Share

MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN
MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN
Penulis: Asda Witah busrin

BAB 1

"KDRT DAN SELINGKUH. Kalau artis terkenal itu memilih berdamai dan memaafkan suaminya, tapi tidak denganku. Aku, Aruna, akan kupastikan pelaku tindak kekerasan dan selingkuhannya itu mendekam dibalik jeruji besi!" Aruna tersengal mengatur napas sambil bersandar di pintu rumah.

"Ya, Tuhan. Aku tahu semua ini milikMu. Kurelakan hari ini semua Kau ambil dariku, walau ikhlas belum mampu kuhadirkan dalam hatiku. Aku yakin suatu saat nanti, semua akan Kau kembalikan lagi. Entah kapan, bagaimana dan dalam bentuk apa."

Petir menggelegar saat Aruna selesai mengucapkan kalimat itu. Hujan yang sore tadi hanya gerimis, semakin malam semakin deras. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu merapatkan kardigan yang dia kenakan.

Aruna melangkah pelan meninggalkan rumah yang selama sepuluh tahun ini ditempatinya. Dia keluar hanya membawa baju yang melekat pada badan. Dua anaknya yang masih kecil, satu berusia delapan tahun dan satunya lagi berusia enam tahun pun dia tinggalkan.

Jutaan bilur air hujan langsung menyergap tubuh saat kakinya menjejak halaman luar yang sudah tidak berkanopi. Dia menoleh sekali lagi pada bangunan yang dulu selalu menjadi tempat terbaiknya untuk bernaung, sebelum akhirnya dia menutup pagar dan melangkah pergi.

Dingin air hujan terasa sampai ke tulang. Aruna menggigil dan memilih berteduh di pos satpam yang kosong, sepertinya petugas keamanan sedang keliling. Pengamanan di perumahan ini memang terkenal ketat. Sehingga, walau sedang hujan deras, jika sudah waktunya keliling, satpam akan menjalankan tugasnya.

Aruna mengusap bagian depan jilbabnya yang meleyot karena basah terkena air hujan. Bajunya yang lembab semakin membuat tubuhnya menggigil. Bunyi air hujan yang mengenai genteng di atasnya terdengar cukup kencang, menandakan hujan masih sangat deras.

Tatapan mata Aruna kosong. Hatinya terasa sesak seperti terhimpit batu yang sangat besar. Menarik napas pun sangat sulit, seperti udara seakan hilang dari bumi ini. Menangis? Tidak, Aruna tidak menangis. Air matanya sudah kering sejak beberapa bulan yang lalu saat dia menemukan fakta suaminya telah mendua.

Aruna mengambil kursi plastik bulat yang terletak di dekat pintu. Wanita itu duduk sambil memeluk tubuhnya sendiri untuk mengurangi dingin walau itu sia-sia. Bajunya yang lembab dan angin yang masuk dari sela-sela ventilasi udara sukses membuat bibir birunya gemetar kedinginan.

Aruna menyandarkan tubuh pada dinding. Pandangan matanya kosong. Bunyi hujan yang semakin kencang seakan menjadi musik pengantar yang tepat bagi ingatan masa lalu untuk menyerang ingatan. Aruna menghela napas panjang. Sedetik berlalu, bayangan kejadian lepas maghrib tadi sempurna terbentang di pikirannya.

“Mana Zahir dan Zafar?” Tibra menerobos masuk begitu saja ke dalam kamar utama. Bunyi pintu yang berdebam karena dibanting memenuhi gendang telinga.

“Astaghfirullahaladzim.” Aruna yang baru saja selesai melaksanakan shalat maghrib mengusap dada. Wanita itu meneruskan melipat mukena walau tangannya sedikit gemetar.

Sore tadi dia memang menjemput Zahir dan Zafar dari rumah belakang. Rumah mereka terdiri dari dua bangunan. Rumah utama adalah yang dia tempati saat ini, rumah belakang adalah sebutan untuk tempat mereka menghabiskan waktu santai. Terpisah oleh kolam ikan koi kesukaan Tibra yang tepi kolamnya berjejer tanaman anggrek bulan kesukaan Aruna.

Di rumah belakang ada beberapa kasur dan televisi berukuran 90 inch. Tibra sengaja membeli televisi berukuran besar itu karena mereka sangat suka menghabiskan waktu dengan menonton film di salah satu layanan streaming berbasis langganan. Lebih baik menghabiskan waktu intim bersama daripada pergi menonton bioskop keluar. Aruna hanya mengangguk tanda setuju waktu itu.

Selama dua hari ini dia ke luar kota untuk mengurus cabang usaha mereka yang ada di sana. Kunjungan rutin setiap satu bulan sekali. Usaha mereka memiliki lima cabang di lima kota berbeda. Cabang utama dan satu anak cabang dikelola oleh Aruna. Sementara tiga anak cabang lain dikelola oleh Tibra, suaminya.

Malam kemarin dia mendapat telepon dari wali kelas Zahir, ibu guru anaknya itu mengatakan Zahir sudah dua hari tidak masuk sekolah tanpa kabar. Aruna yang kaget langsung menghubungi Tibra. Sialnya, ponsel lelaki itu tidak aktif, begitu pun dengan ponsel kedua anaknya.

Setelah menimbang beberapa hal, Aruna akhirnya memutuskan pulang. Biasanya dia akan disana selama empat hari, namun karena khawatir ada sesuatu yang tidak baik terjadi, dia memilih pulang lebih cepat pagi tadi.

“MANA ZAHIR DAN ZAFAR?” Suara Tibra meninggi saat Aruna hanya membisu, tidak menjawab pertanyaannya.

“Mereka ada di kamarnya,” jawab Aruna tenang. Dia berdiri dan meletakkan alat shalatnya ke atas meja.

Wanita itu menuju meja rias dan mulai merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ketenangan sikap Aruna semakin membuat emosi Tibra meninggi. Lelaki itu melangkah cepat dan menarik sisir yang sedang Aruna gunakan dengan kasar.

“Aw!” Aruna memekik kencang karena rambutnya ikut tertarik bersamaan dengan sisir yang dirampas Tibra.

“Apa maumu?” Aruna menegakkan tubuhnya yang sempoyongan. Matanya tajam menatap Tibra.

“Aku ayah mereka. Setidaknya izinlah padaku jika ingin membawanya!”

“Ayah? Kau sebut dirimu ayah, hah?!” napas Aruna memburu.

“Ayah macam apa yang membiarkan anaknya membolos selama dua hari dari sekolah tanpa alasan yang jelas!”

Tibra menghembuskan napas kencang. Jadi Zahir membolos? Dia bahkan baru tahu anaknya itu tidak berangkat sekolah.

“Kau terlalu sibuk dengan wanita penggoda itu, Mas. Sehingga alfa dengan kewajibanmu.” Aruna tersenyum sinis. Sebelah ujung bibirnya terangkat.

“Dia istriku,” desis Tibra.

Aruna terkekeh mendengar ucapan Tibra.

“Ya apapun itu sebutanmu untuknya. Bagiku, wanita itu tidak lebih dari seonggok sampah yang menguarkan bau busuk. Saking busuknya aku bahkan merasa mual walau hanya sekedar mengingat wajahnya.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Aruna. Tubuh wanita itu limbung. Dia bergegas menyeimbangkan kembali badannya agar tidak terjatuh. Aruna mengusap ujung bibir, cairan kental berwarna merah memenuhi punggung tangannya.

“Kau! Pengecut!” Aruna meraung dan menerjang Tibra. Lelaki itu terjatuh dengan Aruna berada di atas tubuhnya.

Sekuat tenaga Aruna mencekik Tibra. Lelaki itu memberontak, urat di pelipisnya menyembul. Dia mulai kesulitan bernapas. Di sisa tenaganya, Tibra berusaha berguling sehingga membuat Aruna terjatuh dari tubuhnya.

Tibra berdiri dan menghirup udara sebanyak mungkin. Setelah merasakan dadanya kembali lega, cepat dia menoleh pada Aruna yang berusaha bangkit. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia menendang Aruna berkali-kali, membuat wanita itu memelas memohon ampun.

“Cukup, Mas! Cukup. Kumohon! Ada anak-anak di pintu. Ada anak-anak.” Aruna memeluk kaki Tibra agar berhenti menendangnya.

Kilatan cahaya menerangi sekitar diikuti dengan suara petir yang menggelegar. Aruna tersadar dari ingatan tentang kejadian tadi sore.

Wanita itu memejamkan mata. Dia menggigit bibir untuk mengurangi rasa sakit di hatinya. Batinnya benar-benar tersiksa saat mengingat dua pasang mata anaknya menatap ketakutan pada ayah dan ibunya yang sedang saling memiting.

Aruna memijat keningnya pelan. Kepalanya mendadak terasa pusing karena banyak pikiran dan juga karena terkena air hujan.

Klakson mobil membuat Aruna mengangkat kepala. Biasanya satpam yang bertugas akan membukakan pintu gerbang perumahan saat ada yang datang.

Wanita itu menajamkan pandangan. Siapa orang yang datang malam-malam begini di tengah deras hujan? Menurut akal sehatnya, sebagian besar orang pasti akan memilih bergelung dalam selimut dan menikmati teh melati hangat untuk merilekskan badan.

Sekali lagi Aruna menajamkan pandangan. Mendadak emosinya kembali naik saat mengetahui siapa yang ada di belakang kemudi. Kedua tangannya terkepal di atas paha, sementara dadanya naik turun dengan sangat cepat.

“Andhira,” desisnya.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan drama kau aluna. dia yg mulai kdrt tanpa mengukur kekuatan babak belur kau kena hajar kan??
goodnovel comment avatar
Nia Yunarti
kok gk ada kelanjutannya lgi
goodnovel comment avatar
Meizes Wanti
Pingin baca selanjutnya... ceritanya menarik sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status