Riuh tepuk tangan terdengar di sebuah aula hotel bintang lima. Bersamaan dengan itu, seorang pria berumur 33 tahun turun dari podium. Ia baru saja didapuk menjadi CEO baru di Victory Group.
“Sekali lagi selamat, Mas Adrian,” ucap seorang pria paruh baya menjabat tangannya.
“Terima kasih, Pak. Mohon bimbingan dan kerja samanya,” balas Adrian sambil tersenyum bangga.
“Kami, para komisaris, percaya kalau kamu bisa melanjutkan pucuk kepemimpinan almarhum Andre, kakakmu.”
Adrian mengangguk sambil menaruh tangan kanannya di dada. Suatu kehormatan baginya yang masih terbilang muda, bisa menjabat sebagai pimpinan di Victory Group. Perusahaan yang bergerak di sektor perhotelan dan transportasi udara itu didirikan oleh Victor Galih Hartanto, ayah angkat Adrian.
Selama 40 tahun, Victory Group berkembang pesat, bahkan di tangan anak pertamanya, Andre Raymond Hartanto. Sayangnya, Andre meninggal dunia enam bulan lalu akibat kecelakaan, sehingga jabatan tersebut diberikan pada dirinya yang notabenenya adalah adik angkat.
“Selamat, Om.”
Seorang gadis muda dalam balutan gaun berwarna hitam tiba-tiba mengulurkan tangannya pada Adrian.
“Terima kasih, Nada. Kamu tidak keberatan, kan, kalau Om yang menggantikan papamu?” tanya Adrian pada anak semata wayang Andre.
Dengan cepat, gadis bersurai panjang bergelombang itu menggeleng.
“Tenang saja, Om. Aku tidak berminat untuk menjadi pimpinan perusahaan. Aku hanya ingin menjadi pengangguran tapi banyak uang. Lagipula, pemilik saham terbesar perusahaan ini adalah aku,” terangnya, “jadi, jangan sungkan.”
Mendengar ucapan asal keponakan angkatnya itu, Adrian tertawa kecil. Dia tidak merasa tersinggung sama sekali dengan ucapan Nada. Justru, pria itu merasa berterima kasih pada Nada yang melepaskan posisi CEO kala jajaran komisaris merasa dia masih belum pantas mengemban amanah tersebut.
Adrian mengelus puncak kepala Nada, hingga gadis itu cemberut.
“Om! Rambutku bisa kusut, nih,” protes Nada sambil mendelik kesal pada pamannya, “nanti, lima jam aku nyalon jadinya sia-sia.”
Keduanya tertawa dan bercanda, sampai perhatian Adrian teralihkan oleh seorang wanita yang tiba-tiba datang menghampirinya.
“Selamat, Sayang,” katanya sambil memberikan buket bunga pada Adrian.
Adrian nampak terkejut. “Kenapa kamu ada di sini, Sindy?”
“Apakah aku tidak boleh berada di sini untuk memberikan selamat pada kekasihku?” tanya wanita itu manja.
Adrian menghela napas panjang, lalu berkata, “Tentu boleh. Tapi, bukannya kamu sedang ada pekerjaan?”
Sindy menggelayut pada Adrian. Dirinya tidak peduli dengan keadaan sekitar. “Demi kamu, aku berusaha bernegosiasi dengan atasanku.”
Melihat itu, Nada hanya bisa mendelik kesal.
“Entah kenapa, setiap melihat wajah si Sindy itu aku jadi mual,” gumamnya sambil mengedikan bahunya, merinding, “semoga Om Adrian tidak salah pilih calon tanteku.”
Ia tidak ingin menodai matanya. Jadi, Nada pun beranjak dan memutuskan untuk pergi dari tempat itu.
Hanya saja, baru beberapa langkah, Nada justru tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria paruh baya.
“Ah, maaf,” ucapnya sambil menundukkan kepala secara refleks.
“Iya,” timpal pria itu, kemudian pergi dengan cepat menjauh dari Nada.
Nada mengerutkan kening, bingung. Ia merasa kalau pria tersebut seperti sedang menyembunyikan wajahnya.
Akan tetapi, Nada tak ingin mengambil pusing dan segera pergi dari tempat tersebut dan memilih bersantai di pojok ruangan.
Tak terasa, pesta pelantikan Adrian pun selesai. Para tamu undangan mulai meninggalkan aula Victory Hotel.
“Ommu ke mana, Nada?”
Mendengar pertanyaan dari sang nenek, Nada menengok ke kanan dan kiri–mencari keberadaan Adrian.
Aku tidak tahu, Nek,” jawab gadis itu akhirnya setelah tak berhasil menemukan Adrian.
“Coba kamu cari dia. Minta Ommu untuk mengucapkan salam pada Pak Calvin, sebelum beliau pulang.”
Pria yang dimaksud sang nenek memang menjabat sebagai ketua dewan komisaris. Maka dari itu, Eva—nenek Nada dan sekaligus ibu angkat Adrian—selalu menghormati pria tersebut.
“Baik, Nek.”
Meski malas, Nada pun menuruti perintahnya. Segera saja, gadis itu berkeliling. Sayangnya, Adrian tidak ditemukan di mana pun!
“Om Adrian ke mana, sih? Apa berduaan sama si Sindy, ya?” gerutu Nada kesal.
Padahal, pria itu sudah diperingatkan untuk tetap diam karena dia bintangnya malam ini.
“Tunggu, apa dia di ruang kerjanya?” tebak gadis itu mendadak
Tidak berlama-lama, Nada pun melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Adrian. Hanya saja, langkah kaki Nada terhenti saat matanya mendapati seorang perempuan asing hendak memasuki ruang kerja sang paman.
“Hey! Siapa kamu?!” seru Nada mendekat. Perempuan itu terkesiap, sedangkan Nada memindai perempuan tersebut dari ujung kepala sampai kakinya. “Siapa kamu?”
“Ah … a-anu, sa-saya karyawan dari bagian lounge bawah,” jawab perempuan itu tergagap.
Nada menyipitkan matanya menatap perempuan itu. Akan tetapi, dia tidak berniat memotong ucapannya.
“A … sa-saya diminta mengantarkan ini ke ruangan pimpinan.”
Perempuan itu lalu merogoh tas yang dibawanya dan memberikan sebuah botol minuman.
Nada jelas semakin merasa curiga dengan perempuan itu. Jadi, dia pun memilih untuk mengambil botol tersebut. “Biar aku yang memberikannya. Silakan kamu bisa segera kembali ke tempatmu,” ketusnya membuat lawan bicara itu pergi dari tempatnya.
Dalam diam, Nada menatap pada botol minuman beralkohol yang ada di tangannya. Ia merasakan kejanggalan.
“Sejak kapan Om suka minum alkohol?” gumam Nada bingung, “apa pengaruh si Sindy itu, ya?”
Sadar tak akan mendapat jawaban, Nada pun memilih masuk ke ruangan kerja pamannya. Hanya saja, kedua bola matanya terbelalak kala mendapati Adrian sedang duduk di sofa ruang kerjanya dalam kondisi tidak yang cukup aneh!
“Om Adrian?” panggil Nada. Kini gadis itu sudah berada tepat di hadapan Adrian, mencoba memastikan kondisi sang paman.
Adrian mengangkat pandangannya, tatapannya begitu menjelaskan bahwa dirinya sedang dalam kondisi tidak sadar seratus persen. Namun, tiba-tiba Adrian langsung menarik tangan Nada, sampai gadis itu jatuh ke dalam pelukannya.
Nada seketika terkesiap. Ketika di detik berikutnya, tiba-tiba mulut Nada telah dibungkam ciuman sang paman angkat.Nada mencoba berontak, tapi tenaga Adrian jauh lebih kuat. Bahkan dalam waktu yang sangat cepat dan singkat, posisinya kini sudah berada tepat di bawah Adrian yang mengunci kedua tangan Nada tepat di atas sandaran sofa.
“Nada kamu cantik sekali bahkan di dalam mimpi,” racau Adrian ketika ciuman mereka terlepas, “kamu mau menggodaku, ya?”
“Om, tolong sadarlah. Ini bukan mimpi,” rintih Nada.
Namun, bukannya mendengarkan, Adrian malah terus menyerang Nada. Perlahan, pertahanan gadis itu pun runtuh. Ia menyerah di bawah kuasa Adrian. Nada pun ikut hanyut dalam permainan yang seharusnya tak pernah terjadi di antara mereka.
“Aku mencintaimu, Nada,” lirih Adrian tiba-tiba meluapkan perasaan yang selama ini dipendamnya, “terima kasih sudah datang di mimpiku.”
Namun, saat mereka hanyut dalam gairah mendebarkan, seseorang di luar ruangan sedang mengamati keduanya dengan sebuah kamera di tangan
BERSAMBUNG ….
Setelah permainan panas berakhir, Adrian tertidur begitu saja–meninggalkan Nada termenung. Beberapa saat, ia menangis. Bahkan, saat pergi dari ruang kerja Adrian, ia masih bercururan air mata. Dipanggilnya taxi dan megurung diri di kamar.Padahal, Nada sangat menyayangi dan menghormati Adrian. Saat sedang kesal atau kecewa, pamannya itu akan menjadi tempat pelarian Nada. Adrianlah yang terus menjaga dan menguatkan Nada selama ini.“Kenapa Om? Kenapa Om melakukan hal itu pada Nada?” lirihnya.***“Shit.” Adrian mengaduh, ketika kepalanya terasa sangat berat.Perlahan, dia memindai sekelilingnya.Pria berumur 33 tahun itu bangkit dari sofa. Ia memikirkan kenapa dirinya bisa terbangun di ruang kerjanya? Semalam, Adrian sedang mengobrol bersama Sindy sembari minum berdua karena sudah hampir tiga bulan tak bertemu. Hanya saja, tak ada yang dia ingat selepas wanita itu meminta izin untuk pulang karena mendapatkan panggilan dari manajernya.Adrian pun memutuskan pulang dan meraih ponseln
Sementara itu, Nada masih menangis di dalam kamar. Bayangan kejadian semalam bersama dengan pamannya terus berputar di benak gadis berusia 22 tahun itu. Nada merasa dirinya hina sekarang karena sudah melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan layaknya keluarga—walau faktanya Adrian hanyalah keluarga angkat.“Menjijikan!” ringis Nada yang memukul dirinya sendiri.Untungnya, psikiater yang menangani Nada datang. Meski awalnya memberontak, tetapi ia berhasil ditenangkan.Hari demi hari berlalu.Perlahan, gadis itu pun bisa memulihkan diri.Hanya dalam waktu satu bulan, ia sudah bisa kembali mengontrol emosinya. Namun, Nada masih enggan bercerita pada siapa pun tentang insiden itu.“Nenek, aku ingin melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucapnya mendadak di waktu makan malam mereka.Eva terkesiap mendengar ucapan dari cucunya itu, “Nenek tidak salah dengar, kan?” Dia mencoba mengkonfirmasi.Nada segera mengangguk.Wajar jika Neneknya berkata seperti itu. Karena sebelumnya Nada menolak den
Tubuh Nada bergetar hebat, tatkala sepasang mata cokelatnya mendapati sosok Adrian. Bayangan kejadian malam itu kembali memaksa berputar di benaknya.“Lupakan, Nada,” mohonnya pada diri sendiri.Tangan Nada kini sedang memukul kepalanya, berusaha menghentikan setiap momen mengerikan yang yang terjadi malam itu.Dua bulan ini Nada berpikir dalam keheningan. Dia paham betul, kalau pamannya saat itu sedang dalam kondisi mabuk. Apalagi melihat sikap pamannya sekarang, yang seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Nada sedikit yakin kalau pamannya itu memang menganggap kejadian itu hanya bunga tidurnya.Namun, tetap saja, hati Nada berdenyut ketika harus mengakui, bahwa faktanya sang pamanlah yang merenggut hal paling berharga dalam hidup Nada.“Nada.”Suara itu, suara laki-laki yang barusan memanggilnya, membuat jiwa Nada kembali terguncang. Dia langsung menutup kedua telinganya rapat-rapat.Sedangkan di luar, Adrian berdiam diri tepat di pintu kamar sang keponakannya.Mendengar per
“Mbak, boleh tolong pijat tengkuk leherku sebentar?” pinta Nada pada asisten rumah tangganya.“Boleh, Nada.”Dengan sigap Ratna menghampiri Nada dan segera memijit pelan tengkuknya. Kini mereka sudah sampai di Amerika dan sedang berada di apartemennya.“Mau Mbak belikan obat? Sepertinya kamu masuk angin, Nada.”Dengan cepat gadis itu menggeleng, “Tidak usah, Mbak. Dipijat sebentar sama dibalur dengan minyak hangat pasti sembuh,” jawabnya.Ratna mengangguk, walau dalam hati dia merasa sedikit ada yang aneh dari Nada.Sejak di pesawat Nada memang sering bolak-balik ke toilet. Ratna perhatikan gadis itu sepertinya sedang tidak merasa nyaman dengan perutnya. Namun, jauh dari sebelum itu, beberapa kali Ratna pernah mendengar kalau Nada sering sekali muntah di kamar mandinya.“Nad, kamu tidak melakukan hal aneh dengan Nicko, kan?”Tiba-tiba saja Ratna bertanya hal demikian. Instingnya sebagai perempuan begitu kuat.Nada menoleh sedikit ke arah belakang.“Hal aneh apa maksud, Mbak?”Dengan j
“Mbak, tolong jangan katakan apa pun, kalau Om Adrian bertanya tentangku,” pinta Nada yang terlihat sangat panik.Ratna baru saja mendapati panggilan dari anak angkat Eva. Dia pun segera mengangkat panggilan tersebut, sambil mata sembabnya terus memperhatikan Nada.“Halo, Mas,” sapa Ratna pada Adrian.“Mbak Ratna, apa benar Nada dan Mbak sedang di luar negeri?” tanya Adrian tanpa berbasa-basi.“Iya, Mas. Kenapa Mas Adrian bisa tahu?” Kini Ratna kembali melempar pertanyaan.Sedangkan Nada yang sedang berada di hadapan Ratna, menunjukkan ekspresi wajah yang harap-harap cemas.“Mama yang memberi tahuku. Kalau boleh tahu, Nada berkuliah di mana?” tanya pria itu lagi.Ratna tak segera menjawab, dia semakin menatap intens pada Nada. Seolah tahu dengan gestur dari Ratna, Nada pun menggeleng.“Maaf, Mas, tapi Nada meminta saya untuk tidak memberi tahu siapa pun. Sepertinya Nada tidak ingin diganggu, dia ingin fokus kuliah,” jawab Ratna beralibi.Entah Adrian akan percaya atau tidak dengan jaw
Hati cucu mana yang tidak khawatir, ketika mendengar berita kalau neneknya sakit sampai harus dirawat di ruang ICU? Nada merasa seperti dihantam dua kali oleh kenyataan. Kini tangannya benar-benar bergetar hebat. Perasaannya sudah tak karuhan. Antara merasa takut dengan masa lalunya, dan takut dengan keadaan neneknya. “Mama?” panggil Deven pelan. Anak itu merasa khawatir melihat wajah ibunya yang pucat pasi. Namun, Nada langsung menggeleng dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Seketika Deven langsung diam. “Ne-nek kenapa, Om?” tanya Nada tergagap. “Tadi dini hari, Nenek pingsan di kamarnya. Setelah dicek ternyata tensi darahnya tinggi. Sekarang beliau sedang di ICU, karena sudah dua jam belum tersadar,” terang Adrian dengan suara terdengar panik. “Apa sudah dicek oleh dokter?” Nada berusaha untuk setenang mungkin. “Sudah, tapi hasil lab belum keluar,” jawab Adrian. Badan Nada terasa panas dingin. Neneknya kini sudah berumur delapan puluh tahun. Pastilah sudah terjadi penurunan
Pertanyaan yang diajukan oleh Deven, sungguh di luar nalar. Bahkan Nada sampai mematung—hampir satu menit lamanya. “Deven,” panggil Nada sambil mengelus puncak kepala putranya, “bukannya Mama sudah bilang perihal itu? Papamu sudah di Surga, Nak,” terang Nada yang tentu saja mengucapkan sebuah kebohongan.Sakit sebenarnya, ketika dia harus berbohong pada anaknya sendiri. Namun, bagaimana lagi, Nada sudah bertekad untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ayah biologis Deven. Apalagi pada anaknya sendiri. “Iya, Ma, i know. Tapi bukannya Indonesia juga surga? Aku baca di internet, kalau Indonesia itu serpihan surga. Berarti Papaku ada di sana, kan?” Mata Nada sontak membulat. Lagi, Nada dibuat tak habis pikir dengan jawaban dari putranya itu. Sepertinya memang sedikit sia-sia Nada berbohong.“Konteksnya berbeda, Sayang. Sudah, bagaimana kalau kita makan malam saja? Tadi Mama lihat Tante Ratna sedang memasak pasta kesukaan Deven.”Mendadak raut wajah Deven berubah. Anak itu merasa tid
Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu. Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik. Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan. Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya. “Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan. Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya. Nicko pun segera membalikkan badan. “Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko. Tatapan gelisah kini terpancar di