"Hari ini, keluarga kita akan... semakin lengkap. Semakin utuh!" Ridwan menyelesaikan kalimatnya, suaranya bergetar menahan haru, lalu menarik Rahma ke dalam pelukan erat bersama Alana.
Rahma memejamkan mata, merasakan hangatnya tubuh Ridwan dan sentuhan lembut Alana di sisinya. Sebuah pelukan bertiga, yang seharusnya terasa hangat dan penuh kebahagiaan, kini justru seperti belati tumpul yang perlahan menusuk jantungnya. Ia memaksakan senyum, mengangguk dalam pelukan, berusaha keras agar air mata yang menggenang di matanya tidak tumpah membasahi bahu Ridwan.
"Terima kasih, Rahma... terima kasih banyak, Sayang," bisik Ridwan di antara kedua istrinya, suaranya serak menahan tangis haru. "Ini semua berkat kamu. Berkat kebaikan hatimu yang enggak ada duanya."
Alana juga ikut memeluk Rahma, wajahnya berseri-seri. "Iya, Mbak. Makasih banyak. Aku... aku enggak tahu harus bagaimana tanpa Mbak."
"Sama-sama," Rahma berhasil mengucapkan dua kata itu, suaranya nyaris
Rahma terpaku di tempat, ponselnya terasa dingin dan berat di tangannya. Matanya memindai kata-kata Ridwan, membiarkan setiap huruf menusuknya seperti serpihan kaca tajam.Mas Ridwan: Sayang, Alana baru saja masuk ke kamar dan dia menangis histeris. Dia bilang kamu mengancamnya. Ada apa? Kenapa kamu menyakitinya? Mas benar-benar tidak mengerti kenapa kamu melakukan ini. Mas minta maaf, tapi Mas harus bilang—tolong, jangan ganggu dia lagi. Mas harus memilih, dan Mas memilih dia. Malam ini, Mas akan mengunci pintu kamarnya. Jangan pernah—Jangan pernah mendekati kamarnya lagi tanpa izinku.Kalimat itu, yang terpotong di layar, terasa selesai di benak Rahma. Itu adalah deklarasi perang yang jelas, tetapi datang dari suaminya sendiri.Rahma menjatuhkan ponselnya ke atas tempat tidur, suara benda jatuh yang empuk itu terasa memuakkan di tengah keheningan yang menyelimutinya. Ia tidak menangis. Air mata tidak akan datang. Yang ada hanyalah
"Aku sudah melihat daftar vitamin yang harus kamu minum, dan aku sudah menyiapkan jadwal makan yang ketat. Aku juga akan memanggil suster pribadi untuk membantumu, sehingga Ridwan tidak perlu sepenuhnya mengurus semua kebutuhanmu," Rahma menjelaskan, suaranya tegas. "Dan sebagai gantinya aku sebagai penanggung jawab utama kesehatanmu dan anak ini, aku berhak memantau semua kegiatanmu. Tidak ada lagi berjalan-jalan sendirian, tidak ada lagi menerima tamu tanpa izin, dan tidak ada lagi naik tangga."Rahma berjalan mendekat ke kursi Alana, matanya menatap tajam, menembus lapisan kepalsuan Alana. "Kamu adalah tamuku di rumah ini. Kamu harus ingat itu, Alana. Kamu di sini demi anak. Dan aku akan pastikan anak itu lahir dengan selamat, di bawah pengawasanku."Rahma menegaskan batasan, mengubah kamar tamu itu dari markas Alana menjadi penjara emas.Alana terlihat geram, raut wajahnya yang tadinya manis kini berubah masam. "Mbak Rahma terdengar seperti sedang memenjarak
Sore itu, Alana datang dengan di antar sopir yang membawa koper-koper kecilnya. Ia terlihat tidak nyaman, tetapi ada kilau puas di matanya saat ia melangkah memasuki ambang pintu rumah mewah itu. Rumah yang ia yakini akan menjadi miliknya dan bayinya sepenuhnya suatu hari nanti.Rahma menyambutnya di ruang tamu dengan penampilan yang sempurna."Selamat datang, Alana," sapa Rahma, senyumnya tidak pernah pudar. "Aku sudah siapkan kamarmu. Aku harap kamu nyaman. Tidak usah sungkan, anggap saja ini rumah sendiri."Alana memaksakan diri untuk tersenyum. "Terima kasih, Mbak Rahma. Maaf sudah merepotkan.""Tidak merepotkan sama sekali. Ini demi anak kita," kata Rahma, menekankan kata 'kita' dengan nada lembut yang membuat Alana sedikit salah tingkah. Alana selalu lebih nyaman menghadapi Rahma yang rapuh, bukan Rahma yang tenang dan mengendalikan.Setelah Alana selesai menata barang-barangnya di kamar tamu yang luas dan mewah, mereka bertiga duduk untuk ma
"Alana, dengar," Ridwan memulai, suaranya serak dan berat, hatinya sakit. "Mas... Mas tidak bisa..." ia menarik napas tajam, mengumpulkan semua keberaniannya yang tersisa. "Mas tidak bisa mengambil risiko kamu pergi. Mas harus tetap di sana. Mas harus menemani kamu malam ini. Demi bayi kita, Sayang. Mas minta maaf."Keheningan kembali menyelimuti saluran telepon, namun kali ini terasa berbeda. Di ujung sana, Alana tidak lagi berteriak, melainkan tertawa pelan, tawa yang dingin dan penuh kemenangan."Baik, Mas," jawab Alana, nadanya tiba-tiba kembali manis. "Aku mengerti. Terima kasih, Mas. Aku tunggu Mas di sini. Jangan lama-lama, ya. Aku butuh Mas sekarang."Ridwan menutup telepon, tangannya gemetar. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya, mobilnya masih terparkir di pinggir jalan, jauh dari rumah utama Rahma, dan jauh dari rumah kontrakan Alana. Ia telah mengambil keputusan. Keputusan yang terasa seperti ia mencabut sebagian jiwanya dan memberikannya kepada ancaman yang paling keras.
...setiap detik terasa bagai setahun."Mas..." Suara Rahma di telepon bergetar, hampir tidak terdengar. Ia menunggu, napasnya tertahan. Ia bisa mendengar Ridwan menghela napas di seberang sana."Sayang," Ridwan memulai, nadanya penuh dilema. "Mas... Mas sudah janji sama Alana. Dia kan lagi hamil, Mas enggak enak kalau...""Mas," Rahma memotong, kali ini air matanya benar-benar tumpah. Ia tidak bisa lagi menahannya. "Rahma tahu, Rahma tahu Mas sudah janji sama Alana. Tapi... Rahma benar-benar merasa tidak enak badan, Mas. Rasanya... rasanya Aku takut sekali kalau sendirian malam ini." Suaranya berubah menjadi isakan yang tak tertahankan. "Rahma... Rahma tidak tahu kenapa, Mas. Tapi ini... ini berat sekali untuk Rahma. Aku hanya ingin Mas ada di sini, di sampingku, malam ini saja."Ada keheningan di ujung telepon. Rahma bisa membayangkan Ridwan di sana, mungkin sedang bingung, mungkin sedang merasa bersalah. Keheningan itu terasa lebih berat daripada penola
...dari malam-malam yang akan memisahkannya dari Ridwan. Rahma memejamkan mata, isakannya tertahan di balik bantal yang ia benamkan wajahnya.Setiap desahan yang ia dengar, setiap tawa kecil yang lolos dari bibir Alana, menusuknya seperti serpihan kaca tajam. Ruangan ini terasa dingin, kosong, dan sangat asing. Bau parfum Ridwan yang seharusnya menenangkan, kini bercampur dengan imajinasinya tentang keintiman mereka, menciptakan aroma pahit di rongga dadanya. Ia memeluk lututnya, meringkuk di atas kasur yang terasa terlalu besar untuknya sendiri. Ini malam pertama. Dan ia tahu, masih akan ada malam-malam selanjutnya. Malam-malam yang akan menguji batas kesabaran dan keikhlasan yang selama ini ia genggam.Malam itu terasa sangat panjang. Rahma tidak bisa tidur. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan Ridwan dan Alana muncul, menari-nari di pelupuk matanya. Ia hanya bisa terbaring, mendengarkan detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang, dan sesekali suara s