Udara malam di luar jendela begitu sunyi, tapi di dalam apartemen, diam yang tercipta bukan kehampaan—melainkan denting perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Sejak pembicaraan mereka malam itu, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya karena kejujuran yang akhirnya mengalir, tapi juga karena jarak di antara mereka mulai runtuh, satu lapis demi satu.
Nadia berdiri di depan jendela, memandangi kelap-kelip lampu kota. Punggungnya terlihat tenang, namun napasnya tak sepenuhnya teratur. Ia bisa mendengar langkah Reza mendekat dari belakang—pelan, namun pasti. Udara seakan menghangat saat jarak di antara mereka memendek.“Boleh aku mendekat?” bisik Reza di belakangnya, suara rendahnya seperti desir angin malam yang menyusup ke kulit.Nadia tak menjawab dengan kata, tapi langkah kecilnya mundur satu tapak sudah cukup. Itu bukan penolakan.Reza menyentuh pundaknya dengan ragu. Kulit Nadia terasa hangat, lembut, dan hidup. Ia menyentuhnya dengan lembut, seolahGedung itu menjulang tinggi dengan kaca-kaca mengkilap yang memantulkan cahaya siang. Reza berdiri di depannya, mengatur napas. Tangannya sempat mengepal, lalu membuka lagi. Ini bukan sekadar pertemuan biasa—ini adalah pertemuan yang akan menentukan jalan hidupnya selanjutnya. Dan Nadia… adalah alasannya untuk tidak mundur.Langkah-langkahnya berat saat memasuki lobi. Petugas resepsionis sempat menatapnya penuh ragu, tapi akhirnya memberi akses ke lantai paling atas. Kantor Clarissa berdiri mewah, dengan lukisan kontemporer di dinding dan aroma parfum mahal yang menyengat.“Dia sudah menunggu, Pak Reza,” kata seorang asisten, menunduk.Reza hanya mengangguk, lalu melangkah menuju pintu kaca besar itu. Ia mendorongnya pelan. Di dalam, Clarissa sedang duduk di balik meja kerjanya, menatap jendela kota Jakarta yang ramai.“Aku kira kamu gak akan datang,” katanya, tanpa menoleh.Reza menutup pintu di belakangnya. “Kamu tahu kenapa aku di sini
Pagi datang perlahan, seperti enggan mengusik dua tubuh yang masih terbaring dalam pelukan. Sinar mentari menyusup dari sela tirai, menyentuh pipi Nadia yang masih terpejam. Napasnya teratur, tenang, seolah semalam menjadi oase yang menenangkan badai di dalam dadanya.Reza sudah terbangun lebih dulu. Ia memandangi wajah Nadia lama sekali, seperti ingin menghafal tiap lekuknya. Ada ketenangan dalam dirinya yang jarang ia rasakan. Tapi di balik itu, ada satu pertanyaan yang tak kunjung hilang: apakah keintiman semalam cukup untuk menyatukan luka-luka mereka?Perlahan, Nadia membuka mata. Tatapan mereka bertemu, lalu senyum kecil tersungging dari bibirnya.“Pagi,” gumamnya.“Pagi,” jawab Reza, menyapukan jemarinya ke pipi Nadia.Beberapa detik kemudian, keheningan menyusul. Tapi itu bukan keheningan canggung—lebih seperti ketenangan setelah badai. Mereka hanya ingin menikmati waktu yang terasa lebih lambat dari biasanya.“Aku nggak
Udara malam di luar jendela begitu sunyi, tapi di dalam apartemen, diam yang tercipta bukan kehampaan—melainkan denting perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Sejak pembicaraan mereka malam itu, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya karena kejujuran yang akhirnya mengalir, tapi juga karena jarak di antara mereka mulai runtuh, satu lapis demi satu.Nadia berdiri di depan jendela, memandangi kelap-kelip lampu kota. Punggungnya terlihat tenang, namun napasnya tak sepenuhnya teratur. Ia bisa mendengar langkah Reza mendekat dari belakang—pelan, namun pasti. Udara seakan menghangat saat jarak di antara mereka memendek.“Boleh aku mendekat?” bisik Reza di belakangnya, suara rendahnya seperti desir angin malam yang menyusup ke kulit.Nadia tak menjawab dengan kata, tapi langkah kecilnya mundur satu tapak sudah cukup. Itu bukan penolakan.Reza menyentuh pundaknya dengan ragu. Kulit Nadia terasa hangat, lembut, dan hidup. Ia menyentuhnya dengan lembut, seolah
Malam itu, udara apartemen terasa berat. Reza duduk di ruang tamu dengan lampu temaram menyala redup, sementara Nadia masih mengurung diri di kamar tidur. Tidak ada suara. Hanya detik jam yang menggema seperti palu kecil memukul-mukul pikirannya.Ia sudah mengetuk pintu berkali-kali. Ia sudah meminta maaf. Tapi Nadia belum siap bicara.Di dalam kamar, Nadia duduk di sisi ranjang. Matanya sembap. Bukan karena amarah, tapi karena kecewa. Reza tidak menceritakan pertemuannya dengan Rani terlebih dahulu. Itu yang menghancurkan rasa percayanya sedikit demi sedikit.Ia tidak ingin mengontrol hidup Reza. Tapi ia ingin dilibatkan, dipercaya, dihargai. Dan sore tadi, semua itu terasa hilang hanya dalam sekali tatap dari kejauhan.---Keesokan harinya, Nadia bangun lebih awal dan berangkat lebih cepat dari biasanya. Ia meninggalkan catatan di meja makan:> “Aku butuh waktu sendiri hari ini. Jangan tunggu aku.”Reza
Pagi itu mendung menggantung di atas kota. Langit kelabu seolah mewakili perasaan Reza yang sejak semalam terus didera keresahan. Ia duduk di studio kecilnya, menatap naskah yang belum ia sentuh sejak seminggu lalu. Jari-jarinya kaku di atas keyboard, pikirannya kacau.Di sisi lain, Nadia justru terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Naskahnya sudah masuk tahap akhir penyuntingan, dan promosi awal sudah mulai digerakkan oleh penerbit. Wajahnya mulai muncul di beberapa artikel media, bahkan foto-fotonya sempat viral di Twitter karena dinilai “kuat dan elegan”—dua kata yang justru terasa asing baginya beberapa bulan lalu.Namun keberhasilan itu seperti pisau bermata dua.Reza semakin merasa kecil.Saat Nadia sedang berada di luar untuk wawancara radio, ponsel Reza berdering. Sebuah nomor lama muncul di layar. Awalnya ia ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran dan dorongan tak sadar membuat jempolnya menekan tombol hijau.“Reza,” suara itu me
Sudah dua minggu sejak malam itu—malam ketika Nadia dan Reza memutuskan untuk memulai dari awal. Hari-hari mereka kini terasa lebih ringan, tapi tidak sepenuhnya tenang. Luka masih ada, namun kini tidak lagi menjadi jurang pemisah.Pagi itu, Nadia sedang menulis di ruang kerja kecil di apartemen mereka. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyusun cerita dari kepingan kenyataan yang selama ini ia simpan dalam hati. Naskah barunya bukan fiksi. Ini kisah tentang seorang perempuan yang hampir kehilangan dirinya karena cinta—dan bagaimana ia perlahan menemukannya kembali.“Ini jujur banget, Nad,” komentar Reza ketika membaca draft pertama. “Berani sekali kamu nulis ini.”“Aku harus jujur. Bahkan kalau orang menilainya sebagai kelemahan,” jawab Nadia pelan.Namun keputusan untuk jujur membawa gelombang baru. Setelah naskah itu dikirimkan ke penerbit, respon datang lebih cepat dari yang mereka duga. Seorang editor senior dari salah satu penerbit terna
Langit mendung menggantung rendah ketika Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, menggenggam secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Di hadapannya tergeletak laptop yang belum sempat dibuka, padahal ia datang dengan niat menulis kelanjutan dari kisah yang kini mulai menyebar luas. Namanya mulai diperbincangkan. Bukan sebagai editor atau penulis yang berbakat, tapi sebagai wanita dari masa lalu Reza—perempuan yang “diperebutkan,” “dimanfaatkan,” atau “dibutakan oleh cinta”, tergantung dari siapa yang bicara. Namun hari ini bukan tentang publik. Hari ini tentang satu pesan yang baru saja ia terima. > “Aku ingin bicara. Sendirian. Sore ini. – Rani” Nadia menutup matanya. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari selamanya. — Di tempat lain, Reza duduk di ruang kerjanya, memandangi naskah yang belum ia sentuh sejak kemarin. Wawancara itu telah
Desas-desus mulai beredar di dunia yang pernah mereka hindari—media sosial, forum komunitas sastra, bahkan lingkungan tempat kerja Nadia. Semuanya berawal dari satu unggahan anonim: tangkapan layar pesan suara, beberapa potongan email, dan kutipan dari blog pribadi Rani yang dipelintir menjadi narasi murahan.> “Penulis ternama itu menyimpan masa lalu kelam bersama mantan kekasih yang diduga hamil lalu ditinggalkan. Sekarang, ia kembali menjalin hubungan dengan perempuan yang dulu pernah ia campakkan.”Nama Reza tak disebut langsung. Tapi bagi siapa pun yang cukup mengenal sejarah mereka, pesan itu terang-benderang.Nadia menerima telepon dari kantornya pagi itu."Untuk sementara, kami minta kamu istirahat dulu dari proyek utama," kata atasannya dengan suara datar. "Ini bukan soal kamu secara pribadi, tapi kami nggak bisa menanggung citra negatif dari berita yang sedang beredar."Nadia menggigit bibir. "Padahal belum ada bukti k
Pagi itu, Nadia terbangun lebih dulu. Sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai kamarnya, tapi hatinya justru terasa berat. Ia menatap Reza yang masih terlelap di sebelahnya—tenang, nyaris polos. Tapi di balik ketenangan itu, Nadia tahu ada badai yang belum reda.Ia bangkit pelan, mencoba tidak membangunkan Reza, lalu menuju dapur dan mulai membuat kopi. Saat aroma pahit itu memenuhi udara, ponselnya berbunyi. Satu pesan baru masuk, tanpa nama pengirim.> "Kalau kau tahu apa yang pernah dia lakukan padaku, kau pasti tak akan mempercayainya lagi."Jantung Nadia berdetak lebih cepat. Ia menatap layar, menimbang apakah ini hanya ancaman kosong—atau sesuatu yang lebih gelap.Reza muncul di ambang pintu, matanya masih berat. "Kamu bangun pagi.""Ada yang harus aku pikirkan," jawab Nadia pelan, lalu menyodorkan ponselnya.Reza membaca pesan itu. Napasnya tertahan."Dia mulai menyerang kamu juga," katanya perlaha