"Saya bukan L****e! Dan Saya gak pernah morotin siapapun!" Teriak Marni yang sejak tadi belum memiliki kesempatan karena terus diserang oleh kedua wanita yang sudah kesetanan mengamuk.
"Mana ada L****e ngaku!" Nyolot si Wanita masih akan menyerang Marni namun ditahan beberapa warga yang memisahkan. "Ya Allah Gusti! Dek! Kamu ngapain disini! Walah ini kok banyak orang!" Joko segera menerobos kerumunan warga yang mengerubungi Marni dan dua wanita pengeroyoknya. "Lah Kamu juga kenapa ada disini Sum! Mbakmu kenapa ga ditahan." Joko melirik Adiknya yang sudah dalam keadaan acak-acakan sama dengan Ijah istrinya Joko. "Kamu ga usah belain si L****e Mas! Sini Kamu! Duit Kamu nguli Kamu kasih sama nih L****e kan?" Ijah melotot tatapan mata merah begitupun raut wajahnya melampiaskan kemarahan. "Loh,Loh, Dek. Kamu jangan asal nuduh! Mas ga ada kasih uang apa-apa sama Marni. Mas paling langganan Jamu aja. Ya kan Mar?" Joko menenangkan Istrinya yang tak mau disentuh. Tangan Joko di gubris saat akan merangkul Ijah Istrinya. Marni menatap nyalang kepada Mereka. Tak sedikitpun Marni gentar. Ia tak salah. Kenapa harus Ia di sudutkan seperti ini. Main Hakim Sendiri. "Sampeyan datang langsung ngereog, ngelabrak Saya padahal Saya tidak tahu apa-apa! Sekarang tanya langsung sama bojo koe! Kemana uangnya ga disetor ke Kamu! Jangan asal nuduh!" Kali ini ucapan Marni terdengar penuh kemarahan. Sorot mata Ijah melirik tajam pada Joko, "Uangnya betul kok ga Mas kasih Marni, ga dikasih ke siapa-siapa juga," Joko menjawab hati-hati, yakin kalau jujur Ijah akan semakin mengamuk. Saat ketegangan menyelimuti Ijah dan Joko, ponsel Joko berdering, namun Joko mendiamkannya. "Jangan-jangan itu selingkuhannya! Angkat coba!" Salah satu warga memprovokasi. Ijah yang sudah naik pitam meraih ponsel Joko yang berada di saku celana Suaminya. Beberapa warga yang melihat ikut penasaran siapa yang menelepon Joko. Ijah segera menekan tombol di ponsel menerima panggilan yang diabaikan Joko. "Eh A****g! Lu udah berani ya ga angkat telepon Gue! Bayar utang Lu T****L! Jangan kabur Lo!" Ijah terkejut setengah mati, bukannya suara perempuan seperti yang ada dalam pikirannya malah makian dari laki-laki yang terdengar marah dan membahas perihal hutang piutang. "Sampeyan siapa ya?"Ijah dengan terbata menjawab. "Oh, Lo bininya! Bilang tih sama Laki Lo! Kalo punya utang bayar! Jangan minjemnya doang! Makanya kalo ga punya duit ga usah main Judol! Laki Lo tuh kecanduan Judol! Dimana Laki Lo! Bilang sama Gw! Jangan kayak B****i ngumpet dibawah ketek bini!" Ijah segera memutus panggilan tersebut. Mata Ijah sudah membulat sempurna. Rasanya tanduk dan khodam Ijah mau keluar mengetahui rupanya Joko malah masih terjerat Judol. Padahal Ijah sudah sering bilang, berhenti karena sudah habis barang-barang Mereka di jual Joko. Tanpa banyak cincong dan tak ada kata maaf pada Marni, Ijah dan Sumi sang Ipar segera menyeret Joko dari hadapan semua warga yang menyaksikan. "Dek, ampun, Dek. Jangan ngono toh! Sakit ini kuping Mas!" Joko memegangi telinganya yang diseret Ijah dan Sumi pulang. "Sudah, yang lain bubar. Marni sebaiknya Kamu beresin itu pecahan botol-botol Jamumu." Pak RT meminta bubar dan segera meninggalkan rumah petak Marni. Tak ada seorangpun yang mau membantu Marni. Senyum getir tersungging di bibir Marni. Marni menatap nanar botol Jamu yang berserakan di tanah. Semua pecah. Hancur. Bahkan bakul Jamu miliknya rusak tak berbentuk. Kalo sudah begini, siapa yang harus disalahkan. Marni memunguti sisa-sisa kerusuhan dan membereskannya. Hati Marni sakit. Hanya Si Mbah yang terlintas di kepalanya. "Mbah, Mereka jahat sama Marni. Marni harus bagaimana?" Langit seakan tahu kesedihan dan rasa pilu yang kini menyelimuti relung hati Marni. Seketika rintik gerimis menyapa Bumi. Meredakan amarah di hati Marni yang masih berkobar tak terima perlakuan Istri Joko yang Main Hakim Sendiri. Marni bingung, malu juga dengan kejadian hari ini. Seharian Marni tak keluar rumah kontrakannya. Tubuhnya sakit-sakit paska diserang dua wanita laknat yang main asal tuduh. "Ish," Marni membersihkan luka dibeberapa tangannya dan sudut bibirnya yang sempat kena tamparan Ijah dan Sumi. "Begini banget nasibku, bukan untung malah buntung. Enak saja Mereka habis rusak semuanya dan Aku sampe luka begini malah kabur! Dasar laki-laki kerjanya ngapusi wanita. Ngebohongi Istri malah Aku yang kena sasaran." Malam semakin larut, Marni terduduk lemas di sudut ruangannya, ruangan yang biasanya dipenuhi dengan aroma rempah-rempah sekarang hanya tercium bau pesakitan dan kesedihan. Tubuhnya masih memar, bekas hujan pukulan yang dilepaskan Ijah dan Sumi atas tuduhan yang tidak berdasar. Dengan mata sembab, dia menatap panci-panci yang biasa digunakannya untuk menyeduh jamu. Kini, mereka hanya seonggok logam yang menyimpan cerita pahit. Di sudut lain, pecahan kaca botol jamu berserakan, seperti hatinya yang remuk. Ijah dan Sumi, dengan marah, telah menghancurkan segala yang ia bangun dengan tangan dinginnya. Marni perlahan membuka kaleng kecil tempat ia menyimpan uang hasil penjualan jamu. Lembar demi lembar ia hitung dengan hati yang gundah, mempertimbangkan masa depan yang kini serba tidak pasti. Haruskah ia melanjutkan usaha jamu yang telah membesarkan namanya atau mencari pekerjaan baru yang mungkin lebih stabil di pabrik? Marni menghela napas panjang, keputusan besar menanti di malam yang sunyi, keputusan yang akan menentukan arah hidupnya setelah tragedi ini. Marni terbangun. Merasakan sekujur tubuhnya nyeri semua. Biasanya sepagi ini Marni sudah sibuk menggodok Jamu untuk jualan, hari ini malah Marni merasakan seluruh tubuhnya sakit bahkan beberapa luka mulai membiru. "Ya Allah Gusti, ini badanku panas sekali." Marni mengusap peluh disudut dahinya. Meski berat dan terasa nyeri disana sini, Marni memaksakan bangun, tenggorokannya merasa haus. "Alhamdulillah." Marni memejamkan mata, lumayan segelas air membasahi tenggorokannya yang kering. "Gusti, badanku remuk rasanya." Marni perlahan mendudukan tubuhnya. Sedikit menyingkap kausnya, Marni terkejut rupanya di perutnya ada legam memar. "Ya Allah Gusti, paringi sehat. Marni ga mau mati konyol Gusti!" Marni menutup kembali kaus yang ia kenakan. Marni berjalan perlahan, mencari kaleng tempat ia menyimpan obat. "Coba minum ini deh. Siapa tahu sakitku hilang. Kok ya apes bener Marni, badan sakit semua yang pekakas dagang juga ambyar semua. Sudah jatuh Marni ketiban tangga ini sih." Awalnya tak mengeluh tapi lama-lama diingat-ingat ya nelangsa juga Marni rasakan. Suara perut Marni menandakan lapar. "Baru inget dari kemaren Marni ga makan. Ya Allah Gusti, yo urip nelongso tenan! Sabar! SABAR!" Marni mengusap dadanya menentramkan amarah yang masih terasa bila teringat kejadian kemarin.Suara salam yang terdengar dari luar rumah segera dibalas oleh Bide Sri manakala melihat Marni dan Mpok Leha yang datang dengan wajah tersenyum."Kalian kok yo datengnya telat, Bude udah tunggu dari tadi. Lah kenala berdua saja? Mana lainnya? Bude sudah masak banyak.""Bude, tenang! Nanti Bang Jupri, Ian sama Babeh nyusul, lagi ada urusan bentar.""Iyo Bude, lah gak sabar bener, udah kangen kali nih sama Babeh Ali yo?""Wes Kalian berdua langsung makan saja, opo mau nunggu yang lain?""Lah itu! Pas berarti!" Mendengar suara salam diluar kembali Marni dan Mpok Leha membukakan pintu rupanya Babeh Ali, Mandor Jupri dan Ian yang datang."Silahkan, mau duduk dimana?" Bude Sri mempersilahkan tamu-tamunya yang baru saja datang duduk dulu."Bude, makannya di ruang tamu saja ya, lesehan gelaran diatas daun pisang, biar seru?" Mpok Leha usul, melihat lembaran daun pisang segar rasanya jiwa ngebotram terpanggil apalagi menu hari ini sangat cocok dimakan modelan begitu."Asik tuh! Sini Babeh bant
Marni berjalan dengan langkah cepat sambil menggendong bakul jamu miliknya, menuju pintu gerbang Pabrik."Bukannya itu Si Buldozer, Kok akrab banget sama Kakek Sol Sepatu.""Kek, sudah lama sampai?" Meski melihat Ian ada disana tak ada niat Marni menyapa Ian.Ian pun tak masalah, bagi Ian untung saja Ia sudah melihat kedatangan Marni dari jauh dan segera memberi kode pada Opa Arman agar menjaga jarak."Iya Nak Marni, ini mau menyerahkan sepatu dan sandal yang sudah selesai di sol." Kakek Sol Sepatu sambil menunjuk tumpukkan sepatu dan sandal yang sudah kembali rapi."Wah jadi kelihatan baru lagi sepatu dan sandalnya. Dijamin kuat ini.""Alhamdulillah semoga semuanya puas dengan hasil sol nya.""Kakek, ini Marni ada sesuatu untuk Kakek, mohon diterima.""Wah Kamu repot-repot segala Nak Marni, ini," Kakek Sol Sepatu melihat isi pemberian Marni, sebuah sarung baru."Terima kasih banyak Nak, semoga Allah berikan Kamu sehat dan banyak rezeki, berkah usiamu ya Nak.""Aamiin. Makasi doanya K
"Ndok, Kamu bawa sarung buat siapa?" Bude Sri memperhatikan Marni memasukan sarung baru ke dalam goody bag kemudian menyimpannya di sela antara botol-botol jamu."Marni mau kasihkan Kakek Sol Sepatu Bude. Memang sudah niat, cuma kemaren baru ketemu, nanti Kakeknya bakal ada di depan Pabrik antar sepatu dan sandal yang sudah selesai di sol." Marni menjelaskan."Ndok, nanti kalau ketemu sam Leha bilang, Bude hari ini masak urapan. Waktu itu bilang ke Bude kalau bikin urapan ngomong, ajak sekalian aja makan disini. Ramean juga boleh. Bude bikin banyak.""Ajak Babeh Ali boleh?""Siapa aja! Nguyu saja Kamu sama Bude! Nak Ian juga ajak kesini Bude malah senang hati!""Walah sudah bisa bales nih ceritanya!""Loh, Bude serius, Mandor Jupri, Nak Ian sopo meneh sing mau makan siang pake urapan yo ajak saja. Bude masak banyak lagi kepingin makan barengan. Si Jum sama Si Ratmi juga bilang siang ini mau kesini.""Walah iki makan besar toh Bude. Gak bilang dari kemaren Bude. Mendadak opo gimana?""
"Opa kenapa mesti nyuruh driver jemput Bian. Kalau ketahuan bagaimana." Bian yang masuk ruang kerja Opa Arman langsung protes saat melihat Opa Arman malah tersenyum."Kamu juga tadi sengaja kan gak keluar Pabrik, takut ketemu Opa?""Opa tahu, kenapa malah ngeyel!" Bian menjatuhkan bobot tubuhnya disofa.Opa Arman mengikuti duduk dihadapan Bian yang terlihat masih lelah."Capek? Kalah sama Opa yang habis ngesol banyak sepatu!" Opa Arman menyilangkan tangannya."Memang Bian tak tahu semua sepatu dan sandal yang Opa bawa Opa serahkan ke Tukang Sol Asli?"Opa Arman tertawa, "Ya Opa kan juga capek kalau ngerjain semua sendiri.""Makanya jangan gaya-gayaan jadi Tukang Sol Gadungan!""Opa sebenarnya manggil Bian ada apa sih? Kangen? Baru kemaren Kita ketemu masa sudah kangen!" Tampang jumawa Bian berbanding terbalik dengan raut Opa Arman yang berubah kembali teringat akan seseorang."Bian Kamu kenal dengan orang ini?" Opa Arman menyerahkan tangkapan layar yang berhasil Ia lakukan melalui kac
"Opa telepon? Pasti kewalahan ini gara-gara banyak yang sol sepatu." Bian dengan senyum merekah menerima panggilan telepon dari Opa Arman."Assalamualaikum Opa.""Waalaikumsalam. Bian, Kamu jam berapa selesai?""Nanti jam 5 sore Opa. Opa mau minta bantuin apa nih?""Hari ini Kamu pulang ya. Ada yang mau Opa bicarakan.""Ok Opa, nanti Bian pulang.""Ya sudah, Opa matikan ya. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Bian mengernyitkan dahinya, tak menyangka bukan seperti dugaannya, tapi ada apa dengan Opa."Kok kayaknya serius banget ya Opa, ada apa sih?"Pikiran Bian terpecah saat dipanggil oleh rekan sesama Buruh Pabrik dan kembali melanjutkan pekerjaannya.Sementara Dua Perempuan yang sudah kenyang menikmati semangkok Bakso, kini perut terasa begah, rupanya bakso beranak sukses membuat keduanya melambaikan tangan."Mpok, kayaknya sampai malam Marni gak makan, kenyang banget!""Iye Mar, Gua kebawa nafsu apalagi pedes enak dimakannya jadi lupa diri tahu-tahu begah!""Habis ini Lu mau kemana
"Cie yang nyamperin Ayangnya kerja. Sudah kangen lagi Mpok?" Tentu saja Marni tak membuang kesempatan menggoda saat Mpok Leha datang."Apaan sih. Gua tadi ke rumah Bude, mau ketemu Lu Mar, tapi Bude bilang Lu udah keliking, eh tahunya ada disini, kangen Lu sama Ian sampe keliling muter kesini?" Satu sama dong, diledek bales ngeledek."Loh ini lagi pada ngapain?" Mpok Leha heran karena ada Tukang Sol Sepatu diantara Mereka."Oh iya Mpok, Kalau Mpok mau sol sepatu atau sendal sama Kakeknya saja. Kek ini Mpok Leha, anak Babeh Ali yang punya Pabrik ini."Mpok Leha meraih tangan si Kakek menyalaminya."Yah, tahu gitu Gua bawa sendal lebaran Gua kemaren putus, dipake habis ngider-ngider.""Besok Kakek kesini lagi, sekalian mau antar sepatu dan sendal yang udah selesai disol.""Ya udah Kek, besok Leha kesini pagi deh, Leha mau bawa sepatu sama sendal Leha, eh punya Babeh juga perasaan ada beberapa deh yang putus. Kakek beneran kesini besok?""Iya, Insha Allah.""Loh, Abang juga ngesol?""Ala