Elwind berjuang keras menahan kerinduannya pada Anna yang bayangannya setiap malam selalu mengganggu kesendiriannya. Sebelum mengenal Anna, Eldwin tak pernah sedalam itu menyukai perempuan. Baginya kekasih hanya sebatas pasangan untuk menutupi statusnya yang sendiri. Agar teman-temannya tidak mencemooh dirinya.Sayangnya Eldwin salah memilih dengan memilih Erika yang cantik dan menarik. Menutup mata hatinya untuk menyadari bahwa Erika itu materialistis, yang pada akhirnya membuat hidupnya berantakan dan hancur.Sementara dia mengenal Anna sebagai perempuan mandiri yang terlihat tak pernah menggantungkan hidupnya pada siapa pun, apa lagi pada laki-laki. Dia mengenal Anna lama, namun selalu memandang sebelah mata. Hingga kejadian tiga tahun yang lalu di hotel dirinya mulai terusik saat melihat sosok Anna. Ada rasa prihatin, kasihan, dan desiran aneh di dalam hatinya kala itu. Juga amarah yang tak jelas penyebabnya.Benci dan juga rindu yang bersamaan, menjad
Sebenarnya Anna sudah ingin pulang usai membuatkan jus, tapi Bi Rum sedang pergi ke warung dan memintanya untuk tinggal sebentar, khawatir Eldwin kembali mencari dirinya. Anna bingung apa yang mesti dilakukan di rumah itu. Sebagai Anna, dia bisa melakukan apa pun karena sudah terbiasa. Namun menjadi Aisha harus bisa menjaga sikap di rumah orang asing yang baru dikenalnya apa lagi pemiliknya adalah calon atasannya. Anna berjalan berhenti di dekat tangga, menoleh ke atas, di mana Eldwin mungkin sedang berada di kamarnya. Ah ingin rasanya dia pergi ke kamarnya yang dulu pernah dia tempati. Ada banyak kenangan di sana yang masih terkenang dalam ingatannya. Tapi Aisha tidak boleh melakukan hal itu. Anna kemudian memutar tubuhnya menuju ke luar. “Aisha?” suara dari ujung atas tangga memanggil. Anna menghentikan langkahnya dan menoleh. Eldwin berjalan dengan gontai menuruni tangga. Memasukkan tangan kirinya ke saku celananya. Satu tangan kanannya menyisir rambutnya yang tebal sambil
Anna dan Bi Rum saling berpandangan.“Eldwin/Den Eldwin?” suara mereka bersamaan.Bi Rum panik. Dia beranjak lalu berjalan menuju jendela. Membuka sedikit gorden dan melihat keluar. Dia membeliakkan matanya, sambil menutup mulutnya seakan menahannya untuk mengeluarkan suara. Dia lantas kembali lagi menghampiri Anna yang masih duduk memasang cadarnya.“Benar Non, Den Eldwin di luar,” Bi Rum tegang.Anna beranjak usai memastikan wajahnya tertutup dengan rapi. “Sudah rapi?” tanya Anna.“Sudah Non.”“Sekarang Bibi duduk dengan tenang di sini jangan ke mana-mana sebelum aku kembali!” pesan Anna pada Bi Rum. Wanita itu mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.Anna berjalan menuju pintu. Menarik hendel pintu ke dalam, setelah itu melangkah menuju pada pemuda yang berdiri di halaman membelakanginya.Tubuh tegap, punggung kekar dan atletis itu tampak lebih jelas dipandang dari arah belakang. Memperlihatkan kedewasaan yang baru Anna sadari. Eldwin sudah dewasa dan bukan anak remaja
Aisha mengeratkan cengkeraman tangan kirinya pada tali tas, satu tangannya lagi di bawah, mengepal sangat erat. tatapan matanya semakin tajam memandang pemuda di hadapannya. Bagaimana Eldwin mengajukan syarat tanpa memikirkannya. Meskipun Anna melakukan semua itu sebagai penyamaran bukan berarti ia tak menghargai makna busana yang dikenakannya.Dengan meminta membuka cadar, Eldwin benar-benar tidak menghargainya, atau memang dia tak mengerti.Tubuh keduanya kini sudah saling berhadapan. Dua pasang mata saling beradu. Aisha berusaha menahan amarahnya. Sementara Eldwin menatap penuh tanda tanya. Menunggu jawaban perempuan di hadapannya.“Saya tidak bisa Pak Eldwin, lupakan saja soal menjadi manajer,” ungkap Aisha dengan tegas penuh rasa kecewa.Aisha mundur satu langkah kemudian memutar tubuhnya berlalu dari hadapan Eldwin. Pemuda itu berdiri mematung di tempatnya, tak percaya Aisha menolak syaratnya dan lebih memilih batal menjadi manajer. Sesulit itukah?
Aisha berhenti mendadak. Dia nyaris terjatuh jika pengendara motor itu tak segera meraih tangannya.“Kau tidak apa-apa?” Eldwin sembari membuka kaca helmnya.Aisha merasa lega ternyata pengendara motor itu adalah Eldwin. Refleks Aisha menarik tangannya dari genggaman tangan Eldwin.“Saya baik-baik saja, tapi saya merasa ada seseorang yang sedang mengikuti.” Aisha terlihat tegang dan ketakutan, tampak dari pancaran matanya. “Saya harus segera pulang,” lanjutnya. Aisha berjalan dengan tergesa pergi begitu saja.Tubuh Aisha telah menjauh, Eldwin memperhatikan sekeliling. Di balik sebuah pohon dia menyadari ada sosok yang tengah bersembunyi, hanya pakaiannya saja yang terlihat sedikit di sana. Eldwin mencurigai seseorang, namun dia mengabaikannya saat itu lalu pergi menyusul Aisha.Aisha telah sampai di pintu gerbang. Menoleh ke belakang hanya mendapati Eldwin juga baru tiba. Sepertinya Eldwin mengikuti dirinya, mungkin ingin menjaganya. Dan tanpa mengatakan apa
Eldwin buru-buru meninggalkan tempat itu untuk membukakan pintu. Setibanya di sana dia terdiam sejenak, memikirkan alasan dirinya meminta Aisha datang ke rumah.Saat itu sudah pukul tujuh malam, dia tidak seharusnya meminta seorang perempuan untuk datang ke rumah, di malam hari. Tapi sudah telanjur, Eldwin pun tetap harus menemuinya.Eldwin menarik gagang pintu, perlahan pintu terbuka. Eldwin terkejut karena yang berdiri di hadapannya saat ini bukanlah Aisha.Pria itu seketika menyerobot masuk dan mencengkeram krah piama Eldwin. Tatapannya dipenuhi kemarahan.“Di mana kau sembunyikan Anna? Bukankah sudah aku bilang aku dan Anna akan rujuk. Tapi gara-gara kedatanganmu semuanya jadi gagal. Kau memang breng*ek!” satu pukulan yang tak terduga mendarat di wajah Eldwin. Pemuda itu tak sempat menghindar terlalu kaget dan juga kejadian itu begitu cepat.Eldwin terjatuh di lantai, mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan cairan merah. Tatapannya tajam ke arah Raka y