik menyesap bibir Nerissa tanpa sengaja menggigit bibir istrinya itu ketika didorong. Dengan segera dia bangkit dan menegakkan tubuhnya. Pria itu tampak santai. Padahal baru saja dia mencium Nerissa.“Kenapa Pak Naven mencium saya?” Nerissa langsung melemparkan protesnya ketika Naven dengan enaknya menciumnya tanpa permisi. “Itu hukuman untukmu.” Dengan tenang Naven menjawab.“Hukuman?” Dahi Nerissa berkerut dalam ketika mendengar jawaban itu. “Hukuman atas apa?” tanya Nerissa ingin tahu. “Hukuman karena kamu sudah mengambil ponselku dengan tanpa permisi. Jadi impas. Kamu mengambil ponselku tanpa permisi dan aku menciummu tanpa permisi.” Bukan Naven kalau tidak bisa mengelak dan membuat dirinya selalu benar. Dia punya beribu ide di kepalanya untuk hal-hal seperti ini. Nerissa hanya bisa terperangah ketika mendengar jawaban Naven itu. Benar-benar jawaban itu sangat konyol sekali. Tidak masuk akal. Mana ada pembalasan seperti itu.“Jika Pak Naven tidak suka sa
Nerissa sampai di kantor. Saat sampai di kantor, dia sudah disambut oleh Harry. Sudah beberapa hari dia tidak bertemu pria itu. Terakhir kali dia bertemu saat Harry menawarkan untuk mengantarkan Nerissa pulang saat Naven sedang pergi. “Pagi, Sa. Apa kamu sakit?” Harry tampak begitu penasaran. “Iya, aku sedikit flu.” Nerissa memilih berbohong karena tidak mau ketahuan apa yang terjadi. Tak mau banyak ditanya Harry, Nerissa langsung berlalu ke ruang kerjanya. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Nerissa sibuk mengerjakan pekerjaannya. Hari senin, biasanya pekerjaan menggunung. “Sa, ini untukmu. Teh hangat untuk meredakan flumu.” Tiba-tiba sekali Harry memberikan secangkir teh pada Nerissa. Apa yang dilakukan Harry itu tentu saja membuat Nerissa terperangah. Ada angin apa pria itu begitu baik padanya? “Terima kasih.” Nerissa menganggukkan kepalanya. Sayangnya, sesaat setelah menerima minuman dari Harry, pria itu tidak langsung pergi. Justru diam di samping Nerissa. “Kenapa
“Jangan-jangan apa, Sa?” tanya Ana penasaran.“Ada makan malam dengan Presdir nanti bersama para manajer.” Nerissa menjelaskan apa yang membuatnya kesal.“Akan makan malam dengan suamimu sendiri, kenapa kesal?” Ana terheran-heran dengan sikap Nerissa.“Masalahnya aku ada janji dengan temanku. Aku akan diajak jadi panitia reuni.” Nerissa mencoba menjelaskan.Ana mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun, sesaat kemudian dia mengerti akan sesuatu. “Apa jangan-jangan Pak Naven sengaja mengajak makan malam para manajer karena tidak mengizinkan kamu pergi?”“Sepertinya begitu.” Nerissa juga menduga hal yang sama.“Wah … sepertinya dia protektif sekali padamu. Sampai-sampai kamu tidak boleh pergi dengan teman-temanmu.” Ana malah kegirangan melihat sikap Naven itu.Nerissa menatap malas pada temannya itu. Dia merasa kesal sekali. Padahal dia ingin ikut bergabung jadi panitia reuni.“Sudah, tidak perlu jadi panitia. Cukup jadi peserta. Tidak perlu repot.” Ana memberitahu temannya itu.Mendengar u
Naven melihat siapa yang menghubungi. Namun, alih-alih mengangkatnya, dia justru memberikan ponsel itu pada Nerissa. Tentu saja Nerissa tampak terkejut ketika sang suami melakukan hal itu.“Cepat angkat atau aku akan matikan sambungan teleponnya!” Naven memberikan ancaman pada Nerissa.Mendapati ancaman itu, Nerissa langsung meraih ponsel Naven. Dia melihat layar ponsel untuk tahu siapa gerangan yang menghubungi Naven.Saat melihat layar ponsel, akhirnya Nerissa tahu siapa yang menghubungi Naven. Dengan segera Nerissa mengangkat sambungan telepon itu.“Halo, Van.” Nerissa menyapa Evan di seberang sana.“Halo, Sa. Kamu di mana?” Even di seberang sana langsung bertanya.Nerissa menduga jika Evan pasti sedang menunggu dirinya. Itu kenapa pria itu langsung bertanya seperti itu.“Van, maaf sepertinya aku tidak bisa bergabung untuk jadi panitia.”Naven yang tadinya memilih mengabaikan Nerissa dan Evan yang sedang berbicara pun, seketika langsung mengalihkan pandangan. Dia tidak menyangka ji