Share

bab 2

Mata Laila langsung terbuka lebar saat mendengar suara lelaki yang tak asing itu.

"Ha-halo."

"Suara kamu serak? Kamu habis menangis?" tanya suara seberang.

"Tidak, Kak. Ada apa, Kak?"

"Aku cuma ingin bertanya saja padamu, tempat apa yang penghuninya paling sedikit?"

Laila mengerutkan keningnya. Merasa heran pada kelakuan salah satu senior beda fakultas di kampusnya itu.

"Entahlah, saya tidak tahu."

"Hm, tempat yang penghuninya paling sedikit di dunia adalah hatiku. Sebab penghuninya hanya satu, yaitu kamu."

Laila tersenyum lebar. Meskipun kakak senior nya itu tidak akan tahu senyumnya, tapi lelucon dari seniornya itu sedikit menghangatkan hatinya walaupun tidak meringankan luka di sekujur tubuhnya.

"Kamu bisa saja kak Bintang."

"Bisa dong. Hehehe. Oh ya, sarapan bareng yuk."

Laila kelimpungan. "Hm, sarapan bareng, Kak?"

"Hm, kok malah nanya balik sih La? Jadi mau nggak? Kalau mau, share lokasi rumah kamu. Biar aku jemput!"

Laila berpikir cepat. Dia segera berdiri dan mengaca. Rambut sebahunya acak-acakan, muka dan matanya bengkak karena semalaman menangis.

'Astaga. Mukaku benar-benar mengerikan. Tapi aku juga ingin sarapan dengan Kak Bintang,' batin Laila.

"Halo, La. Bagaimana?"

"Uhm, boleh Kak. Tapi makan malam saja ya. Semalam aku memang begadang. Sekarang mager banget. Nggak pengen sarapan dulu."

Bintang mendes*h. Sebenarnya dia kecewa. Tapi apa boleh buat. Mungkin nanti malam lebih baik, sekaligus malam mingguan.

Bintang yang selama ini dikenal sebagai play boy cap kabel merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama dan selalu berusaha mendekati Laila. Tapi ternyata Laila selalu menghindari nya dan hal itu justru semakin membuat penasaran.

"Ya sudah. Kamu istirahat saja. Sampai jumpa nanti malam."

***

Laila baru saja keluar dari ruang UGD sebuah rumah sakit untuk memeriksakan luka-luka nya, saat seorang laki-laki tampan mendekatinya.

"Hai, kamu di sini juga?" tanya lelaki itu.

Laila mendongak dan menatap lelaki itu dengan rasa takut. Kejadian semalam terbayang lagi di benaknya.

Penganiayaan saat berhubungan yang dilakukan pemuda itu pada tubuhnya sebenarnya ingin membuat Laila seketika itu juga menonjok wajahnya.

Tapi Laila segera menahan diri. Dia sadar bahwa laki-laki di hadapannya ini adalah kliennya dan dia masih berharap mendapat pundi-pundi rupiah dari klien seloyal pemuda ini.

"Iya. Bang." Laila tersenyum dengan profesional.

"Kamu kesini untuk mengobati luka semalam?" tanya Satria dengan senyum menyeringai. Laila mengangguk kaku.

"Hm, saya kemari juga untuk periksa kesehatan. Karena yah, sekarang kan banyak penyakit karena 'jajan' sembarangan." Satria mengatakan hal itu seraya mengedipkan sebelah matanya. Laila mendelik.

"Oh ya, mumpung ketemu kamu, saya ingin sekalian memperingatkan kamu, La."

"Hah, memperingatkan saya tentang apa?" tanya Laila.

Satria mendekatkan mulutnya ke telinga Laila dan berbisik. "Semalam adalah rahasia kita. Jangan coba-coba untuk membocorkan rahasia kita. Apalagi soal gaya semalamku. Apa kamu paham?"

Laila memandang mata Satria lekat. Jarak keduanya begitu dekat hingga Laila bisa merasakan hembusan nafas Satria.

"Aku tahu, Bang. Tenang saja. Saya profesional kok. Tidak akan ada yang tahu soal kita semalam."

Satria menarik wajahnya menjauh dari wajah lawan bicaranya.

"Bagus, Manis. Kamu cerdas sekali. Aku akan segera merindukan jasamu lagi. Ingat itu."

Laila terdiam dan bergidik. Masih terasa perih di tubuh nya saat ini dan lelaki yang menyebabkan hal itu padanya dengan entengnya melenggang meninggalkannya menuju ke tempat parkir rumah sakit.

***

Laila baru saja merebahkan diri di kamar kontrakan nya saat terdengar suara pesan masuk.

Ting!

[Kamu tahu nggak apa bedanya kamu dan mata kuliah farmakologi?]

Laila tersenyum membaca pesan w******p dari Bintang.

[Enggak tahu. Aku juga enggak pernah dapat mata kuliah itu.]

[Bedanya adalah mata kuliah farmakologi susah dihafalin, kalau kamu susah dilupain.]

Laila tertawa. Hatinya benar-benar hangat setelah mengenal lelaki itu.

'Bagaimana reaksi Bintang setelah dia tahu bahwa pekerjaanku seperti ini?' bisik hati Laila.

Laila bergegas menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan ketakutan dari pikiran.

'Entahlah. Aku tidak ingin memikirkannya sekarang. Lebih baik aku menyelesaikan urusan yang jelas ada di hadapanku daripada takut akan sesuatu yang belum terjadi. Biarlah yang terjadi nanti, dihadapi nanti juga.'

[Oh iya, nanti makan malamnya di kafe dan resto Gardenia jam 7 ya. Aku sudah reservasi tempat.]

[Oke Kak.]

[Aku jemput ke rumah kamu ya, La?]

[Enggak usah Kak. Aku bisa berangkat sendiri.]

[Kenapa sih? Padahal aku pingin tahu rumah kamu, La.]

[Enggak apa-apa Kak. Belum saatnya saja.]

[Memangnya kapan saat yang tepat untuk mengunjungi rumah kamu? Saat aku melamarmu?]

[Nggak usah nggombal, Kak. Udah ah. Saya mau istirahat dulu. Tadi habis dari rumah sakit, Kak.]

[Eh, kamu sakit apa, La? Cerita aja sama aku?! Aku calon dokter lho!]

Gadis cantik itu hanya tersenyum lalu segera mematikan ponsel dan memejamkan matanya.

Suara bel yang berisik di pintu depan rumah kontrakannya membuat Laila membuka mata. Dengan masih setengah mengantuk, Laila mengucek matanya lalu bangkit dari kasur dan membuka pintu.

"Assalamualaikum, astaga Laila! Kenapa wajah kamu?!" tanya Bintang terkejut melihat pipi Laila yang sedikit memar dan beberapa bilur luka merah di tangan dan lengan gadis itu.

Laila pun tercengang melihat kedatangan Bintang di hadapannya.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status