"Ngapain Mas Dani sampai sini?" Penasaran, Reni pun menepikan motornya. Dia ikut memarkirkan motor ayahnya di tempat motor Dani berada, di sebuah rumah makan padang.
"Kok aku penasaran, ya?" Dengan pelan Reni berjalan menuju arah dalam rumah makan itu. Sungguh apa yang dilihatnya adalah hal yang sangat tak ingin dia lihat. Kali ini hatinya benar-benar terluka.
"Mas Dani!" Teriakan Reni yang tertahan di tenggorokan kala melihat Dani sedang menyuapi Tari dengan mesra.
Meski sudah tahu, tapi melihat sendiri ternyata rasanya lebih sakit. Tidak mungkin kebersamaan yang telah terjalin begitu lama dapat terhapus saja.
"Re-Reni!" Tak kalah kaget dengan Reni, Dani segera berdiri dari duduknya. Dia begitu kaget melihat Reni ada di sini, apalagi dia sedang bersama Tari.
"Terusin aja, Mas. Anggap aja kita nggak pernah kenal." Reni melenggang masuk ke dalam resto padang itu. Dia ingin menguji, sudah seberapa tak tahu malunya mereka.
Dengan emosi ya
Dani dan Tari keluar dari rumah makan padang itu dengan perasaan campur aduk. Kesal. marah, kecewa, sakit hati, dan berbagai perasaan lainnya. Kondisi keduanya pun tak sehangat dan semesra saat berangkat, bahkan Tari tak melingkarkan tangannya di pinggang Dani. Tari duduk agak ke belakang menjauhi Dani. Dia masih merasa cemburu karena Dani mencemburui Reni. Ah! Persoalan yang rumit. Begitu pula Dani, seolah lupa jika sedang bersama Tari, dia terus melajukan motornya kencang. Dia benar-benar tidak terima ada laki-laki lain yang memperhatikan Reni. Terlebih, laki-laki itu ternyata memiliki pekerjaan yang lebih bergengsi dari padanya. 'Kenapa juga tadi mesti makan di tempat itu?' batin Dani. Tempat itu memang dia lewati saat pulang dari pantai. Karena Tari merasa lapar, jadinya Dani memutuskan untuk berhenti di salah satu rumah makan padang di sepanjang jalan itu. 'Kenapa juga Reni bisa ada di sana? Siapa pula laki-laki itu? Tidak mungkin dia selingkuhan
"Terima kasih sekali lagi." Hanya itu yang bisa Reni ucapkan pada Bram, yang lagi-lagi telah menolongnya.Dan juga telah membuatnya tidak kehilangan muka di hadapan orang-orang. Reni melihat sekeliling, nampaknya mereka masih mencuri pandang ke arahnya. Tetu saja Reni sangat tahu alasannya.Tapi, dia memilih tidak peduli. Memikirkan Dani hanya akan membuatnya sakit kepala."Kamu, mau aku anterin," tawar Bram pada Reni. Reni kembali mendongak menatap pria itu sebari tersenyum."Nggak usah, Bram. Aku bawa motor sendiri." Reni bukan orang yang mudah baper dengan perhatian orang lain. Meski saat ini Bram begitu baik padanya, tak serta merta menjadikannya menyukai pria itu.Reni berpikir, semua orang pasti akan melakukan hal yang dilakukan Bram."Kamu masih simpan nomorku 'kan?" Reni mengangguk. Dia tentu saja ingat hal itu dan alasan menyimpan nomor Bram."Kalau butuh bantuan, kamu bisa langsung hubungi aku. Akan aku usahakan untuk bantui
"Bruk!" Reni terjatuh saat masih di parkiran. Naas, di sana tidak ada seorang pun, sehingga Reni tidak segera tertolong. Ada sebuah mobil yang memasuki parkiran tempat itu. Seorang pria berkaca mata hitam keluar dari dalam mobil. Dia hanya memakai celana pendek serta kaos lengan pendek. Awalnya pria itu tak menyadari ada sesorang yang tergeletak di sana. "Eh!" Pria itu menoleh ketika kakinya seperti menyenggol sesuatu. "Lho! Mbak!" Dia segera mengangkat kepala Reni dan menyandarkannya di pahanya. Pria itu tampak mengamati dengan seksama wajah Reni, dai mengernyitkan dahinya. "Reni!" Tak sengaja dia berteriak ketika ternyata yang sedang pingsan adalah wajah yang dikenalnya. "Ren! Bangun, Ren!" Sang pria mencoba menampar pelan pipi Reni berharap Reni akan segera tersadar. Bergeming. Reni tak segera sadar dan membuat sang pria terlihat begitu khawatir. Maksud hati ingin membeli kelinci lagi untuk usahanya, malah dipe
"Ren, apa kamu marah karena aku telah lancang membacanya?"Reni menghela napas. Dia merasa sangat frustasi kali ini."Sebenarnya aku sangat malu bertemu kamu saat aku seperti ini. Dan juga kamu harus mengetahui masalah rumah tanggaku." Reni hanya menunduk, tak mampu menatap lelaki yang pernah ditinggalkannya itu."Angkat wajahmu, Ren. Jangan seperti itu. Kamu tahu 'kan perasaanku untukmu masih sama?" Jari Yudha menyentuh ujung dagu Reni dan mengangkatnya ke atas.Reni memalingkan wajahnya, "Aku nggak pantas buat kamu, Yud." Dia yang terlebih dulu meninggalkan lelaki itu dan memilih menikah dengan Dani. Tak pantas rasanya jika menerima kembali cinta Yudha.Yudha membuang napas kasar. Semua itu bukan sepenuhnya salah Reni, saat di Jepang dia yang terlebih dulu mengabaikan wanita itu, sehingga Reni salah paham dan akhirnya menerima lamaran Dani."Kenapa sulit sekali mencairkan kebekuan hatimu itu, Ren?"Yudha kembali duduk di tempa
"Halo, assalamu'alaikum." Reni mencoba berbicara sedatar mungkin. Tak ingin lawan bicaranya di seberang telepon mengetahui bahwa emosinya sedang naik."Wa'alaikumsalam. Halo, Ren. Kamu di mana? Kenapa sampai sore belum pulang?"Sebuah pertanyaan penuh kekhawatiran diucapkan oleh seorang wanita yang ada di ujung telepon sana.Reni sangat hapal suara itu, siapa lagi kalau bukan Yanti, ibunya. Diliriknya jam dinding yang ada di kamar rumah sakit itu, menunjukkan pukul lima sore. Tentu saja keluarganya di rumah sangat khawatir."Maaf, Bu. Reni belum sempat memberitahu ibu." Reni menggigit bibir bawahnya, pembicaraan dengan Yudha tadi membuatnya lupa untuk menghubungi keluarganya. Pergi sedari pagi, tapi sampai sore belum pulang."Kamu di mana to, Ren. Ibu sama Ayah khawatir, sedari tadi kamu belum pulang. Mau hubungi nunggu Zaki pulang sekolah."Sekitar jam lima sore memang adiknya itu pulang dari sekolah. Maklum sudah kelas
Setelah mematikan telepon, Yanti segera mengajak Bambang menuju klinik yang disebutkan Reni.Di perjalanan tak henti-hentinya wanita paruh baya itu berdoa untuk kesehatan putri dan calon cucunya."Yah, yang cepet, dong. Kasihan Reni, dia sendirian." Yanti merasa suaminya itu berkendara dengan sangat lambat. Padahal Bambang sudah melajukan sepeda motornya dengan kecepatan 80 km/ jam. Lumayan cepat bagi pengendara yang sudah berumur.Reni memang tidak memberi tahu perihal Yudha, jadinya Yanti tahunya wanita itu sedang sendirian."Sabar dong, Bu. Ini juga cepat Jangan karena keburu nafsu, malah membahayakan keselamatan diri sendiri." Berkendara di jalanan, harus tenang. Karena tidak hanya menyangkut keselamatan diri sendiri, tetapi ada banyak hal yang harus diperhitungkan."Ck!" Yanti hanya bisa mencebik, tak mau kena omelan lagi.Sesampainya di klinik, tak ingin membuang waktu, Yanti segera menuju meja resepsionis."Mbak, pasien atas na
"Lho, Ren. Mas ganteng ini siapa, ya?" Melihat Yudha, membuat Yanti teringat dengan aktor drama Turki yang sering dia tonton. Yudha berdiri dan tersenyum menyalami Yanti. Seperti dugaan Yanti, tubuh Yudah tinggi besar seperti aktor-aktor itu, dengan sedikit jamban tipis yang membingkai rahangnya. Dia terlihat begitu tampan. Reni dan Yudha saling melempar pandangan, keduanya tak tahu harus menjawab apa. Takut jika orang tua Reni salah paham. "Ini yang nolongin Reni, Bu. Namanya Yudha, kebetulan dia dulu teman sekolah Reni." Tak mungkin bagi Reni untuk mengakui bahwa Yudha adalah mantan pacarnya sewaktu SMA dulu. Yang paling aman adalah mengenalkannya sebagai teman. Hati Yudha sedikit teriris ketika Reni mengenalkannya hanya sebagai teman. Ya, meski itu lebih baik dari pada tidak saling mengenal. "Malam, Om, Tante," sapa Yudha sopan. Melihat senyumnya ini, pasti bakal membuat siapa pun klepek-klepek. Tak terkecuali emak-emak yang sedari tadi tak
"Mas. Aku ke rumah kamu boleh?" tanya Tari saat keduanya selesai bermain di atas ranjang."Eh! Kenapa kamu mau ke rumah?" jawab Dani gelagapan. Kini dirinya sedang bersiap untuk mandi. Diambilnya baju dan celananya yang tadi berserakan. Dihentikan aktifitasnya untuk menunggu jawaban Tari."Mau kenal saja sama keluarga kamu. Seperti katamu tadi, kalau kamu mau ceraiin istri kamu seusai lahiran." Tari masih enggan beranjak. Dia masih terduduk di atas kasur dengan sebelah tangannya memegangi selimut yang hingga menutupi dada polosnya.Banyak bercak kemerahan yang tertinggal di kulit putihnya itu. Pertanda keganasan Dani saat becinta tadi. Dia melampiaskan kecemburuannya pada Tari.Tak ada sejengkal pun tubuh Tari yang lepas dari keganasannya. Hingga tadi sempat membuat Tari menangis."Ehm, apa tidak terlalu cepat? Aku masih beristri, lho. Apa kata orang tuaku nanti." Ya, bagaimanapun Dani takut orang tuanya akan mengomel."Aku cuma