"Tunggu di sini saja. Aku hanya ingin membeli es krim." Liara bersuara, mencegah Biru ikut turun.
Saat akan menuju pintu mini market, perempuan itu tak sengaja menemukan Redrick di sana. Laki-laki tengah bersandar di bagian depan mobil dan menikmati sabatang rokok.
Liara melewati begitu saja usai mereka bertukar tatap sesaat.
Liara sedikit kesal pada Redrick. Karena ulah pria itu, mengajaknya ke sungai tempo hari, Hagan jadi semakin diam.
Sebenarnya, sejak hari mengunjungi pasar malam, entah mengapa Hagan seolah mengatur jarak. Sedikit bicara, terkadang memalingkan wajah ketika bertatapan dan terkesan seperti orang merajuk.
Masalahnya di mana? Liara kira itu karena aduan Biru bahwa dirinya kembali bertemu Redrick berdua saja.
Keluar dari
"Di mana Liara?" Hal pertama yang Hagan tanyakan setelah keluar dari kamar adalah keberadaan istrinya. Masih pukul enam pagi saat ia bangun dan menemukan sisi ranjang sudah kosong.Liara juga tidak ada di kamar mandi, maka ia meninggalkan ruang tidur."Sedang sarapan, Tuan."Kaki Hagan menuju ruang makan. Benar. Liara ada di sana. Sedang menikmati makanan, saat mereka bersitatap perempuan itu malah tersedak.Mendekatkan gelas berisi air, Hagan menepuk-nepuk punggung istrinya. Tumben sekali seterkejut ini melihat kehadirannya.Pria itu menarik kursi, memposisikan tepat di sebelah Liara. "Kau bangun lebih dulu dari aku hari ini."Biasanya, sehabis mereka bermesraan di ranjang, Liara pasti terlambat bangun. Hari ini sedikit berbeda agaknya.Kembali fokus pada makanan, Liara berdeham saja. Sebisa mungkin tak membalas tatapan Hagan.Liara malu. Hilang muka, sebab semalam
Ada saat di mana Liara mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin ia capai. Menjual diri, hidup bersama seorang pria, melayani di ranjang, berkedok sebagai istri. Sesungguhnya, apa yang ia cari?Uang? Awalnya memang. Liara tak ingin Tatiana tidak ikut ujian dan putus sekolah. Ia juga tak ingin berutang terlalu banyak pada Maya dan Vicky. Jadi, Liara bekerja, mengumpulkan uang yang banyak dan melunasi segala itu.Lalu, setelah semua itu, apa?Tabungan Liara sudah lumayan sekarang. Cukup untuk biaya Tatiana beberapa tahun ke depan. Lalu, apa?Tidak ada.Beberapa bulan lalu ia memang mendapat sebuah surat dari orang yang mengaku sebagai ibunya. Hanya pemberitahuan. Tidak memuat rencana apa-apa.Kesimpulan, Liara tak punya tujuan. Hanya bernapas dan berjalan di dunia ini. Menambah lukanya sendiri, menumpuk dosa.Hampa. Kosong. Liara putuskan mengakhiri hidup.Sore ini, alasan ingin jala
Warning! 18+Penuh sesak. Rasanya Liara tak bisa bergerak sedikit pun. Di segala titik, ada manusia. Padahal, tempat ini sangat luas.Jika bukan karena merasa bersalah pada Hagan. Liara tak ingin ikut ke acara seperti ini. Sungguh bukan kelasnya, ia tidak pantas ada di sini.Salah satu kolega bisnis Orlando merayakan hari jadi. Semua rekan diundang termasuk ayah mertua dan suaminya Liara. Dan Hagan meminta Liara ikut ke sini.Sebuah taman dengan kolam dengan mancur di bagian tengahnya. Di mana-mana terlihat orang kaya. Wanita, pria dengan setelan yang terlihat mahal. Bercakap-cakap soal sesuatu yang tidak Liara pahami. Melempar senyum padanya, yang terlihat sangat palsu dan merendahkan.Sungguh, Liara tak bisa bernapas dengan baik di sini. Ia ingin segera pulang, tetapi Orlando dan Hagan masih terlihat asyik berbincang dengan si empunya hajatan di kiri taman.Bosan, tidak selera menikmati santapan
Redrick baru saja pulang dari kantor, usai menyelesaikan lemburnya. Meski tahu bekerja keras di sana juga tak akan membuatnya menjadi pewaris, tetapi pria itu tetap melakukan yang dibisa demi membuat perusahaan milik Orlando semakin maju.Hari ini pria itu pulang ke rumah Orlando. Tidak langsung menuju kamar, lelaki itu menghampiri ayahnya yang kata salah satu pelayan masih ada di ruang kerja. Ada yang pelu Red tanyakan."Liara dan Hagan sedang berlibur? Bulan madu?"Alis Orlando saling mengait. "Tidak. Setahuku, tidak. Kenapa?"Redrick tahu itu tidak benar. Ia beberapa kali melihat Hagan di toko, bekerja seperti biasa. Namun, tidak demikian dengan Liara. Perempuan itu jarang sekali terlihat keluar dari rumah. Karenanya Red memastikan."Kukira mereka bulan madu. Itu saja." Tidak ada orangnya di sekitar Liara lagi, Redrick bingung apa yang si perempuan lakukan di rumah saja beberapa waktu belakangan. Cukup lama tak bert
Tak bisa berkata-kata, Redrick segera luruh ke kursi di samping ranjang pasien yang Liara tempati. Peredaran darah pria itu agaknya sedikit terganggu hingga saat ini wajahnya berubah pucat. "Apa yang terjadi padanya, Max?" Pada lelaki yang berdiri tak jauh di belakang, ia bertanya. Bukan tak tahu apa penyebab Liara sampai harus terbaring lemah seperti sekarang. Red hanya masih tak paham. Liara tak menceritakan apa-apa di pertemuan terakhir mereka. Perempuan itu juga terlihat baik, bahkan sempat menghadiahi Red satu senyuman yang manis di pesta itu. Lantas, tiba-tiba saja seperti ini? Red mendengar kabar ini beberapa saat lalu. Dari Orlando. Tidak diberitahu langsung, ia melihat si ayah tiri tergesa dan panik meninggalkan rumah. Penasaran, maka ia bertanya. "Liara di rumah sakit. Dia menyayat nadinya." Saat otaknya mencerna kalimat itu, sungguh Red ingin segera terbang ke rumah sakit ini. Namun, ia tak mungkin bers
Meninggalkan rumah sakit dengan terburu, Hagan tak punya tempat yang ingin dituju. Meski begitu, mobil yang ia kendarai sendiri melaju cepat di jalanan. Sengaja pria itu memilih jalan tol agar tidak ada yang menghalangi aksinya yang seolah ingin menjadi pembalap malam ini.Mengapa ia bisa sebodoh itu? Sejahat itu, pada perempuan yang seharusnya ia jaga dan bahagiakan?Sungguh, sesal memang datang di saat yang tepat. Ketika Hagan sadar jika dirinya sudah salah dan melihat sendiri hasil dari sikap bodohnya. Liara yang terluka.Apa gunanya semua itu sekarang? Apa luka yang tertoreh dalam bisa hilang hanya dengan sesal dan satu permintaan maaf?Di saat seperti ini lelaki itu malah lebih bisa memikirkan sesuatu yang lebih pantas dari apa yang sudah ia lakukan sebulan belakangan pada si istri.Jika memang cemburu, harusnya dikatakan saja. Tunjukkan dengan benar. Marahi Liara bertemu Red, itu lebih baik daripada bersikap ding
"Tidak. Jangan."Liara melihat pria itu lagi dalam tidur. Di matanya terpancar kemarahan yang menakutkan."Tidak. Aku tidak ingin."Max yang baru saja menghuni ruangan saling melempar tatap dengan Hagan yang tampak terpaku di atas ranjang.Pria itu menghampiri Liara. Berusaha membangunkannya dari mimpi yang sepetinya sangat buruk."Kau mimpi buruk, ya?" Pria itu menyodorkan satu gelas air putih. "Karenanya aku melarangmu tidur sepanjang hari. Ini sudah pukul dua, kau tidur sejak pukul sebelas."Duduk dengan kepala ranjang yang dinaikkan, Liara menyuarakan tanya. "Aku sudah diizinkan pulang? Perbannya sudah dibuka. Aku bisa merawatnya sendiri. Aku ingin pulang."Max menoleh pada sepupunya. Hagan tak membalas tatapan. "Dua hari lagi.""Kalau begitu, pindahkan aku ke ruangan lain. Ke mana saja." Suaranya memelan. Ingin sekali segera berada jauh dari Hagan, tetapi sadar diri siapa dir
Kediaman Hagan terasa sepi akhir-akhir ini. Tak ada ada lagi tawa atau sekadar suara dua orang saling memanggil. Entah itu Hagan atau Liara, keduanya sama-sama bungkam.Pulang bersamaan dari rumah sakit, pasangan suami-istri itu mengatur jarak. Sebisa mungkin tidak bertatap muka, apalagi terlibat konversasi. Kalau pun terpaksa, pastilah melalui salah satu pelayan atau pengawal mereka.Liara dengan kemarahannya, Hagan dengan kegamangan dan rasa bersalahnya. Memilih menyatu bersama sepi, yang perlahan membuat jarak.Untuk mengurangi intensitas bertemu Hagan, seharian Liara akan berada di kamar. Makan, mandi, menonton, semua ia lakukan di sana, sendirian. Tidur juga, karena sejak kembali dari rumah sakit, Hagan masih tak mau datang ke ruang tidur mereka itu.Sebenarnya itu bagus. Liara juga belum siap menghadapi momen harus berduaan saja dengan Hagan. Namun, entah kenapa perasaan terusik oleh secuil hampa."Nyonya, makan