Asma seorang putri Kiai yang kaya raya menikah dengan pemuda kampung bernama Ridho. Setelah resmi menjadi istri dia pun memilih ikut sang suami, namun dia begitu terkejut saat di kampung sana sang mertua selalu menjadi bahan gunjingan tetangga karena dianggap orang paling miskin.
Lihat lebih banyak"Maaf, Ibu Zainab jangan ambil satenya." Aku langsung ikut tertegun saat salah satu penjaga prasmanan melarang Ibu mertuaku mengambil makanan tersebut.
"Loh, memangnya kenapa?" tanyaku spontan saat tengah berdiri di belakang Ibu. "Olahan daging khusus untuk tamu VIP," jawabnya membuatku mengernyitkan kening. "Lho? Memangnya ada tamu VIP juga? Kalau ada, kenapa makanannya nggak dipisah?" tanyaku lagi benar-benar heran. "I-itu ... em-" "Duh, lama banget, sih! Maju, dong! Udah pada antri di belakang, nih!" oceh seseorang dari belakang sana. "Sudah, Neng. Nggak apa. Ayo." Ibu mertuaku mengalah, memilih untuk tidak mengambil sate bahkan melanjutkan langkah tanpa menambahkan menu yang lain ke atas piringnya. "Memangnya beneran ada tamu VIP segala, Bu?" tanyaku saat kami sudah mendapatkan tempat duduk. Ibu mertuaku hanya tersenyum, dia tak menjawab, hanya memulai makan dengan menu seadanya. Aku sendiri malah hilang selera, apa lagi melihat piring Ibu mertuaku yang hanya dihiasi nasi dengan kentang balado dan capcai saja. Namun terpaksa aku ikut makan walau tak mampu menghabiskannya karena telanjur dongkol dengan perlakuan anggota dari si empunya hajat. Aku memang penduduk baru di sini, setelah satu bulan menikah dengan Mas Ridho, aku langsung ikut pindah ke kampung halamannya. Setelah selesai makan, aku pun langsung mengajak Ibu pulang. "Ckck, bisa-bisanya mau ambil sate. Paling isi amplopnya dua ribu," celetuk salah seorang perempuan yang usianya mungkin sepantar dengan Ibu mertuaku. Langkahku refleks terhenti, karena merasa kesal, aku hendak menghampirinya. Namun Ibu mertuaku lebih dulu menarik lengan ini. "Ayo, Neng." Aku hanya bisa menahan napas, lalu lebih menurut sembari menahan geram. *** "Ada apa di depan, Bu? Kok Ibu-ibu pada kumpul?" tanyaku bingung melihat gerombolan wanita berdaster di depan rumah Bi Nuni. "Paling lagi pada pilih baju, Neng." Ibu menyahut sambil menyiram bunga, sedangkan aku masih memegangi gagang sapu sambil melihat ke depan sana. "Baju? Ada yang dagang baju, begitu?" "Iya, Neng. Setiap hari Kamis dan Sabtu, suka ada Teh Didoh jual baju ke kampung ini." "Kenapa Ibu nggak ikut lihat, atuh?" tanyaku. "Ah, nggak, Neng." Ibu menjawab enteng. Refleks mataku melihat daster yang dikenakan Ibu. Warnanya sudah pudar, bahkan bagian bawahnya sudah bolong walau tidak terlalu besar. "Ayo, Bu." Setelah meletakkan sapu begitu saja, aku langsung menggandeng tangan Ibu. "Ke mana, Neng?" tanyanya nampak bingung. "Lihat baju, Bu. Kita beli baru, ya." Ibu menolak, tapi aku tetap memaksanya, alhasil wanita super baik ini pun menyerah. Benar saja, ternyata para ibu rumah tangga tengah sibuk memilih beberapa pakaian yang masih dibungkus plastik. "Ayo dipilih, Bu." Aku memberi perintah lagi, Ibu yang awalnya ragu akhirnya menjulurkan tangan, meraih sebuah plastik berisi baju mirip daster. Namun tiba-tiba penjualnya menarik benda tersebut dari tangan Ibu. "Maaf, kalau nggak mau beli jangan dikeluarin bajunya. Suka ribet ngerapiinnya lagi," ucapnya ketus. "Iya, sih. Bener. Kasihan Teh Didoh kalau pakaiannya diacak-acak tapi nggak dibeli." "Ember ... kalau kayak aku sih terserah ya Teh, soalnya tiap ke sini pasti bajunya selalu dibeli," timpal wanita yang kemarin meledek Ibu di acara hajatan. "Siapa bilang Ibu saya mau lihat aja?" ucapku memberanikan diri untuk berkata demikian. "Biasanya juga kan begitu, Neng. Mertuamu cuma lihat-lihat saja, tapi nggak jadi beli." Aku tak menjawab, namun dengan segera mengambil dompet yang kebetulan berada di dalam saku daster. "Nih! Saya borong semuanya!" ucapku sambil menjatuhkan sepuluh lembar uang seratus ribu ke atas ubin teras milik Bi Nuni. Semua orang langsung terdiam, sedangkan aku langsung meraup semua daster yang masih dibungkus plastik. "Ayo pulang, Bu!" ajakku sembari tersenyum penuh kemenangan.Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.âMasyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.â Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.âAlhamdulillah, Pak Bagja.ââGajian kemarin langsung beli laptop, ya?ââAh, tidak. Ini kado dari istri,â ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.âMasyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.â Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.âNggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.â Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.
âAssalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?â Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.âAlhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?â tanyaku.âAlhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....â Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.âSepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,â ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.âAlhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.ââSyukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b
"Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu
MERTUAKU MISKIN 8Asma PoVâAlhamdulillaaah ....â ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.âBu? Ibu?â panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.âSudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.â Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.âIya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.ââNggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?â tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.âJadi, Bu. Ini bawangnya.â Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.âI-itu bawang?â tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.âNeng beli berapa kilo?ââBawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.ââHaaah? D-dua puluh kil
"Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da
Ridho Pov âHari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....âAku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.âMau jadi apa kamu j
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen