MasukTahun-tahun setelah kepergian Wang Yue berlalu dalam keheningan yang disiplin. Musim berganti, salju turun dan mencair, bunga-bunga spiritual mekar dan layu, tetapi bagi Ling Yue, hanya ada satu musim: musim pelatihan.
Duka yang ia rasakan tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya mengubahnya. Seperti seorang pandai besi yang menempa baja, ia mengambil kesedihannya yang mentah dan membakarnya dalam api tekad, menempanya setiap hari menjadi senjata yang dingin, tajam, dan tak terpatahkan. Ia telah bersumpah untuk menjadi perisai mutlak bagi Ling Er dan warisan Wang Yue. Rutinitasnya kejam dan tanpa jeda. Ia akan bangun sebelum fajar, bermeditasi di tepi jurang Illusory Yin untuk menyerap energi kehampaan yang murni, membiarkan dinginnya energi Void membasuh jiwanya. Siang hari ia habiskan untuk berlatih di tengah badai petir di puncak tertinggi atau di kedalaman danau es di bawah lembah, mendorong tubuh dan jiwanya hingga ke ambangTangannya berhenti bergerak saat ia membaca sebuah entri, yang tertanggal saat Xiao Li pertama kali tiba di Lembah. [Tanggal: Tahun Ke-33 ] > Hari ini aku menemukan anak itu, Xiao Li. Jiwanya penuh dengan badai dan kebencian. Amarahnya begitu murni dan berapi-api. Begitu mirip dengan kisah Guru Ling Yue yang pernah kudengar, dan rasa sakit Guru Wang Yue. Aku takut. Aku ragu apakah aku, yang hanya seorang pewaris, mampu membimbing jiwa yang begitu terluka. Aku melihatnya setiap hari memanggil Qi kebencian, mencoba mengubahnya menjadi kekuatan brutal. Itu adalah jalan yang ia kenal. > Tapi saat aku menatap matanya, aku tidak hanya melihat amarah. Aku melihat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam kegelapannya, sebuah potensi cahaya yang luar biasa. Aku harus mencoba. Demi dia, dan demi janji yang kuucapkan pada guru-guruku. Jika Lembah ini tidak dapat menyembuhkan kebencian yang mendasarinya, maka Lembah ini tidak memiliki
Pagi setelah malam api unggun terasa canggung dan asing. Saat Lin Feng bangun, ia menemukan jubah luar Xiao Li yang hangat terlipat rapi di kursi di samping tempat tidurnya. Ia menatap jubah itu untuk waktu yang lama, perasaan aneh yang tidak bisa ia beri nama bergejolak di dadanya. Itu adalah kehangatan yang tidak bisa ia tolak, kebaikan yang tidak ia minta. Sebagian dari dirinya ingin melemparkan jubah itu keluar jendela, menolak kebaikan yang tidak ia minta. Bagian lain dari dirinya secara naluriah tahu bahwa kehangatan ini adalah hal yang paling nyata yang pernah ia rasakan dalam dua puluh tahun hidupnya. Dengan gerakan kaku, ia mengambil jubah itu, melipatnya dengan hati-hati dan meletakkannya di atas tas bekalnya. Saat ia bertemu Xiao Li di paviliun makan pagi, ia hanya mengangguk kaku dan menghindari tatapan mata pria itu, wajahnya sedikit memerah. Lin Feng merasakan dirinya kembali menjadi seorang anak yang malu
Lin Feng tersentak, refleks bertarungnya seketika muncul. Ia berbalik, dan mendapati Xiao Li telah berdiri di belakangnya entah kapan tanpa ia sadari. Xiao Li tidak datang untuk memarahinya karena menguping, ia hanya berdiri di sana, juga menatap ke arah api unggun. “Malam ini kami berbagi cerita,” kata Xiao Li. “Tidak ada pelajaran, tidak ada latihan. Hanya kehangatan dan kebersamaan. Maukah kamu bergabung dengan kami?” Insting pertama Lin Feng adalah menolak. Menolak kehangatan. Menolak kelemahan. Ia ingin melarikan diri dari kehangatan yang terasa asing dan mengancam ini. Tapi ia mendapati dirinya tidak bisa bergerak. Ia hanya memberikan anggukan yang nyaris tak terlihat. Mereka tidak bergabung ke tengah kerumunan. Xiao Li menuntunnya ke sebuah bangku batu yang sedikit menjauh, cukup dekat untuk mendengar dan merasakan kehangatan api, tetapi cukup jauh untuk tetap berada dalam bayang-bayang.
Beberapa minggu berlalu dalam rutinitas yang sunyi. Lin Feng, atas instruksi Xiao Li, terus melanjutkan "latihan" sederhananya, merawat kebun di pagi hari, dan bermeditasi di tepi sungai di sore hari. Ia tidak lagi melakukannya dengan amarah yang tertahan, melainkan dengan kekosongan yang membingungkan. Siapakah aku? Pertanyaan itu menghantuinya selama berjam-jam. Tanpa kebencian sebagai kompasnya, ia merasa tersesat. Tanpa pedangnya, tangannya terasa ringan, dan jiwanya terasa mati. Ia akan menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan menatap aliran air, pikirannya melayang kosong, mencoba mencari jejak ambisi lamanya, tetapi hanya menemukan bayangan samar. Namun, dalam kekosongan itu, ia mulai memperhatikan. Suatu pagi, saat ia sedang menggemburkan tanah di taman herbal miliknya, seorang murid muda, Li Xia, yang bertanggung jawab atas irigasi, tersandung dan menjatuhkan ember airnya yang berat, membasahi area kebun milik Lin Feng. Lin Feng secara naluriah menegang. Dalam hid
Xiao Li melangkah lebih dekat. “Aku ingin kamu menemukan kembali Lin Feng, sang manusia yang berduka, sebelum kamu bisa menjadi sesuatu yang baru. Melepaskan pedang itu adalah melepaskan identitas lamamu. Itu adalah pengorbanan yang harus kamu lalui.” Pengorbanan? Pedang ini telah menjadi bagian dari diriku sejak malam tragedi itu. Pedang ini adalah simbol dari sumpahnya, perwujudan dari kekuatannya, satu-satunya teman setianya dalam kesunyian. Melepaskannya terasa seperti pengkhianatan terakhir pada dirinya yang lama. Terasa seperti… mati. Ia menatap Xiao Li, mencari tanda-tanda tipu muslihat. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan yang tenang. Pria ini tidak mencoba melucuti senjatanya. Ia mencoba melucuti kebenciannya. “Jika aku meletakkannya,” kata Lin Feng, suaranya bergetar dengan emosi yang tertahan. “Apa yang tersisa dariku? Aku… aku tidak tahu bagaimana tanpa dia.” “Kamu a
Perjalanan kembali ke Lembah Awan Berkabut adalah sebuah perjalanan yang sunyi, namun penuh gejolak psikologis. Lin Feng berjalan sekitar tiga langkah di belakang Xiao Li, kepalanya terus menunduk, matanya terpaku pada tanah yang di injaknya. Ia merasa seperti seorang tawanan yang berjalan menuju tiang gantungan, padahal pria di depannya tidak pernah memperlakukannya sebagaibtahanan atau apapun, selain dengan kelembutan yang mematikan yang ia terima. Setiap langkah terasa berat oleh rasa malu. Ia terus memutar ulang duel itu di benaknya. Bukan kekalahannya yang menyakitkan melainkan momen setelahnya, air matanya, kehancurannya, dan tangannya yang gemetar saat menerima uluran tangan Xiao Li. Ia, Lin Feng, sang Master Agung dari Sekte Pedang Tanpa Ampun, telah menangis seperti anak kecil di hadapan musuhnya. Penghinaan itu terasa lebih menyakitkan daripada luka pedang mana pun. Selain rasa malu, ada sensasi aneh di dalam dirinya. Qi dari dunia luar yang selalu ia serap dengan rakus,







