"Jadilah istriku, akan kubuat kamu bahagia."
Kalimat itu menggema di telinga Riri manakala menatap foto pernikahannya. Pernikahan yang baru seumur jagung itu kini dihantam badai yang sangat kuat, ia merasa terlalu cepat hal ini terjadi. Bukan kah ujian orang ketiga adalah ujian di sepuluh tahun kedua? Lalu kenapa ia harus menghadapinya bahkan di saat pernikahannya masih seumur anak yang baru bisa berlari.
Harusnya saat ini ia masih merasakan keharmonisan rumah tangga, bukan justru sebaliknya. Riri mendekap foto itu dengan erat lalu memejamkan mata, kini ia harus memilih antara mempertahankan atau mengakhiri semuanya.
Samar-samar Riri mendengar suara adzan berkumandang, perlahan ia membuka matanya. Foto yang sejak tadi dipelul erat sudah tak ada dan kembali terpajang di atas nakas, bahkan dia pun telah berbeda posisi, membayangkan pertemuan dengan Ardi hingga berada di posisi sekarang dengan cucuran air mata rupanya membuat Riri tertidur dengan membawa duka yang dirasa sangat perih.
Riri bangkit dan beranjak membersihkan dirinya, lalu bermunajat pada sang pencipta, menyerahkan segala hal yang menimpanya kini, tak ada siapa pun yang bisa mintai Riri kekuatan untuk menghadapi hal ini, kecuali Tuhannya.
Di atas sajadah yang terbentang, sajadah yang menjadi isian dari seserahan yang dibawakan Ardi dulu, Riri menumpahkan semuanya, semua perasaan yang kini ia rasakan. Sungguh rasanya paling terasa nyaman ketika semua sudah diadukan pada pemilik perasaan ini. Ya, setiap perasaan apapun dalam diri semua adalah ciptaanNya, maka menikmati hal itu lalu mengembalikan semuanya pada pemiliknya adalah hal yang paling tepat ketimbang dikeluhkan.
Usai merasa sangat tenang, Riri membereskan alat ibadahnya itu. Setelah percakapan dengan Ardi tadi malam, Riri masuk kamar dan merenung lalu kini ia mencari suaminya itu. Bergegas keluar kamar tapi tak ia dapati lelaki itu, pikirannya sudah kembali tak baik, berkecambuk dalam prasangka yang tak pernah berakhir padahal baru saja ia merasa tenang karena sudah memasrahkan semua pada Tuhan tapi ternyata Riri tetap manusia biasa yang tak sanggup menepis semua dugaan itu.
Membereskan rumah secepat mungkin, menepis semua prasangka dan mencoba bersikap tenang. Setelah semua selesai Riri sudah bersiap akan pergi kali ini tujuannya adalah rumah orang tua Ardi. Ya, ia selalu mengingat pesan ayahnya, malam sebelum ia menikah.
"Jika kelak terjadi perselisihan antara kamu dan Ardi lalu kalian tak bisa menyelesaikannya maka yang harus kamu temui pertama kali untuk mengadu adalah mertuamu jangan datang pada kami, jika mereka tak mengindahkan aduanmu barulah datang pada kami. Ingat itu nak, karena kunci langgengnya sebuah pernikahan adalah tetap menjaga cara berkomunikasi."
Riri baru ingat ponselnya ketika akan mengabarkan kepergiannya pada Ardi yang entah dimana sekarang. Ia mencari ponselnya, yang ditemukannya di bawah bantal. Batrenya ternyata habis, segera ia isi terlebih dahulu dan menunggu beberapa saat untuk terisi.
Suara pagar terbuka dan disusul deru suara kendaraan memasuki pekarangan rumahnya membuat Riri segera berjalan menuju arah suara itu, Ardi dengan mobil yang dia kemudikan lalu berhenti tepat di depan terlihat jelas oleh Riri. Entah sejak kapan lelaki itu pergi atau bahkan mungkin semalaman dia memang tak tidur di rumah ini.
Pintu terbuka, Riri mematung di dekatnya. Ardi yang melihat Riri lalu ia mengurai senyum pada istrinya itu.
"Kamu sudah bangun sayang."
"Dari mana?"
Riri menatap Ardi penuh tanya, ia tak mengindahkan sambutan dari suaminya itu. Bahkan tak ada garis senyuman di bibirnya.
"Tadi…."
"Mbak Rianti lagi? Dia butuh kamu lagi di tengah malam-malam buta? Kamu gak tega bangunin aku gitu? Gak ada niatan kamu buat ajak aku juga bantu sahabat kamu tercinta itu, iya?"
Riri menyela ucapan Ardi, mencecar Ardi dengan pernyataan bertubi-tubi tak sedikitpun memberikan kesempatan pada Ardi untuk membela diri.
"Anaknya sakit lagi? Minta tolong dibawa ke rumah sakit oh atau jangan-jangan dia yang sakit, sakit jiwa."
"RIRI."
Riri semakin merasa darahnya mendidih mendengar bentakan Ardi, akhirnya hal itu terjadi, sejak menikah Ardi nyaris tak pernah memanggil Riri dengan sebutan namanya, ia selalu dipanggil sayang atau dek oleh suaminya itu tapi pagi ini. Ah, rasanya itu bak petir yang menghantam tepat di atas kepalanya.
"Ow, sudah berani panggil nama ya."
Riri mencoba tetap tenang dan tak memperlihatkan amarahnya yang sudah di ubun-ubun.
"Kamu kenapa sih? Selalu saja curiga sama aku, tanya dulu baik-baik, terima dulu aku baik-baik. Ini masih pagi, selalu saja bikin kacau pagiku."
"Apa kamu bilang? Mengacaukan pagimu? Bukan aku, kamu yang mengacaukan hari-harimu sendiri."
Ardi menghela nafas, ia mencoba bertahan tetap tenang kembali setelah kelepasan membentak Riri dan membuat suasana ini menjadi tak karuan.
Lagi, pertengkaran itu terjadi setiap pagi saat Ardi pulang entah dari mana pagi ini. Riri hanya berprasangka hal yang tidak baik pada Ardi. Sementara Ardi mencoba menghindari pertengkaran pagi ini, ia berlalu meninggalkan Riri yang masih emosi dengan sikap suaminya itu.
"Yang istri kamu itu siapa sih aku atau perempuan itu?"
Langkah Ardi terhenti ketika pertanyaan itu menghampiri telinganya. Lalu ia membalikan badan dan menghampiri istrinya itu. Wajahnya ia condongkan pada perempuan yang masih membuat hatinya berdebar manakala menatap kedua netra itu. Cinta itu masih terasa kuat pada perempuan di depannya.
"Jika aku mencintai perempuan itu, sudah sejak dulu aku menikahinya. Harus berapa kali aku berkata demikian, tapi tetap saja tidak percaya. Jadi sekarang terserah kamu," ucap Ardi lalu kembali membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Riri.
Terduduk lemas di sofa, Riri menarik nafas panjang meraup udara sebanyak yang ia butuhkan untuk membuat dadanya yang sesak kembali normal. Setelah merasa tenang, Riri bangkit dari duduknya. Lalu ia meraih ponselnya dan mencari kontak ibu mertuanya untuk mengabarkan kedatangannya.
[Sayang, malam ini aku tidur di outlet ya. Mungkin kita memang perlu saling menyendiri untuk mencoba menyelesaikan masalah ini. Aku akan merenungkan semua yang sudah terjadi pada rumah tangga kita, setelah kita tenang mari kita sama-sama bicara lagi. Oh, ya. Maaf aku melepaskan foto pernikahan yang kamu peluk erat, tenang saja aku akan tetap menjaga foto pernikahan itu tetap utuh. Berdoalah agar kita kuat menghadapi ujian ini.]
Air bening itu telah membuat aliran anak sungai di kedua pipi Riri manakala membaca pesan yang dikirim Ardi padanya, betapa tidak Riri merasa sudah sangat bersalah telah mencecarnya dengan berbagai tuduhan pada suaminya itu. Semua tuduhan yang justru berbanding terbalik dengan kenyataannya. Kini Riri merasa menyesal. Tapi sayang semua itu tak mempan karena ia tahu itu hanya siasat manisnya, segera ia mengusap air mata itu dan melupakan rasa sesal karena sudah menuduhnya.
Niat untuk pergi ke rumah orang tua Ardi tetap dilakukan oleh Riri, ia tak mau terus berlarut dengan ketidak tenangan ini. Ia mau semua kembali normal lagi, kedua orang tua Ardi harus tahu kelakuan anaknya yang masih saja berhubungan terlalu dekat dengan lawan jenis.
"Aku akan pergi ke rumah orang tua kamu," ucap Riri di dekat Ardi yang tengah bersiap menuju outlet ponsel miliknya.
Sejenak Ardi menghentikan aktifitasnya dan menatap Riri.
"Mau apa? Mau kamu adukan sikapku."
"Please, jangan kayak anak kecil. Kita bisa menyelesaikannya berdua. Kuncinya satu, kamu percaya sama aku. Itu saja."
"Sayang aku sudah tak percaya sama kamu, mas."
"Nah, itu. Itu masalahnya, masalahnya ada di diri kamu. Kamu sudah tak percaya lagi sama aku," tuduh Ardi.
"Apakah aku masih harus percaya sama kamu ketika aku tahu ternyata kamu menyembunyikan pesan rahasia dengan sahabatmu itu."
Seketika Ardi mengernyitkan dahi, benaknya dipenuhi tanya apa maksud ucapan istrinya itu, apakah dia mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya?
"Kamu bisa bersikap tenang, lalu kita duduk berdua menyelesaikan semua ini. Aku tuh cape dituduh terus sama kamu."Riri mematung mendengar ucapan suaminya yang lagi-lagi menghentikan langkahnya untuk pergi. "Kalau kamu pergi lalu menceritakan semua persoalan kita pada ibu, apa yakin semua akan selesai?" "Setidaknya mereka tahu kelakuanmu." Ardi mengusap wajah kasar, ia masih mencoba tidak terpancing emosi atas sikap istrinya itu. Ardi maju beberapa langkah hingga tepat di depan Riri. Perlahan meraih tangan Riri dan menjatuhkan tas yang dipegang oleh Riri. Tatapan Ardi lekat pada dua netra yang sudah mengering, tak ada lagi air mata bagi Riri meski hatinya sudah terasa perih. "Tetaplah disini, aku akan menjelaskan semuanya." Riri masih bergeming, terpaku dalam bayangan kisah cintanya dengan lelaki yang akhirnya menikahinya itu. Perjalanan yang terbilang singkat memang hanya kurang lebih delapan bulan sampai menikah. Riri mantap menikah bukan tanpa sebab karena melihat keseriusan
Getar ponsel dengan nada berbeda membuat Riri segera melepaskan cengkraman tangan Ardi yang sudah lemas. Panggilan dari Laras adalah hal yang paling ditunggu saat ini, beruntung Riri punya teman jago IT seperti Laras hingga ia merasa punya penyelidik yang handal. Bergegas menjauh dari Ardi, Riri mengangkat telepon itu."Dari hasil penyelidikan hari ini, Bayu suami si perempuan itu akan pulang akhir pekan ini usahakan kamu jangan dulu kemana-mana. Kita mainkan semuanya.""Oke." "Telepon dari siapa?" Riri terkejut dengan segera ia mematikan telepon itu dan memasukkannya ke dalam saku. Riri mencoba bersikap tenang, lalu ia mengulas senyum manis. Perubahan sikap yang terlalu cepat membuat Ardi heran, tapi Riri tak putus asa untuk membuat semua terlihat baik-baik saja. "Dari klien ku." "Klein ku, sejak kapan kamu menerima konsultasi lagi.""Ah, itulah mas. Mas Ardi itu terlalu ngurusin hidup orang sampai kegiatan istrinya pun lupa padahal aku pernah mengirim pesan izin untuk menerima p
"Aku yakin Laras, mereka bukan hanya sekedar bersahabat. Dugaanku selama ini kemungkinan besar sudah tepat.""Tapi kamu sendiri kan yang bilang kemungkinan foto itu diambil sudah lama.""Tapi Mas Ardi masih menyimpannya, untuk apa?"Laras terdiam, prasangka temannya itu tak mungkin salah apalagi setelah melihat bukti foto yang sengaja Riri ambil dari ponsel Ardi saat Ardi tak sadarkan diri kemarin. Riri memang perempuan pendiam, tapi dalam diamnya Riri selalu mampu bekerja dengan baik pula.
"Dengarkan aku, jadilah wanita yang tetap tenang, elegan dalam menghadapi situasi terburuk sekalipun. Ikuti permainan perempuan itu, jangan bahas apapun berikan sedikit kejutan dengan menyindir apa yang udah kami ketahui. Aku tahu ini pasti sangat menyakitkan tapi terlihat kuat di depan musuh adalah cara terbaik untuk membuat musuh kita takut."Riri mendengarkan nasehat sahabatnya itu dengan baik, dia benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat sebaik Laras. Di saat tak ada keluarga terdekat yang tahu akan masalahnya masih ada sahabat yang betul-betul sangat peduli padanya."Doakan aku ya.""Pasti, percayalah Tuha
"Jelaskan ini semua?"Bayu menatap tajam Rianti sesaat setelah melihat isi map itu, Rianti dengan sigap mengambil map itu dan melihat isinya. Dengan tenang dia melihat dan membacanya lalu menarik nafas panjang, wajah Ardi sudah tak karuan sementara Rianti ternyata jauh lebih bisa mengontrol dirinya. Sempurna seolah tak ada rasa bersalah, dia tersenyum lalu menatap mata suaminya."Mas Bayu percaya saya atau percaya dia?" tanya Rianti tenang.Bayu tak menjawab, tentu saja dia bingung karena mungkin satu sisi dia pun masih tak percaya dengan semua yang dilihatnya dari map itu hanya isi percakapan-cakapan pesan.Rianti menghela nafas dan Riri pun mulai mengerti sikap lawannya itu, Ardi mulai terlihat tenang."Mas, hal kayak gini tuh bi
"Apa lagi yang mau kamu jelaskan hah?""Mas, semua tidak seperti itu. Tolong beri aku kesempatan untuk bicara Mas."Rianti terus memohon pada Bayu untuk menjelaskan semuanya, sepanjang perjalanan mereka bungkam, setelah sampai rumah semua berubah. Rianti menidurkan anak mereka setelah itu kembali ke ruang tengah menghampiri Bayu."Isi percakapan kamu dan Ardi di aplikasi rahasia yang kamu sembunyikan dariku sudah cukup jelas, percakapan kalian bukan percakapan biasa. Panggilan sayang, perhatian, kamu marah ketika Ardi tak bisa menemanimu, ketika dia lebih mementingkan istrinya dan semuanya sudah cukup jelas. B
"Sudah ibu bilang putuskan hubungan dengan perempuan itu, kamu tidak mendengar ibu."Ardi hanya tertunduk mendengar ucapan ibunya, semakin berada pada sebuah kesalahan yang fatal. Sejak awal menikah ibu Ardi sudah memperingati hal itu, tapi tak pernah digubris oleh Ardi."Hubungan antara lelaki dan perempuan setelah menikah harus berakhir, apapun alasannya.""Tapi bu, ibu tahu apa yang sudah dilakukan Rianti, dia ….""Cukup Tuhan yang membalas kebaikannya, kamu itu lelaki harus tegas kalau sudah seperti ini ibu hanya bisa menanggung malu atas sikapmu."Ardi terdiam tak bisa bicara lagi, bibirnya terasa kelu. Riri tak ada di rumah ibunya, tapi dia sudah datang dan menceritakan semuanya parahnya dia datang bersama kedua orang
"Berani kamu datang kesini, hah?"Satu pukulan mendarat di wajah Ardi."Aku bilang hah? Jangan sakiti adikku."Lagi, bertubi-tubi Raka menghajar Ardi yang datang menemui Riri, Ardi mencoba melawan tapi Raka yang mantan atlet silat itu terus menghajarnya. Ibu dan Riri yang mendengar suara keributan di luar segera datang."Asgafirullah, Raka Raka hentikan."Ibu berteriak, Riri sigap melerai keduanya ia mendorong kuat tubuh kakaknya agar menjauh dari suaminya, ia tak bisa menyembunyikan cinta yang bersarang di hatinya untuk Ardi, melihat lelaki yang menghuni hatinya itu dihajar sang kakak membuat dia merasakan sakitnya.Raka berhenti menghajar adik ipar sekaligus temannya itu. Nafasny