Share

MERTUA PELIT, MENANTU CERDIK
MERTUA PELIT, MENANTU CERDIK
Author: Dewii Kamaya

Bab 1

MERTUA PELIT, MENANTU CERDIK

"Linaaaa, itu kenapa televisi nyala malah ditinggal?!" 

"Ambil minum sebentar, kok, Bu, mumpung iklan." 

"Sebentar, sebentar! Listrik mahal jangan boros!" 

Iya, Buk, maaf, jawab Lina. Lina melanjutkan menonton televisi sambil mengantongi cilok yang dibelinya dari tukang cilok depan geng. Kalau sampai ketahuan kanjeng ratu bisa buyar dimaki-maki. Baru saja melahap satu buah cilok, Lina sudah mendengar derap langkah Purnomo suaminya, buru-buru ditelan ciloknya bulat-bulat. 

"Assalamu'alaikum," kata Pur. 

"Waalaikumsalam, kok udah pulang? Katanya tadi mau mancing?" 

"Celanaku tersangkut carang bambu, sobek nih! Kamu jahit dululah!" kata Purnomo sambil memperlihatkan pantatnya. 

"Ya ampun, kan aku sudah bilang, beli celana baru, celana kamu ini sudah tambalan ada kali sepuluh tambalan, sudah saatnya pensiun!" kata Lina. 

"Boros! Selama masih bisa dipakai, pakai saja yang ada, jangan niru orang-orang boros! Kapan kayanya kita kalau ikut-ikutan orang!" kata Pur. 

"Kita hemat juga tetap saja miskin!" jawab Lina. 

"Ngelawan terus!" 

“Hmm… Si Novi tasnya putus, kalau keluar besok jangan lupa beli yang baru, kasihan mulai dari kelas tiga gak ganti-ganti! 

"Jahit saja, lah!" kata Pur. 

"Kamu kebangetan, deh! Tas anakmu itu sudah kekecilan, tubuhnya gede tasnya kecil, kayak kura-kura ninja tahu, gak! Kasihan dia gak kayak temennya yang lain!" 

"Nanti aku pikir lagi, sudah jangan ngomel saja!" kata Purnomo. 

***

"Lina, masak sayur nangka dengan kuah yang banyak, ya! Nanti keluarga Bude Siti mau datang!" kata Bu Romlah. 

"Hanya sayur nangka, Bu?"

"Sama itu ada daun kelor buat sayur bening!" 

"Baik, Buk," jawab Lina.  

Lina mencari keranjang bumbu, sama sekali tidak nampak satu siung bawang pun, dia celingukan mencari hingga kepalanya terasa pening. 

"Buk, keranjang bumbu kemana, ya?" tanya Lina. 

“Oh, ada di bawah kolong kamar ibu, kemarin Si Desi mau minta cabe, apa dia tidak tahu kalau harga cabe sekarang mahal?!” gerutunya sambil mengambil keranjang bumbu.

'Jelas saja Desi minta ke mertuanya, orang dia tetangga baru belum tahu kalau mertuanya super pelit!' batinnya. 

"Buk, inikah bumbunya?" tanya Lina.  

"Iya, jangan banyak bumbu, enek!" 

"Tapi, yang kita masak satu buah nangka muda dengan ukuran jumbo, Bu?" 

"Sudahlah, asal asin saja! Oh ya, jangan pakai blender! Parut saja kelapanya! Hemat listrik!" katanya. Lina mendesah pasrah, selama bertahun-tahun berumah tangga dan ikut dengan mertuanya, blender di dalam lemari dapur itu masih utuh karena hanya sebagai pajangan, tak pernah sekalipun dia dikeluarkan dari kandangnya. 

"Lin, kenapa nenek sihir ngomel-ngomel?" tanya Rania, yang sedang menjemur pakaian, rumah tetangganya itu memang saling singkur dengan rumah mertuanya, namun tempat jemuran keduanya tanpa pagar. 

"Bantuin marut kelapa, Ran! Kelapa dua biji suruh marut sendiri, kesel!" gerutu Lina. 

"Lagian, udik amat mertuamu itu, punya blender cuma buat pajangan aja!" 

"Gosip terus! Mana bisa mateng sendiri sayur nangkanya!" teriak Bu Romlah. 

Rania terkikik sambil menutupi mulutnya. Mereka berdua memarut kelapa sambil bergosip. 

"Siapa yang mau datang, Lin?" 

"Itu, kakaknya ibuk, Bude Siti, tahu, gak? Yang anaknya pernah viral karena uangnya hilang di dalam kaleng yang dirongsokin sama istrinya itu, lho!" 

"Oooh, si pahit itu? Itu artinya sepupu suamimu?" 

“Iya, makanya sama, sekeluarga pahit semua!” bisik Lina. 

"Linaaa, hemat-hemat kalau pakai gas! Jangan besar-besar apinya!" teriak Bu Romlah. 

"Kelamaan kalau pakai api kecil, nunggu sampek maghrib juga gak bakal mateng orang nangka mudanya segede gaban begini!" kata Rania. Dia bangkit dan pulang ke rumahnya kemudian membawa kayu bakar di pelukannya. 

"Pakai ini!" kata Rania. 

"Ide bagus!" kata Lina. Setelah sayur nangka mudanya matang, Lina menawari Rania untuk mengembalikannya tapi Rania menolak karena sudah pasti rasanya tidak karuan. 

"Ini bukan sayur tewel, Lin, kata aku ini sayur bening, halah, lihat aja udah gak napsu makan," kata Rania. 

"Diam kamu, habis ini kita jemput anak-anak sekalian makan bakso, ya!" 

"Oke, siap!" kata Rania. 

***

"Mas, jadi belikan tas buat Novi?" tanya Lina. 

"Ck! Jahit aja, masih bisa pakai pakai saja, deh!" 

“Kasihan dia, sekali-kali senengin anak kenapa, sih!” 

"Buat sekolah aja udah mahal, pakai mau seneng-seneng lagi! Jadi ibu jangan ngajari yang gak bener, deh!" kata Pur sambil beranjak meninggalkan Lina. 

Lina mendesah, dia kasihan melihat putri semata wayangnya yang lagi-lagi nampak kecewa. Andaikan karena keadaan ekonomi yang memburuk, pasti Lina juga akan mengerti, ini beda, suaminya mempunyai usaha las yang beberapa tahun ini semakin berkembang. 

Begitu melihat suami masuk kamar mandi, Lina memandang tas kecil bergoyang milik sang suami, dengan tangan gemetaran, dia membuka tas itu, matanya mendelik melihat tas kecil itu penuh dengan uang gepokan. Ubun-ubunnya mendidih, dia tidak sabar menunggu suaminya keluar dari kamar mandi. 

"Kamu keterlaluan, Mas!" 

"Keterlaluan bagaimana?" tanya Pur santai sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk bolong kesayangannya. 

"Aku cuma minta dibelikan tas agar anak kita sama dengan temannya gak kamu ikutan, padahal kamu punya uang banyak! Dari dulu gak pernah berubah, aku kira kamu menyuruhku hemat karena memang kamu gak punya uang!" kata Lina. 

"Lancang kamu beraninya buka-buka tasku!" 

"Kalau aku gak buka tasmu mana tahu aku punya uang sebanyak itu!" teriak Lina. 

"Apa ini ribut-ribut?!" tanya Bu Romlah. 

"Mas Pur menyembunyikan uang dari aku, Buk! Aku cuma minta beli tas anaknya tapi gak boleh, sedangkan dia sendiri menyimpan begitu banyak uang tanpa sepengetahuanku!" kata Lina. 

"Oalah begitu saja dipermasalahkan, itu uang untuk tabungan kalian nanti kalau tua, hidup itu jangan boros dihemat-hemat, lagian uang itu aman di tangan suamimu!" 

"Jadi Ibu tahu soal uang itu?" 

"Ya tahu, lah! Sudah jangan ribut lagi, nanti ibu carikan tas bekas milik sepupu-sepupunya!" kata Bu Romlah. Lina diam, dia langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci diri. 

"Awas kamu, Mas!" gumamnya. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status