Share

BAB 2 Kenyataan

Penulis: Pujangga
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 10:54:13

Brak! Blarrr!

Pintu kamar terlempar sejauh 2 meter dan berakhir tergeletak di dekat pembaringan.

Setelah itu, seorang anak lelaki berusia 14 tahun berlari cepat menghampiri Lintang.

Raut wajahnya pucat karena panik, dia mengenakan pakaian berwarna abu dengan celana panjang sebetis yang juga berwarna abu.

Namun ikat pinggang anak tersebut berwarna hitam, melingkar mengencangkan pakaian serta menjadi penyangga sebilah pedang.

Tubuhnya cukup kekar, berkulit putih mulus dengan wajah tampan berambut panjang.

Dia mengenakan ikat kepala berupa kain berwarna merah tua sebagai ciri seorang murid dari sebuah perguruan.

“Kusha! Ada apa? Di mana? Siapa yang menyakitimu?” teriak anak lelaki itu kepada Lintang.

Dia terlihat mengedarkan pandangan menyusuri setiap sudut kamar, mencari seseorang yang telah membuat adiknya menjerit.

Tetapi di sana tidak ada apa-apa selain seorang bocah berusia tujuh tahun berkulit biru yang sedang duduk termangu sembari memeluk kedua lututnya seperti anak yang tengah ketakutan.

Merasa kesal mengira sudah dipermainkan, anak lelaki tadi lantas menggetok kepala Lintang menggunakan gagang pedang membuat bocah berkulit biru langsung mengerang berteriak kesakitan.

 “Apa yang kau lakukan bocah? Sakit tahu, dasar anak tidak tahu sopan santun!” maki Lintang sembari menggosok kepala berusaha mengurangi rasa sakit.

Peletak! Aaaaaaaw!

Lintang lagi-lagi menjerit terkena getokan kedua, di mana anak lelaki tadi ternyata menggetoknya kembali dengan wajah merah menahan amarah.

“Dirimu yang bocah, dasar tengik! Beraninya kau memaki kakakmu sendiri,” umpat sang anak lelaki sembari menyilangkan tangan di depan dada.

“Apa! Aku? Kau yang bocah, dasar anak nakal!” maki Lintang masih kesakitan, sementara sang anak lelaki tadi hanya terkekeh menyeringai ke arahnya.

“Siapa kau bocah? Mengapa menggangguku?” teriak Lintang.

Dia berdiri di atas pembaringan seraya menatap marah kepada sang anak lelaki.

“Hahahahahahaha! Lama kutinggalkan ternyata dirimu sudah melupakan aku, dasar adik nakal! Kau lupa atau pura-pura lupa, Kusha? Tentu saja aku adalah kakakmu, Balada yang tampan dan pemberani,” sang anak lelaki tertawa membuat Lintang semakin bingung tidak mengerti.

“Ka-ka—kakak? Sejak kapan aku memiliki kakak?” gumam Lintang di dalam hati.

Namun tidak lama setelah itu, Lintang kembali menjerit akibat kupingnya dijewer oleh Balada.

Dia ditarik keluar kamar, dibawa melalui lorong panjang menghadap sepasang suami istri yang tengah duduk di atas meja makan.

“Aww, sakit sialan! Lepaskan aku, tolong! Lepaskan dasar anak naka!” Lintang meracau, meronta berusaha melepaskan diri.

Tapi Balada tidak peduli, anak lelaki itu terus saja menarik Lintang tanpa ampun bahkan sembari tertawa terbahak bahak.

“Hahahahahaha, aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau mengakuiku sebagai kakak,” ujar Balada.

Sudah 4 tahun Balada meninggalkan rumah, dia berguru di sebuah padepokan kanuragan terbesar di kerajaan Suralaksa.

Sementara Lintang tumbuh menjadi seorang anak pendiam, dia jarang sekali keluar rumah akibat selalu dibuli dan dicemooh oleh anak-anak lain hanya karena berbeda warna.

Lintang yang sekarang bernama Kusha, dia lahir dari sepasang suami istri yang kaya raya.

Hal itu karena ayahnya merupakan seorang saudagar ternama di katumenggungan Surapala.

Lintang hidup damai penuh kemewahan di sebuah kediaman besar. Dia tumbuh dengan kasih sayang orang tua.

Bahkan para pelayan di rumahnya juga begitu menyayangi Lintang karena sosok Kusha memiliki kerendahan hati, sopan santun, tidak sombong dan selalu baik kepada semua pelayan.

Namun 15 hari yang lalu, Lintang mengalami insiden yang cukup mengerikan.

Kusha secara tidak sengaja terperosok ke dalam sumur kering sedalam 10 meter hingga membuatnya terkapar dan harus dirawat oleh tabib katumenggungan.

Lintang terbaring tidak sadarkan diri selama 15  hari dan kabar tentang kecelakaan yang dialaminya tersebar secara cepat.

Bahkan kabar tersebut sampai terdengar ke tempat Balada membuat anak lelaki itu langsung bergegas pulang untuk memastikan keselamatan adiknya.

Balada tiba di rumah di malam sebelum Lintang terbangun, dia menjaga Kusha semalaman sampai pagi menjelang.

Setelah mentari terbit, Balada baru keluar dari kamar adiknya karena ingin membersihkan diri setelah melalui perjalanan jauh.

Tapi tanpa sengaja, pintu kamar Kusha terkunci dari dalam karena Balada menutupnya terlalu keras. Namun anak lelaki itu tidak menyadarinya.

Selepas mandi, Balada dipanggil oleh sang ibu untuk makan bersama. Dia juga diberi tugas untuk kembali memeriksa Lintang karena menurut keterangan tabib, Lintang akan bangun setelah 15 hari perawatan.

Dan benar saja, saat Balada tiba di depan pintu kamar, sayup-sayup terdengar suara tangisan Lintang pertanda bahwa adiknya memang sudah bangun.

Tapi ketika Balada akan masuk, dia mendapati pintu kamar terkunci mengira Lintang sengaja sedang menjahilinya.

Sehingga saat mendengar tangisan Kusha, Balada malah menggoda sang adik dengan memanggilnya bocah cengeng.

Dan benar saja, sesaat setelah Balada berteriak, dia mendengar Kusha tertawa membuat Balada semakin yakin bahwa Kusha sedang mengerjainya.

Namun yang membuat Balada heran adalah ketika mendapati Kusha berani memanggilnya bocah dan berpura-pura tidak mengenalinya.

Hal itu jelas sangat jauh dengan sikap adiknya dahulu. Tapi Balada tidak berpikir jauh.

Dia hanya mengira mungkin Kusha telah tumbuh dewasa dan sedang ingin bermain dengannya. Atau bisa saja Kusha marah karena Balada terlalu lama meninggalkan rumah.

Balada terus menjewer telinga Kusha, membawa anak kecil tersebut ke tempat ayah dan ibunya.

“Awww, ampun kak. Baiklah-baiklah aku minta maaf, tadi aku hanya bercanda,” lirih Lintang berpura-pura.

Dia sungguh tidak mampu melawan Balada karena tenaga fisik anak lelaki itu jauh lebih kuat dari pada dirinya.

Dahulu Lintang memang seorang pendekar maha sakti yang telah mencapai kanuragan tingkat alam rasa. Satu tingkat jauh di atas para dewa.

Namun pada kehidupan ini, Lintang hanyalah seorang anak kecil yang tidak berdaya.

Jangankan kanuragan, kemampuan fisik saja Lintang begitu sangat lemah, bahkan lebih lemah dari anak-anak seusianya.

Sehingga mau tidak mau Lintang terpaksa harus menuruti keinginan Balada dengan memanggilnya kakak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Legenda Pendekar Biru   Bab 248 Perang Besar bagian 14

    Keadaan bertambah genting saat salah satu cacing raksasa berhasil menerobos dinding perisai.Sementara dasar batu juga sudah mulai mengalami keretakan karena terus dihantam oleh cacing yang lain dari dalam tanah.Sedangkan energi semua pasukan sudah mencapai batas sehingga mereka tidak mampu lagi mengalirkan energi.Prabu Kancradaka bersama semua pasukannya segera melesat menahan pergerakan cacing yang tadi masuk.Mereka sekuat tenaga memegang setiap duri pada tubuh cacing tersebut agar tidak bergerak memangsa para pasukan.Sakit? Tentu saja terasa amat sakit karena duri-duri cacing raksasa sangat tajam membuat telapak tangan semua pasukan bangsa Yada seketika robek mengucurkan banyak darah.“Sial! Bertahanlah semua!” teriak prabu Kancradaka dengan bahasanya.Tapi seakan tidak berguna, semakin lama, genggaman tangan mereka semakin memudar seiring kulit telapak tangannya terkelupas digerus duri-duri cacing raksasa.Semua orang sangat panik menyaksikan itu, sementara mereka tidak memili

  • Legenda Pendekar Biru   Bab 247 Perang Besar bagian 13

    Dorongan tekad yang kuat demi ingin terlepas dari kata beban membuat putri Widuri kehilangan akal sehatnya.Sementara godaan hasrat yang begitu mempesona membuat Lintang lupa diri terhadap etika seorang pendekar.Dia bahkan lupa dengan usia Kusha yang masih remaja sehingga tragedi hitam pun terjadi tidak mampu dielakan.Jerit teriakan kesakitan putri Widuri menandai tertembusnya kesucian diri, membuat dua insan tenggelam pada kenikmatan semu yang tidak akan terlupakan.Darah dari dinding selaput dara menjadi saksi bisu terjamahnya jurang cinta yang dangkal, menjadikan jalan bertemunya dua energi yang kini menjadi saling menyatu.Setelah itu, permainan indah pun dimulai bahkan sampai berkali-kali hingga keduanya berakhir lunglai di dalam genangan bening kenikmatan.Energi asing bergejolak di dalam inti tubuh putri Widuri, begitu juga Lintang. Namun keduanya tidak mampu bergerak terbaring saling berpegangan tangan.“Ma-ma—maafkan aku,” ucap Lintang lirih menyesali apa yang diperbuatnya.

  • Legenda Pendekar Biru   Bab 246 Perang Besar bagian 12

    “Heeeuuuug! Aaaah!”Lintang bangkit dari pingsannya, membuat putri Widuri sangat bahagia.Gadis itu langsung memeluk Lintang penuh haru, dia menangis lirih di dada Lintang, bersyukur Lintang tidak jadi mati.“Aku baik-baik saja Widuri, sudahlah,” Lintang membelai lembut rambut putri Widuri untuk menenangkannya.“A-a—aku takut kehilanganmu Ku-kusha,” air mata putri Widuri berderai membasahi dada Lintang.“Setiap mahluk pada akhirnya akan hilang, Widuri. Kau harus tahu itu,” ucap Lintang.“Ta-tapi aku tidak mau,” putri Widuri menggeleng.“Hihihihihi, maka kau akan terus terjebak dalam rasa khawatir,” Lintang terkekeh.Mendengar itu, putri Widuri langsung melepaskan pelukannya. Dia menatap tajam mata Lintang sebelum kemudian menggeleng sembari berkata “Biarkan saja, aku lebih baik selalu mengkhawatirkanmu dari pada kehilanganmu.” Tegasnya.“Haih dasar gadis keras kepala,” Lintang juga malah ikut menggeleng.“Ka-kau menyebalkan Kusha,” ketus putri Widuri.Lintang hanya tersenyum mendengar

  • Legenda Pendekar Biru   Bab 245 Perang Besar bagian 11 (Siluet Bencana Masa depan)

    Di dalam sebuah ruangan berbau asam, putri Widuri menangis sejadi-jadinya.Dia mengguncang-guncangkan tubuh Lintang meminta pemuda itu bangun. Namun setelah sekian lama, Lintang tetap tidak bergerak sementara darah dari punggungnya terus mengalir membasahi lahunan putri Widuri.“Kusha, cepat bangunlah! Jangan tinggalkan aku sendiri,” lirih putri Widuri.Sedangkan seruling surga telah kembali kebentuk semula, dia terletak di sisi putri Widuri seperti seruling bambu biasa.Perut cacing raksasa begitu sangat luas, tapi hampir semua permukaannya berupa kolam cairan. Sementara dinding ujung berut makhluk tersebut tidak terlihat karena tertutupi asap tebal yang berasal dari dasar kolam.Putri Widuri dan Lintang saat ini sedang berada di salah satu atap bangunan yang belum hancur.Atap itu terbuat dari kayu sehingga mampu mengambang. Tetapi putri Widuri tidak tahu entah terbuat dari kayu apa di mana kayu-kayu lain tetap hancur tenggelam ke dalam kolam.Terlebih mana mungkin putri Widuri pedu

  • Legenda Pendekar Biru   Bab 244 Perang Besar bagian 10

    Panglima Siahan dan Hala dengan cepat beradu punggung karena tidak tahu entah akan dari sisi mana panglima Alpere menyerang mereka.“Hahahahaha, bodoh! Mati kau sialan!” tawa panglima Alpere terdengar lantang dan arahnya datang dari atas.“A-apa? Sial!” panglima Siahan dan Hala sama-sama mengumpat tidak percaya.Mereka serentak menyilangkan senjata berniat menahan serangan lawan. Tetapi keduanya melakukan itu sembari menutup mata karena tidak yakin akan selamat.“Hahahahahaha, jurus tapak peremuk jagat! Matilah!” panglima Alpere meluncur cepat berniat menghantam tubuh panglima Siahan dan Hala dengan jurus tertingginya.Tubuh lelaki itu memancarkan cahaya merah dengan aura membunuh yang sangat pekat.Tidak ada yang pernah selamat dari jurus tersebut bahkan jika pendekar tingkat tinggi sekali pun membuat panglima Siahan dan Hala tidak memiliki kesempatan.Wush!Panglima Alpere semakin mendekat, dia sangat yakin bahwa dirinya akan mampu menghabisi panglima Siahan dan Hala dalam satu sera

  • Legenda Pendekar Biru   Bab 243 Perang Besar bagian 9

    Deg!Jantung Prabu Mangkukarsa dan Raja Manggala seakan terhenti ketika mendapatkan informasi memilukan tentang Lintang.Terlebih Lintang gugur bersama putri Widuri, bahkan Adipati Agung Triat Mojo juga sampai jatuh berlutut lemas hingga hampir terkena tebasan musuh.Beruntung di sana masih ada panglima Kuncoro yang melindunginya.Sesaat Prabu Mangkukarsa kehilangan harapan dan ingin rasanya pasrah menerima kekalahan.Namun Raja Manggala kembali menguatkannya dengan mengatakan bahwa Kusha sudah berjuang mati-matian membela kerajaan, dan sekarang ketika dia gugur pemilik kerajaan tersebut malah akan menyerah? Ini sungguh hal bodoh karena menyia-nyiakan pengorbanan Kusha.Tidak ada yang tidak bersedih ketika pemimpin tertinggi pasukan gugur, terlebih dia adalah orang yang telah beberapa kali berjasa menyelamatkan kerajaan.Namun jangan pernah jadikan kesedihan itu sebagai alasan untuk menyerah karena gugurnya Kusha juga demi keberlangsungan perjuangan pasukan.Raja Manggala malah sampai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status