Biarpun Ayu merengek minta sarapan bersama di luar, tapi aku tak mempedulikannya. Rasaku padanya yang sempat menggebu, hilang begitu saja setelah mengetahui dia ada main dengan Aldi. Ayu kuantar langsung ke kantornya. Setelahnya, aku melesat menuju kantor.Di kantor, aku benar-benar tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Bayangan pertengkaran malam itu selalu hadir memenuhi kepala. Hati ini berdenyut sakit setiap kali ingat dengan perlakuan Mama terhadap Karin. Lebih sakit lagi saat aku teringat telah menamparnya untuk pertama kali."Aaargh!" Tanpa sadar aku menggebrak meja hingga membuat karyawan lain menoleh dan menatap heran padaku. "Maaf," ucapku dengan senyum terpaksa.Saat jam istirahat, terpaksa aku makan di kantin meskipun tidak begitu bernafsu. Kehilangan wanita yang dicintai bukan berarti jalan hidupku juga harus berhenti, bukan? Apalagi kehilangannya karena dia berkhianat.&nbs
Aku terperanjat bangun ke posisi duduk dengan napas terengah. Bahkan, rasa sakit itu masih terasa begitu nyata di dalam sini. Air mata pun masih ada jejaknya di pipi."Kenapa mimpinya begitu terasa nyata?" gumamku sembari mengusap air mata. "Apa maksudnya mimpi tadi? Apa Karin baik-baik saja?"Aku menggeleng cepat, berupaya mengenyahkan segala pikiran buruk yang melintas.Aku harus bisa melupakan Karin, tapi kenapa di sini sangat terasa sakit? Seolah Karin tidak akan pernah kembali. Lalu, siapa anak yang dituntunnya tadi? Apa itu anak dari selingkuhannya itu?""Aaargh!"Aku Mengacak-acak rambut frustasi, lalu beranjak turun dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Membasuh wajah dan tertegun menatap diri di cermin besar.Tiba-tiba saja seolah aku melihat bayanganku yang pernah menggoda Karin di kamar mandi ini. Tanpa sadar, kedua sudut bibir ini terangkat naik mendengar tawa r
Sepanjang perjalanan, Ayu terus mengoceh, tapi aku hanya menanggapi dengan seperlunya saja. Ia merengek meminta ikut ke tempat pertemuan. Tentu saja aku menolak. Bagaimana bisa dia ikut, sedangkan keperluanku ada sangkut pautnya dengan perselingkuhannya? "Mas, nanti aku ikut, ya?" Ayu masih merengek dari balik kaca mobil setelah ia turun. "Tidak bisa, Ayu. Ini urusan bisnis. Kamu nanti langsung pulang saja, ya. Tunggu aku di rumah." "Tapi, Mas—" "Daah!" Aku melambaikan tangan sesaat sebelum mobil melaju meninggalkannya. Kulirik ia dari kaca spion. Ayu masih berdiri terpaku di tempat dengan wajah cemberutnya. Aku hanya menggeleng pelan lalu menancap gas menuju kantor. Merasa konyol dan bodoh pernah terbujuk oleh Mama dan
Dengan senyuman sinis, aku menghampiri mereka yang tengah fokus menatap layar televisi. Semula aku mendengar mereka semua sempat tertawa-tawa bahagia. Namun, sekarang mereka terlihat serius mengamati berita."Ada apa, Ma? Serius sekali menontonnya?" tanyaku lalu kembali mengambil posisi duduk di samping Ayu yang juga serius menyaksikan berita."Itu, Malik. Sore tadi ada kapal yang terbakar lalu karam di perairan."Mau tak mau aku ikut fokus lalu menambah volume televisi tersebut. Tim BASARNAS masih sedang berusaha mengevakuasi korban selamat. Diberitakan jika kapal tersebut berlayar dari Tanjong Priok menuju Pulau Bangka dengan membawa penumpang berlebih. Diketahui jika 230 orang selamat, 32 orang tewas dan 17 orang dinyatakan hilang dan masih dilakukan pencarian."Kasihan, ya. Pasti mereka syok dengan kejadian itu," komentar mama mertua.
Aku berjalan lesu ke kamar lalu menghempaskan punggung di kasur. Tertegun memandang langit-langit kamar dengan pikiran yang melayang jauh. Dalam waktu singkat, aku sudah kehilangan dua istri sekaligus. "Well, aku harus belajar melupakan mereka. Tak pantas para pengkhianat itu terus mengganggu pikiranku," gumamku pada diri sendiri lalu beranjak mendekati lemari untuk mengambil baju ganti dan bersiap tidur. Mas ... Mas Malik. Mas .... Aku terperanjat bangun dan langsung menyalakan lampu tidur di atas nakas. Memindai ke sekeliling kamar demi mencari asal suara. Kosong. Kamar ini sepi dan hampa sejak ditinggal ratunya. Jelas-jelas tadi aku seperti mendengar suara Karin berbisik memanggil, tapi tidak ada. Lagi-lagi ini hanya cuma mimpi. Kenapa bayan
Mamamu....Cengkeraman tanganku di kerahnya seketika terlepas dan jatuh terduduk. Lemas. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya."Kamu ... bercanda, 'kan?""Untuk apa aku bercanda?" Pria itu menyeka matanya yang berair. "Aku jujur karena aku menyesal atas kejahatanku itu. Aku telah menyakiti wanita yang tidak berdosa.""Kamu pasti lagi coba memfitnah mamaku, 'kan? Mengaku saja! Apa Karin yang menyuruhmu melakukan ini, huh?!"Pria itu tersenyum miris, lalu menggeleng. "Bukan sepenuhnya salahku kalau kamu sampai kehilangan istrimu. Tapi kamu sendiri yang gampang terbawa emosi dan tidak bisa percaya sedikit pun padanya.""Tutup mulutmu! Mamaku tidak mungkin sejahat itu!" desisku tak terima. "Kamu sendiri y
Dengan cepat aku turun dari motor, lalu menekan bel di depan gerbang rumahnya Anthony. Cukup lama aku berdiri di sini sampai pada akhirnya, seorang pria tua membukakan gerbang tersebut."Cari siapa, Mas?""Anthony ada? Saya temannya," jawabku dengan dada bergemuruh."Mas Anthony lagi pergi ke depan. Sebentar lagi juga pulang. Mari silakan masuk! Mas tunggu di dalam saja." Pria tua itu mempersilakanku masuk dengan ramah."Terima kasih, Pak," ucapku, lalu mendorong motor dan memarkirkannya di halaman, dan duduk menunggu Anthony di kursi teras. Sementara, pria tua tadi masuk ke dalam dan tak lama kembali lagi ke sini."Diminum dulu, Mas." Beliau menyuguhkan secangkir teh."Terima kasih, Pak. Tidak perlu repot-repot."
Sepanjang perjalanan, aku banyak merenung dan itu membuat Papa marah. Akhirnya, mau tak mau Papa menggantikan posisi menyetir karena tidak mau mengambil risiko. Entahlah. Perasaanku mendadak tidak tenang dan gelisah. Bahkan, jantung ini dari tadi berdebar tidak karuan.Pikiranku terpaut pada keberadaan Karin sekarang. Di mana dia? Sedang apa? Apa dia juga merindukanku seperti aku merindukannya sekarang?Maafkan aku, Karin. Aku menyesal atas semuanya."Kenapa kamu nangis?""Tidak apa-apa, Pah," jawabku dengan suara sedikit serak, lalu menyeka air mata dan memalingkan wajah.Aku terlalu hanyut memikirkan tentang keberadaan Karin. Hingga tanpa sadar, mobil yang dikemudikan Papa sudah sampai di parkiran rumah sakit. Dalam hati, aku terus bertanya tujuan Papa membawak