POV LunaAku sangat senang bisa datang ke sini. Setelah kurang lebih lima belas jam perjalanan yang cukup melelahkan, kami tiba di Amsterdam, salah satu kota terindah di Belanda. Aku tak menyangka akan berada di sini, menjadi bagian dari keluarga Van Renesse dan menjadi istri seorang lelaki berdarah Indo-Eropa.Aku masih merasakan ini seperti mimpi. "Selamat datang Luna." Bu Ayu memelukku erat. Baru pertama kali aku merasakan pelukan hangat seorang ibu yang sangat tulus. Mungkin Arga mewarisi sifat sayang dari ibunya dan ketegasan dari seorang ayah. "Makasih, Ma." Aku menyalaminya."Selamat datang Luna," sapa lelaki jakun tersebut, ayah mertuaku."Makasih, Ayah." Aku pun menyalaminya. "Bi Minah, sehat kan?" tanya Mama."Alhamdulillah. Masih sehat, Bu Ayu." Mereka berpelukan seperti dua sahabat yang sudah sangat lama tidak bertemu.Hari ini kami disuguhkan makanan khas daerah sini. Untungnya, Bi Minah bisa menyesuaikan. Awalnya, aku khawatir ia tak bisa makan. Ternyata, ia sudah ter
"Kamu ...! Kenapa kamu ada di sini?""Huh, sudah hampir dua tahun kita tidak pernah bertemu sejak kelulusan di kampus. Kamu jauh berbeda sekarang.""Terima kasih. Ngomong-ngomong, apakah kau yang bersembunyi di balik jendela tadi?" Aku tidak bisa basa-basi dan menahan penasaranku sehingga bertanya pada wanita di depanku ini secara langsung."Iya, benar. Tebakanmu tidak salah," jawabnya tak acuh."Apa maksudmu bersembunyi seperti itu? Apa yang kau inginkan?" "Apa maksudku? Kau ingin tahu?" Tatapan matanya nyalang padaku. Amarah itu masih kuingat, seakan sama di saat pertama kali ia melihatku duduk berdua bersama Arga di kantin kampus masa-masa kuliah dulu."Ya, tentu. Saya ingin tahu. Sikapmu sangat mencurigakan jika kau mengintip seperti itu.""Kau makin pandai berbicara dan berani sekarang," ucapnya mencibir."Sudahlah! Apa yang kau inginkan?" tanyaku padanya sambil memotong pembicaraannya. "Kalau kau masih menginginkan Arga, sebaiknya lupakan saja. Ia suamiku," ucapku tanpa basa-ba
POV LunaIngin sekali aku berontak dan mendorongnya agar menjauh dariku, tapi tidak bisa. Aku benar-benar tidak kuat menandingi kekuatannya. Dia sangat bertenaga dan energik. Aku tidak mungkin bisa mengimbanginya, apalagi dalam keadaan lemah seperti ini.Tangan kiri ini mencari terus tombol darurat tadi, tapi tidak dapat aku raih. Aku masih berusaha terus meskipun belum berhasil. Aku melihat darah mengalir di selang infus menuju ke atas. Sepertinya Nala sengaja mengaturnya. Seketika gebrakan pintu yang tertutup rapat terdengar di telinga ini. Beberapa orang bergegas memasuki ruangan, tempat di mana aku sedang dirawat. "Non, ada apa? Anda baru saja menekan tombol darurat!" Mereka bertanya padaku dengan wajah panik sambil bergantian menatap ke Nala. Aku pikir bahwa aku tidak berhasil menekan tombol darurat tadi karena tanganku tidak kuat lagi menggerakkan tanganku. Tapi ternyata, aku bisa. Sebenarnya aku tidak ingat lagi karena panik. "Astaga, jarum infusnya!" seru perawat yang lain
POV Luna"Ingat, ini belum berakhir! Kau akan kubalas nanti dan menanggung akibatnya," ucap Nala padaku kemudian beranjak dari ruangan ini dengan kesal.Tanpa rasa malu maupun bersalah, ia pergi begitu saja. Di mana hati dan pikiran jernihnya? Apakah dia tidak merasakan lagi rasa malu, sehingga tidak segan berbicara seperti tadi di depan orang banyak."Maafkan atas kecerobohan kami, Pak. Mulai saat ini, kami akan memaksimalkan keamanan pasien di rumah sakit ini." Dokter Salman mengucapkan permohonan maaf sekali lagi ke Arga. Wajahnya sangat serius dengan penuh penyesalan. Wajar saja dia mengucapkan permintaan maaf, karena hal ini berhubungan dengan reputasi rumah sakit yang ia pimpin jika saja benar-benar terjadi kepadaku. Pertimbangannya adalah pasiennya istri seorang pengusaha terkenal. Hal ini yang sangat dikhawatirkan olehnya jika terendus oleh media. "It's okay. Lupakan saja, Pak. Semoga tidak terjadi ke pasien yang lain lagi.""Terima kasih, Pak, atas pengertiannya. Omong-omon
POV LunaIa menatapku lebih dulu dari ujung kepala sampai kaki kemudian tidak menoleh lagi padaku. Ia hanya pergi berlalu membiarkanku berdiri sendiri di depan pintu. Aku pikir dia akan memberitahu Pak William, wakil direktur tentang keberadaanku di sini sebelum dia pergi, tapi ternyata tidak.Aku mencoba mengetuk pintu sendiri. Suara dari dalam mempersilakan aku untuk masuk."Silakan duduk, Nona!""Terima kasih, Pak." "Nona Luna?""Iya, Pak."Sosok Pak William ternyata masih muda, mungkin seumuran dengan Arga. Aku pikir seorang wakil direktur ialah orang tua, yang usianya berkisar 50-an, tapi ternyata tidak.Kulitnya sangat putih. Tatapannya tajam. Wajahnya tampan, tidak jauh berbeda dengan Arga. Akan tetapi ia tampan versi imut, sedangkan Arga, tampan dengan didominasi maskulinitas.Auranya sangat terasa saat dia berbicara. Sangat wajar bahwa dia sosok yang disegani. Saat menyapa, ia terlihat tenang, tetapi serius dan juga tajam. "Baik. Berdasarkan resume yang anda kirimkan, kami
POV LunaAku beranjak dari tempat dudukku sambil membawa minuman dan juga roti yang kupesan. Lebih baik menghindarinya secepat mungkin daripada menambah masalah. Jujur, aku tidak mengenalnya sama sekali. Dia memaksakan kehendaknya padaku untuk mengenalinya. Akan tetapi, dia tidak terlihat seperti orang biasa. Pakaian yang ia kenakan terlihat sangat mahal. Apalagi tas yang masih tersampir di bahunya, siapapun bisa menebak bahwa harga dari tas tersebut sangat mahal.Hari ini merupakan hari pertama aku bekerja. Akan tetapi, aku tidak pernah menduga akan mendapatkan masalah di hari pertamaku. Tunggu! Aku baru ingat sekarang! Pagi tadi, aku diingatkan oleh seorang resepsionis dengan kata-kata yang mengisyaratkan aku agar betah bekerja di sini. Mungkinkah keadaan yang kualami ini yang dia maksud?Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mungkin saja, aku bisa menemuinya di sini dan menanyakan apa maksud ucapannya tersebut. Tetapi, aku tidak melihatnya.Aku terus berjalan mencari tempat
POV Luna"Aku sudah menyelesaikannya, kau bisa mengeceknya sekarang." Setelah mengucapkan itu, aku mengirim file ke e-mail yang digunakannya mengirim ke komputer yang aku pakai. Ia masih mengamati naskah tersebut di monitornya. Aku melihat ke arahnya sejenak sambil menunggu instruksi berikutnya, berharap tak ada kesalahan yang aku lakukan. "Mmm, lumayan! Tambahkan sentuhan akhir di bagian biodata," titahnya padaku. Meskipun ia tidak tersenyum sedikit pun saat mengucapkannya padaku, tetapi aku cukup senang mendengar pujiannya atas kinerjaku.Aku pun melanjutkan mengedit lagi. Kali ini dengan sedikit semangat. Dalam bekerja apapun, aku sangat serius dan fokus, sehingga tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 16.50. Setelah itu aku selesai dengan pekerjaanku. File tersebut aku kirim balik padanya kemudian mematikan komputer kerjaku. Beberapa karyawan mulai beranjak dari tempat kerja mereka masing-masing. Bunyi kendaraan meraung-raung, bahkan asap motor tua pun sudah mengepul, t
POV LunaAku bangun hampir kesiangan. Setelah membersihkan diri, aku menuju ruang makan. Melihat makanan yang telah tersaji, nafsu makanku tiba-tiba muncul. Aku langsung melahapnya karena sangat lapar.Semalam, aku makan tidak terlalu banyak karena terlalu mengantuk. Karena terlalu larut malam menunggu Arga dan ia belum pulang, aku memutuskan tidur terlebih dahulu setelah makan seadanya.Subuh tadi, ia sudah berangkat ke kantor. Arga sudah memberitahuku sebelumnya. Jadi, aku harus berangkat sendiri ke kantor tanpa diantar olehnya. Tapi, dia sudah janji akan menjemputku nanti sore.Sebuah taksi telah tiba di depan rumah. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan menuju taksi. Setengah jam berlalu, aku tiba di kantor. "Halo, Bu Luna! Selamat pagi!" Pak William menyapaku di meja kerja. Aku cukup terkejut dan merasa canggung kalau disapa di meja kerjaku langsung. Belum lagi dilihat oleh beberapa karyawan lain yang sedang duduk. Aku sedikit bertanya-tanya, kenapa dia tidak memanggilku ke