Share

bab 3

Laila pun tercengang melihat kedatangan Bintang di hadapannya.

"Waalaikumsalam. Kak, kok tahu kontrakanku sih?" tanya Laila kaget.

Bintang mendekat ke arah gadis itu. "Itu bukan hal yang penting. Ijinkan aku masuk ke rumah mu dulu. Biar aku periksa luka-luka kamu," pinta Bintang lembut.

Laila menyingkir dari pintu dan duduk di sofa ruang tamunya. Bintang mengikuti nya dari belakang.

"Kenapa dengan wajah kamu, La?" Bintang mengulangi kembali pertanyaan nya.

Laila merab* pipinya perlahan. Dia tidak mungkin mengatakan penyebab wajah nya yang lecet ini pada Bintang. Dia tidak mau Bintang ataupun mahasiswa lain mengetahui tentang pekerjaannya. Dia hanya ingin belajar, kerja, dan segera lulus kuliah untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik.

"Hei, ditanya kok melamun?" tanya Bintang seraya mengibaskan tangannya di hadapan wajah Laila.

"Aku terjatuh, Kak," sahut Laila berbohong.

Dahi Bintang mengernyit. "Kamu lupa kalau aku ini mahasiswa kedokteran tingkat akhir? Aku bisa membedakan mana luka karena jatuh dan mana luka karena dipukuli."

Bintang menjeda kalimatnya. Suasana hening sejenak.

"Kalau begitu pertanyaan nya aku ubah, siapa yang memukuli kamu?"

Laila menghela nafas panjang. "Itu urusan pribadi saya. Sekarang ganti saya yang bertanya. Kenapa kak Bintang kemari?"

"Aku ingin menjemput mu untuk makan bersama di kafe sesuai dengan janji mu tadi pagi."

"Wajah saya masih sakit. Seperti nya saya tidak bisa keluar rumah dulu."

"Baiklah. Kita pesan makanan online saja dan aku akan makan di sini."

"Tapi Kak, aku ...."

"Ayolah, La! Kamu kenapa sih kayak benci banget sama aku? Memangnya aku punya salah apa sama kamu?" tanya Bintang. Pandangan matanya tajam menatap ke arah Laila.

Laila mengalihkan pandangan matanya. "Ya sudah. Terserah kakak saja kalau mau beli makanan online. Tapi saya tidak lapar."

Kruuyukkk!

Wajah Laila memerah karena kaget dan malu perutnya berbunyi setelah dia mengatakan tidak lapar.

"Hahahahaha! Perut kamu tidak bisa diajak berbohong, La. Oh ya, kamu mau makan apa?"

"Terserah Kak Bintang saja."

Bintang tampak berpikir sesaat.

"Kalau begitu nasi goreng ya?"

Laila mengangguk. "Iya boleh."

Bintang lalu mengotak-atik ponselnya. "Sudah. Tinggal menunggu pesanan dibuat dan diantarkan," ujar Bintang.

Lelaki itu lalu menatap lama ke arah Laila.

"Kenapa Kak? Kenapa memandangiku seperti itu? Apa wajahku kotor? Nanti dahiku bisa bolong kalau Kak Bintang melihatku seserius itu lo," ujar Laila tampak salah tingkah.

Bintang tersenyum. "Kamu istimewa. Kamu tidak hanya cantik dan menarik, tapi juga baik."

"Tahu dari mana saya baik?"

"Kemarin saya tahu, kamu memberikan snack pada kucing liar di belakang kampus. Lalu kamu juga rajin membeli kue atau jajan yang dijual anak-anak kecil di pemberhentian lampu merah," jawab Bintang.

Laila mendelik. "Kakak mengikuti aku?"

"Yah, jangan geer dong! Aku cuma kebetulan saja liat kamu di jalan, La. Memangnya yang boleh lewat jalan belakang kampus dan jalan raya, cuma kamu?"

Laila terdiam.

"Sebenarnya aku punya banyak banget kekurangan. Cuma kakak saja yang belum tahu," sahut Laila getir.

"Hm, masa sih? Coba kamu sebutkan apa saja kekurangan kamu?!"

"Hm, sudahlah. Aku tidak ingin membahasnya," sahut Laila lirih.

Mendadak ponsel Laila berdering, gadis itu segera menerima panggilan telepon nya setelah melihat nama sang penelepon.

"Halo, Dek."

"Halo, Mbak! Mbak ada simpanan uang tidak?"

"Uang? Buat apa?"

"Ibu sekarang ada di puskesmas. Jatuh dari motor setelah pulang pengajian. Mungkin ibu mengantuk sehingga tidak fokus."

"Astaga! Apa lukanya parah?"

"Nggak, Mbak. Cuma kaki ibu lecet sehingga harus dijahit."

"Baiklah. Mbak transfer sekarang juga. Kalau misalkan keadaan ibu ternyata parah, bawa saja ke rumah sakit. Kamu tinggal bilang biayanya pada Mbak!"

"Baiklah, Mbak. Terima kasih."

Laila segera mengirimkan uang sebanyak dua juta lima ratus ribu ke rekening adiknya.

"Adek kamu telepon? Dia terluka?" tanya Bintang. Laila memang tidak mengaktifkan pengeras suara saat menerima telepon dari adiknya tadi.

"Iya, adikku yang menelepon. Ibuku jatuh dan dibawa ke puskesmas," ujar Laila lemas.

"Kalau begitu, ayo kita ke rumah kamu. Aku akan mengantarkan mu dengan selamat."

Laila menggeleng. "Tidak usah. Aku tidak mau ibuku cemas kalau melihat wajah ku yang terluka ini, Kak."

"Baiklah, kalau memang itu yang terbaik menurut kamu. Oh, ya ngomong-ngomong kamu sekeluarga berapa orang bersaudara?" tanya Bintang.

"Tiga. Aku anak sulung. Kedua adikku laki-laki. Masih kelas dua SMA dan kelas dua SMP."

"Oh, gitu."

Bintang tampak manggut-manggut.

"Orang tua kamu kerja apa?"

Laila menghela nafas berat. "Ibuku buka toko, Kak. Toko kelontong depan rumah. Lalu bapakku, sudah meninggal sejak adik bungsu ku SD."

"Oh, maaf. Aku tidak tahu," sahut Bintang dengan penuh rasa sesal. Diam-diam dia kagum sekaligus curiga pada Laila.

Gadis yang telah ditinggalkan oleh ayahnya ini sekarang bisa kuliah, padahal kondisi ibunya sedang kekurangan. Laila mendapat biaya darimana agar bisa kuliah? Jangan-jangan dia ...

Bintang segera menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menepis prasangka nya. Ingin bertanya pada Laila tentang darimana gadis itu mendapat biaya untuk kuliah, tapi Marzuki merasa hal itu tidak pantas.

"Oh, ya. Aku numpang pipis dulu. Boleh kan? Dimana kamar mandinya?"

Laila mengantarkan letak kamar mandinya lalu kembali ke ruang tamu. Tampak tas punggung dan ponsel Bintang terletak di meja ruang tamu nya.

Laila nyaris terlonjak karena kaget mendengar suara ponsel milik Bintang yang mendadak berbunyi nyaring. Lebih kaget lagi saat melihat nama san foto laki-laki yang tertera di layar ponsel Bintang.

Kak Satria is calling ....

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status