Maria yang tengah membuat bubur untuk Marni sang mertua terkejut dengan kedatangan Fiko sambil menggandeng tangan seorang perempuan cantik. Tanpa rasa bersalah, Fiko memperkenalkan perempuan di sampingnya sebagai istri barunya kepada Maria. Maria hanya mematung shok tanpa bisa berucap apa-apa sampai perempuan itu mengulurkan tangannya untuk mengajak Maria berjabat tangan.
"Perkenalkan! Nama aku Sela Anastsya Arindi, istri keduanya Mas Fiko." Sela tersenyum manis kearah Maria. " Kamu pasti Maria, istri pertamanya Mas Fiko."
Maria tidak menanggapai perempuan yang mengaku bernama Sela itu membuat Fiko menggeram marah. "Maria! Mana sopan santunmu? Cepat terima uluran tangannya Sela!" Fiko meninggikan suaranya karena merasa Maria malah melamunkan sesuatu dan bukannya dengan cepat menyambut uluran tangan Sela. Fiko tau Maria shock, tapi tidak dengan mengabaikan Sela. Kalau Maria tau tujuannya menikahi Sela, Fiko yakin Maria akan berterima kasih pada dirinya dan Sela.
Maria tersentak karena mendengar nada tinggi yang diucapkan Fiko padanya. Pelan, sebuah air mata lolos dari sudut matanya. Selama ini sesalah apapun Maria pada Fiko, Fiko tidak pernah membentak atau meninggikan suaranya dalam menegur. Namun sekarang hanya demi wanita yang baru, Fiko tega membentaknya. Dia juga tidak menyangka Fiko akan menduakannya setelah 3 tahun pernikahan mereka. "Mas, ka-kamu menikah lagi?"
Hati Fiko tercubit ketika menyadari ada air mengalir dari mata Maria. Istri yang ia nikahi 3 tahin lalu itu kini meminta kejelasan dengan apa yang ia perbuat. Keinginannya untuk segera memiliki keturunan mendorongnya agar menikahi perempuan lain tanpa menceraikan Maria. "Maafkan Mas, Maria. Mas sangat ingin segera memiliki anak. Karena kamu belum bisa kasih itu ke Mas, terpaksa Mas menikahi Sela."
Hati Maria sakit mendengarnya. Maria memindai penampilan Sela yang terlihat berkelas, rambut hitam bergelombang, wajah cantik, kulit mulus, serta baju dan perhiasan lainnya melekat indah di tubuhnya. Sedangkan dirinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya berada didapur, mengurus rumah, serta mengurus mertua yang terduduk dikursi roda.
"Fiko, kamu sudah pulang nak." Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka dengan menggunakan kursi roda. Dia Marni, Ibunya Fiko yang terkena setruk hingga harus duduk dikursi roda.
Dengan cepat Fiko menghampirinya untu membantu mendorong sampai kehadapan semua orang. Kemudian dia mengangkat Marni dan mendudukannya dikursi makan. "Ya, Ibu. Aku membawa Sela untuk bertemu ibu dan Maria."
Seketika senyum cerah Marni terbit. Dia menatapa Sela dengan binar mata yang membuat hati Maria makin sakit karena tidak pernah melihat binar itu untuk dirinya. "Ya ampun, Mantu kesayangan ibu sudah datang. Cantik banget kamu, sayang."
"Terima kasih atas pujiannya, ibu." Sela tersenyum manis. "Gimana kabarnya ibu?" Tanya Sela dengan lembut, Sela membawa tangan Marni dan menggemgamnya di atas paha.
Marni makin melebarkan senyumannya. Dia balik menggemgam tangan Sela erat."Sangat baik setelah bertemu denganmu." Jawabnya lugas sambil melirikan matanya sedikit ke arah Maria, Marni tersenyum puas karena mendapati wajah Maria yang keruh.
Fiko ikut duduk dikursi sebelah Marni, dan ikut memegang tangan Sela dengan lembut. "Terima kasih Sela. Kamu sudah buat Ibu Mas bahagia. Padahal, kamu baru saja datang di rumah ini."
Sela mengibaskan tangannya yang tak digenggam Fiko dan Marni. "Itu bukan apa-apa. Ibunya Mas kan, ibunya aku juga. Kalau ibu bahagia, aku juga ikut bahagia."
Mereka tertawa bersama melupakan seseorang yang tengah menahan sakit karena tak dianggap ada. Maria melihat mata Marni yang memandang Sela lembut, padahal Sela baru datang hari ini. Namun, dia sudah bisa menarik perhatian Marni untuk menyukainya. Sedangkan dirinya yang sudah 3 tahun ini selalu merawatnya, mulai dari memberi makan, obat, memandikan, mengantar pup serta buang air kecil, tak pernah sekalipun di pandang selembut itu. Maria selalu terkena marah dengan alasan tak becus, inilah, itulah, dan berakhir mengadukannya pada Fiko.
Dalam diam, Maria meninggalkan mereka dan masuk kekamarnya. Dia terduduk diatas ranjang dengan pandangan kosong. Tak lama pintu terbuka menampilkan Fiko yang menatapnya rumit.
"Maria, sekarang kamu bereskan semua barangmu yang ada dikamar ini."
Maria menatap heran kearah Fiko. "Kenapa, Mas?"
Fiko membuang muka enggan melihat wajah Maria. "Mas dan Sela yang akan menempati kamar ini."
Mari berdiri menatap marah Fiko. Dia tidak menyangka Fiko tega mengusirnya hanya demi Sela. "Tega kamu mas! Aku ini juga istri kamu! Kalau tidak tidur disini, dimana aku tidur?"
Fiko menghela napas lelah. Dia berjalan mendekati Maria dan memegang kedua bahunya. "Mas minta maaf, Maria. Mas juga tidak tega, tapi Sela tidak mau tinggal disini kalau tidak menempati kamar ini. Tolong mengerti Mas, Maria!"
Mari menepis kedua tangan Fiko yang bertengger dibahunya. "Aku tidak mau mengerti Mas. Kalau dia tidak mau tinggal disini, biarkan saja dia pergi. Lagian, tidak ada dalam sunnah Nabi, wanita yang di madu tinggal serumah dengan madunya.
"Tapi, Mas hanya punya rumah satu? Kalau tidak di sini, kemana lagi?" Fiko mencoba memberi pengertian.
"Makanya jangan sok-sok an ingin beristri dua!" Maria menjawab ketus.
Fiko menatap Maria tak suka. Dia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut istri yang sangat dia cintai itu, terlebih dia tau Maria adalah gadis sopan santun yang tak pernah dengan sengaja menyakiti hati orang lain. "Mas gak nyangka kamu bisa bicara seperti itu, Maria!"
"Dan aku juga tidak menyangka Mas tega mengusirku dari kamar ini demi istri barumu!"
Fiko mengusap wajah kasar. Dia juga tidak tega harus memperlakukan Maria seperti ini, namun dia juga bingung kalau tidak dikamar ini dimana Sela bisa tidur. "Kamu tidur bareng Ibu." Putusnya tanpa mengerti perasaan Maria.
Sekali lagi air mata Maria menitik, buru-buru dia mengusapnya kasar, "Ibu tidak pernah menerimaku dengan baik, bagaimana bisa aku tidur sekamar dengannya?"
"Itu karena kamu tidak pernah memperlakukan Ibu dengan baik, makanya Ibu begitu. Coba saja kalau kamu bisa sedikit lebih pengertian ke Ibu, ku yakin, Ibu pasti menyukaimu." Jawab Fiko enteng.
"Kurang pengertian apa aku, mas. Setiap hari yang merawat dan memperhatikan Ibu itu aku. Lalu apalagi yang kurang?" Maria menyorot Fiko terluka. Memang Fiko sering memarahinya karena Marni selalu mengadu yang tidak-tidak pada Fiko tentang Maria. Namun, dia selalu mencoba bersabar demi mempertahankan rumah tangganya. "Kenapa kamu tidak menyuruh Sela saja yang tidur dengan Ibu, Ibu menyukai Sela."
Fiko menghembuskan napas frustasi. "Sela itu baru dirumah ini, tentu dia harus beradaptasi dulu. Setidaknya beri dia waktu satu bulan. Setelah itu, kamu boleh kembali menempati kamar ini."
Tanpa persetujuan Maria, Fiko mengeluarkan semua barang Maria dan memindahkannya kekamar Marni. Maria hanya berdiri tanpa berbuat apa-apa. Matanya memang tidak menangis, namun hatinya sakit luar biasa. Dia sudah diperlakukan seperti pembantu dirumah ini, namun hanya ketidak adilan yang dia dapat.
Maria berjalan dengan menyeret langkahnya yang berat menuju kamar sang mertua. Begitu pintu terbuka, sebuah bantal melayang tepat mengenai mukanya. "Tidur dilantai kamu, saya tidak sudi seranjang denganmu."
Marni tersenyum puas melihat Maria berdiri dengan tatapn kosong diambang pintu. Tanpa banyak bicara, dia merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk dan berselimut tebal.
Maria tidur dilantai tanpa alas apapun kecuali bantal untuk menyangga kepala yang tadi dilempar Marni. Malam semakin larut. Semua penghuni rumah sudah tertidur pulas kecuali Maria yang sedang menahan dinginnya lantai. Sesekali dia menggosok tangannya untuk menghalau dingin. Namun percuma, ternyata dingin itu tak kunjung hilang.
***
Maria tersentak ketika mendapati air dingin menyiram kewajahnya. Dia mendongak mendapati Marni yang tersenyum culas memandangnya jijik. Seolah belum puas, Marni kembali melempari Maria dengan gayung yang tadi dia pakai untuk menampung air."Dasar pemalas. Cepat bangun dan siapakan sarapan!" Marni melewati Maria begitu saja. Dengan sengaja Marni tidak menjauhkan roda kursinya yang ada di depan jari tangan Maria sehingga dengan naas menggilasnya.Maria menjerit sakit ketika tangannya tergilas roda. Marni hanya melihatnya sekilas lalu melanjutkan niatnya untuk keluar.Maria mengusap jari tangannya pelan. Ingin marah, tapi dia cukup sadar dengan keberadaan di rumah ini saja orang-orang sudah tak menginginkannya.Dia melihat jam di nakas dan baru menunjukan pukul 04. Pagi. Dia bergegas kekamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai menunaikan ibadah shalat, dia pergi kedapur untuk memasak. Namun, waktu melewati kamarnya yang dulu dia dan Fiko t
"Sebaiknya mulai sekarang kamu harus tau diri!" Sela menyeringai. "Sebelum Fiko membuangmu dengan hina, lebih baik kamu pergi dengan terhormat."Maria menatap datar Sela. "Sepertinya kamu begitu ingin saya pergi?" Maria tidak tau letak salahnya di mana sehingga Sela bisa begitu tidak menyukainya. Harusnya, di sini yang merasakan ketidak sukaan adalah dirinya karena sela telah masuk ke dalam pernikahannya. Walaupun agama memperbolehkannya, tapi itu juga harus sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Dan letak poligami yang Fiko lakukan tentu tidak dapat di benarkan."Tentu!" Sela menyilangkan tangannya di dada dan memandang Maria rendah. "Orang sepertimu hanya bagaikan batu kerikil yang ingin dipungut untuk dijadikan berlian. Harusnya kamu sadar, sekali kerikil tetap kerikil. walau digosok sedemikian rupa pun, nilai jualnya akan tetap sama rendah. Sama sepertimu yang rendahan.""Bicaramu seolah kamu berlian saja. Saya kerikil, na
Di ruang tamu semua orang sudah berkumpul. Ada Marni, Fiko, dan Sela. Maria melirik Marni sekilas yang duduk di kursi roda sebelum berjalan santai sampai berhadapan dengan Fiko."Kamu tau kan di rumah tidak ada makanan. Semua orang kelaparan. Kenapa kamu malah keluar?" Fiko berucap lembut. Bagaimana pun, ini bulan kesalahan penuh Maria. Sela juga istrinya, jadi yang memasak bukan kewajiban Maria seorang.Maria melirik Sela dan menyeringai samar sampai tidak ada yang menyadarinya kecuali Sela. "Tadi pagi aku udah mau masak. Tapi, pas aku buka kulkas, di sana tidak ada bahan apapun yang bisa di masak.""Kenapa gak belanja?" Fiko masih berbicara dengan nada lembut. Fiko tidak ingin mengulangi kesalahannya waktu itu yang sempat membentak Maria.Maria menampilkan wajah tak berdosanya. "Yang pegang uang gajian Mas, kan Sela. Aku kira Sela yang belanja semua kebutuhan rumah. Jadi, mana tau kalau ternyata Sela tidak bisa membagi waktu walau hanya untu
Gimana rasanya?" Sela bertanya dengan mimik wajah bahagia. Rasanya Sela ingin tertawa keras saat menyaksikan Fiko menghukum Maria. Dia puas, benar-benar puas.Maria mendongak ke arah Sela yang berdiri sambil menyender di tiang pintu. "Kamu kan, yang melakukannya?""Apa?" Sela pura-pura tidak mengerti."Kamu yang menambah garam pada sayurnya kan, Sela!" Maria menunjuk Sela penuh perhitungan.Sela tertawa puas sampai sudut matanya mengeluarkan air mata. "Ya ampun, aku kira kamu bodoh sampai tidak mengetahui kalau aku yang sabotase sayur itu. Ternyata kamu cukup cerdik juag."Setelah puas mentertawakan kemalangan Maria, Sela melenggang pergi dengan langkah ringan. Sedangkan Maria hanya bisa mengepalkan tangannya kuat sambil terus mengucap istigfar dalam hati.Maria turun dari bak mandi dalam keadaan tubuh bergetar kedinginan sampai jari-jarinya mengkeriput. Setelah membilas t
Selama Maria sakit, Maria tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Membereskan rumah, memasak, berbelanja ke pasar, dan aktivitas lainnya seperti dalam keadaan sehat.Maria bukan memaksakan diri. Setiap Maria ingin merebahkan tubuhnya untuk istirahat, Marni selalu menyuruhnya ini itu walaupun Marni bisa menyuruh Sela yang ada di sampingnya.Dan kali ini pun sama. Ketika Maria baru duduk di kursi makan untuk meredakan rasa sakit yang mendera kepalanya, Marni datang menyuruhnya membuat jus belimbing. Jus yang sering Marni minum dengan rutin agar darah tingginya berkurang.Maria membuka kulkas dan mengambil belimbing yang selalu tersedia di tempat penyimpanan. Memotong-motongnya jadi bagian agak kecil lalu memblendernya. Setelah selesai, Maria mengantarkannya pada Marni yang tengah bercanda dengan Sela."Ini bu, jusnya." Maria meletakan jus itu di atas meja dekat Marni. Maria yang melihat Marni begitu lepas saat berbicara dan bercanda ria dengan S
Sudah seminggu lewat setelah insiden di mana Maria jatuh pingsan. Kini kondisinya sudah jauh lebih membaik. Hanya lemas dan sesekali batuk saja yang masih terasa. Selepas shalat subuh, Maria bergegas membereskan rumah sampai pagi menjelang. Karena bahan makanan di kulkas habis, Maria memutuskan untuk belanja sayuran dan bahan lainnya ke pasar. Setelah siap dengan bawannya, Maria keluar rumah.Sesampainya di sisi jalan, Maria tidak menemukan angkot yang bisanya nagkring di sini. Maria menghela napas pasrah karena terpaksa harus berjalan kaki untuk ke pasar.Di tengah perjalanan ketika Maria hendak menyebrang, seorang pengendara motor melaju kencang dan tak sadar ada orang yang lewat. Maria yang saat ini melihat sepeda motor melaju kearahnya hanya bisa terpaku di tempat karena shock. Ketika motor itu hampir menabraknya, seseorang dari arah belakang memegang tangannya lalu menarik hingga mereka terguling bersama.Pengendara m
Maria sontak tersenyum lebar begitu melihat Fiko tengah menungguinya. Dengan terburu, Maria menghampiri Fiko yang tengah duduk di atas jok motornya. "Mas, udah lama di sini?" Maria bertanya penasaran. Pasalnya Maria tidak mendengar suara motor berhenti, tau-tau suaminya itu sudah menungguinya.Fiko tidak menjawab, namun matanya menyorot lurus ke arah laki-laki yang sedang menyenderkan tubuhnya di tiang rambu lalau lintas dengan tenangnya.Maria yang pertanyaannya tidak digubris sang suami, ikut menolehkan kepalanya mengikuti arah tatapan Fiko. Maria kini tau, objek tatapan Fiko adalah Arkan. "Mas, ini Arkan."Fiko mengalihkan atensinya pada Maria. Dia sedikit tidak senang ketika Maria menyebut nama laki-laki lain selain dirinya dengan nada riang begitu. Fiko cemburu, dan dia tidak suka rasa itu.Maria mencebik ketika mendapati wajah suram suaminya. "Gak usah curiga gitu, Arkan.."Fiko langsung menyimpan jari telunjuknya di depan b
Begitu Fiko memberhentikan motornya di depan rumah. Maria langsung turun dan berlari masuk tanpa menunggu Fiko. Fiko yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas lelah. Kenapa Maria tidak mengerti juga? Fiko melakukan semua ini untuknya juga. Fiko tau Maria juga sudah menginginkan anak. Harusnya Maria mengerti, dengan adanya Sela hamil berarti dia ikut dipanggil Ibu juga.Selama ini memang dia dan Maria tak pernah memeriksakan kondisi kesehatannya karena Fiko yakin dirinya tidak mengalami kesusahan dalam kesuburannya. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehnya adalah Maria. Fiko jelas tau di keluarganya tidak ada yang mandul, sedangkan Maria yang asal usulnya tidak jelas sudah cukup menjadi bukti kalau kemungkinan besar di keluarganya ada yang mandul. Kadi, untuk apa mereka memeriksakan kesuburannya kalau Fiko jelas sudah tau yang mandul di sini adalah Maria. Sadar tidak sadar, perlakuan Fiko selama ini semata karena ketidak puasannya terhadap Maria.Fiko membuk