Share

Part 20 Memihak Airin

"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku.

"Claire......"

"Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku.

"Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong.

Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara.

"Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali.

Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karna aku tidak konsumsi apapun dari malam,dan yang jelas sih adalah stressnya menghadapi keluarga Randi.

Mataku masih menatap sekitar seolah mengingat kembali apa yang salah dalam tubuh ini. Namun ingatanku pun enggan menghampiri hingga lupa begitu saja.

"Eh jangan dibuka Claire, nafasnya kan belum teratur..." Tangan Alexa menghalangiku untuk menyentuh tali oksigen yang masih melekat erat di hidungku.

"Arsy.... Thank you...." Ucapku pelan dari balik selang hidung ini.

Rasanya yang jelas teringat adalah bagaimana Arsy memapahkan tubuhku yang kecil ini sampai di dalam mobil ambulance dan ia terasa begitu dekat disampingku selama perjalanan.

"Udah udah, Claire istirahat dulu ya. Gak usah mikirin apa-apa, intinya kamu sembuh dulu aja..." Ucap Mba Asha menambahkan.

Dari sorotan matanya, sudah terbaca jelas Mba Asha tau apa yang terjadi karena nasibnya kurang lebih nasibku juga pada saat ia tinggal di rumah keluarga Airin.

"Cle, Randi nanyain kamu katanya telfon dia gak kamu angkat...."

"Terus?"

"Aku bilang kamu sekarang di rumah sakit dan aku yang nganterin kamu ke rumah sakit ini...."

Waduh jelas saja ini menambah pikiranku banget. Sudah pasti Randi panik dan buru-buru pulang, ia pun bahkan gak peduli ketika ia sampai dihadapanku. Bisa jadi ia langsung memelukku tanpa peduli sekitar.

"Permisi, Ibu Claire gimana kondisinya?" Tiba-tiba dokter dan perawatnya masuk untuk memeriksaku.

Aku hanya mengangguk pelan.

"Dok, ini boleh dilepas aja gak ya?" Aku memegang tali oksigen yang masih ada di hidungku.

"Nafasnya sudah teratur?"

"Heem. Saya gak kenapa-napa Dok..." Jawabku singkat.

"Oke gak apa-apa Bu. Lepas aja... Saya periksa dulu tensinya ya Bu..." Dokter langsung berada disampingku dan menggulung lenganku dengan balutan kain untuk melakukan periksa tekanan darah.

"Saya sakit apa sih Dok?" Sang punya tubuh seolah menolak sabar untuk menunda bertanya. Sebab baru kali ini aku pingsan seumur hidupku.

"Dari hasil screening kami, sepertinya ibu kelelahan dan stress ya. Mungkin bisa bed rest dulu beberapa hari ya Bu, nanti kami bantu buatkan surat izin sakitnya..." Ucap dokter dengan paras rupawannya. Ya mungkin ia sebaya juga denganku.

"Perlu pemeriksaan lanjut, Dok?"

"Boleh saja kalo ibu ngerasa butuh. Mungkin kita bisa lakukan check up. Mau kita agendakan, Bu?"

"Nanti saya pikir dulu dan saya konfirmasi dulu ke sua....." Aku tidak melanjutkan kalimatku sebab mataku secara mendadak tertuju pada Arsy yang sedari tadi ada di depan sana tengah memperhatikanku.

"Suami?" Tanya dokter memastikan kalimatku yang tidak selesai.

"E...enggak dok. Nanti aja saya hubungi lagi kalo jadi ya..." Tutupku. Lalu dokter pun pamit pergi.

****

"Catherine, gue harus pulang duluan...."

"Ada apa Pak? Kok buru-buru banget...." Catherine menyentuh tangan Randi.

"Saya ada keperluan mendadak." Randi risih dan melepaskan tangan Catherine darinya.

"Terus ini acaranya bagaimana Pak?" Lagi, ia lagi lagi berusaha untuk menatap tajam dengan sorotannya kepada Randi. Terlebih saat ini posisi mereka tengah berdua di dalam kamar Randi karena tadi Randi memintanya untuk ke kamar guna membahas kelanjutan acara tanpa dirinya.

"Ya kan proses persetujuan dan merger kerjasamanya sudah selesai. Kamu tinggal makan malam aja sama sekretarisnya Arsy, kan? Besok sudah bisa pulang ke Jakarta..." Jawab Randi sembari membawa kopernya.

"Pak, saya boleh ikut sekarang aja gak sama Bapak?" Ia berusaha merayu Randiku. Dengan cekatannya, Randi langsung keluar tanpa memperdulikan dia. Sebab Randi pun tau perempuan gila itu jelas akan berbuat nekat jika tidak sesuai keinginannya.

****

"Sayang, kamu sama Arsy?" Sapaan pertama yang ku dengar dari Randi di saat ku sakit.

"Iya, masih ada orangnya. Tapi ini aku sama tante Alexa dan Mba Asha juga. Kenapa Ran?" Dari kejauhan dan hanya melalui sambungan telepon, jelas terdengar backsound pemberitahuan bandara yang artinya ia telah sampai di bandara.

"Hasil pemeriksaan dokter, gimana sayang?"

"Aku baik-baik aja kok..."

"Gak ada dan gak mungkin baik-baik aja bisa sampe pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit." Bantahnya.

"Kalo dari dokter sih katanya aku kelelahan sama stress...." Kata terakhir cukup ku tekan agar ia tau betapa gilanya aku di rumahnya terlebih pada saat ia gak ada di rumah. Bahkan makin hari pun sekarang aku makin merasa kalo Randi berpihak kepada keluarganya. Ia tidak lagi membelaku di depan keluarganya justru selalu memintaku untuk sabar dan ikut kemauan keluarganya yang jelas-jelas gak masuk akal.

"Nah kan, apa sih memangnya yang kamu pikirin. Rasanya juga kerjaan kantor fasenya lagi gak terlalu padat." Jelasnya yang sama sekali gak menolongku justru membuatku kesal sejadi-jadinya.

"Ya sudah aku mau berangkat dulu. Sampe ketemu di Jakarta sayang....."

"Randiiiiii..........."

"Ran, itu suara siapa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status