Rheanne Austin mendapatkan pekerjaan barunya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar. Dia memiliki seorang Boss yang sangat dingin dan sombong. Seiring waktu Rheanne bekerja di sana, dia mulai merasakan keanehan pada Bossnya. Sampai suatu hari, Justin–sang atasannya, meminta Rheanne datang ke mansion untuk meminta berkas kerja yang harus Justin tandatangani. Rheanne shock saat memergoki Justin yang membunuh seseorang. Tanpa pikir panjang Rheanne mengundurkan diri dari perusahaan. Rheanne pikir setelah dirinya berhenti bekerja, dia bisa menghindari Justin, tapi ternyata salah. Justru dari sana lah awal baru dimulai. Rheanne dan Justin dipertemukan kembali oleh takdir hingga membawa mereka ke dalam hubungan pernikahan. Mereka hidup menjadi pasangan yang saling mencintai. Namun di balik kisah cinta mereka yang manis, ada banyak hal terjadi yang mengancam ketenangan hidup mereka.
Lihat lebih banyak"Stop!" pekiknya kencang. "Okey, thank you."
Setelah memberikan lembaran kertas nominal pada supir taksi, gadis itu segera melangkah pergi. Dengan langkah yang gontai, gadis berambut panjang itu terus melirik pada jam yang melingkar di tangannya. "Oh My God! Aku harap aku tidak terlambat." Dia-Rheanne Austin atau yang sering disapa-Anne, terus berjalan dengan gontai tanpa memperhatikan jalan yang ia lalui. Ini adalah hari pertama Rheanne bekerja dan sialnya dia malah terlambat. Salahkan jam alarmnya yang tidak ia setting terlebih dahulu. Rheanne mendongakkan kepalanya melihat tulisan besar 'J company' yang tertera dengan jelas di atas gedung tinggi di hadapannya. Sejenak, Rheanne menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, kembali melangkah dengan langkah cepat dan terburu-buru. Di tengah jalannya, Rheanne kembali merapikan pakaian serta tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Karena terlalu sibuk dengan dirinya, membuat Rheanne melupakan langkah kakinya. Brukh Rheanne dibuat terkejut saat dengan tidak sengaja tubuhnya menabrak sesuatu yang keras. Tubuhnya terdorong ke belakang jika tidak cekatan mungkin detik ini juga tubuhnya sudah tergeletak tidak etis di atas tanah pijakan. "Sh*t!" umpat Rheanne tanpa sadar. Kedua matanya menutup dengan kesal. Orang di hadapannya sedikit terkejut saat mendengar umpatan dari bibir wanita di depannya itu. Ekor matanya melirik dengan sinis pada seorang pria yang barusan bertubrukan dengannya. Terlihat, jas dari pria itu terkena noda kopi yang dibawanya, tapi Rheanne tidak peduli. Dia sudah kelewat kesal karena pria di hadapannya ini sudah hampir membuatnya terjatuh ke tanah. "Watch your way, sir! Can't you see it?!" seru Rheanne dengan sinis. Sontak si pria pun menolehkan kepalanya pada Rheanne, menatap pada wanita itu dengan satu alisnya yang terangkat. Rheanne mendengus kesal kemudian merapikan kembali rambut panjangnya dengan sedikit kasar. Setelah itu, melengos pergi dengan gerutuan dalam hatinya. Bahkan dengan terang-terangan kedua matanya menatap sinis pada pria ber-jas yang barusan menabraknya. Si pria hanya menatap dengan kerutan jelas di keningnya. Melihat kepergian wanita itu, si pria pun membuka suaranya. "Siapa wanita itu?" tanyanya, menatap punggung Rheanne yang sudah berlalu pergi. Pria disampingnya lantas menoleh. "Sepertinya dia pegawai baru." Lantas pria itu pun mengangguk pelan. "Sir, jasmu kotor. Ingin aku ganti dengan yang baru?" tanya Felix, salah satu anak buahnya. Pria itu merunduk sedikit untuk melihat jasnya yang kotor, lalu menggeleng pelan. "Tidak perlu," balasnya singkat. Felix mengangguk. "Baiklah. Ayo, Sir." ** "Permisi," sapa Rheanne pada seorang wanita yang berjaga di kursi resepsionis. Wanita itu pun lantas berdiri dan tersenyum ramah pada Rheanne. "Iya, ada yang bisa saya bantu?" Rheanne mengangguk samar. "Bisa kau tunjukkan ruangan Bos? Aku pegawai baru di sini." "Ah, kau sekretaris barunya Mr. Melvi, ya?" tebak wanita dengan rambut sebahu itu. "Iya," angguk Rheanne. "Jadi, bisa kau tunjukkan?" "Oh, tentu. Mari, aku akan mengantarmu." Gadis itu pun berjalan dari mejanya dan menghampiri Rheanne. "Terima kasih, em.. nona... Alissa," ucap Rheanne mengeja name tag yang wanita itu kenakan di sebelah kiri bajunya. Gadis itu tersenyum lebar. "Panggil aku Ally saja." "Ah, ya. Ally. Perkenalkan juga, aku Rheanne, kau bisa memanggilku Anne," seru Rheanne memperkenalkan diri. Alissa tersenyum mengangguk lalu segera mengajak Rheanne untuk menuju ke ruangan yang tadi gadis itu tanyakan. Namun sebelum mereka melangkah suara gaduh dari pintu masuk kantor membuat mereka mengalihkan perhatian. Terlihat para karyawan dan semua staff kantor berbaris rapih di samping pintu masuk. Hal itu membuat Rheanne menukikkan alisnya dengan heran dan bingung. Sedangkan Alissa memasang wajah terkejutnya sebelum kemudian bergabung bersama yang lainnya dengan menarik tangan Rheanne untuk ikut bergabung. Rheanne hanya menurut namun kepalanya penuh dengan tanya. Seketika raut wajah bingungnya berubah menjadi terkejut, sangat terkejut, ketika melihat di pintu masuk terlihat seorang laki-laki dengan setelan formalnya berjalan masuk disertai wajah yang datar. Langkah kakinya menggema melewati para karyawan dan staff yang membungkuk hormat padanya. Iya, benar sekali. Pria itu orang yang sama yang barusan berpapasan dengannya. Namun, yang jadi pertanyaan, kenapa pria itu bisa masuk seenaknya ke sini? Terlebih semua karyawan di perusahaan ini memberikan penghormatan untuknya seolah pria itu adalah sosok yang agung. Karena rasa penasaran yang terlalu tinggi, Rheanne menoleh pada Lisa dan bertanya dengan nada bisikan. "Dia siapa?" Alissa menoleh dengan menukik bingung. "Kau tidak tahu?" Rheanne jelas menggeleng karena dia memang tidak tahu. Terdengar Alissa mendesah pelan. "Beliau Mr. Melvi. Pemilik perusahaan ini." Ucapan Alissa hampir saja membuat Rheanne tersedak. Sontak kedua matanya melotot begitu lebar. "M-mksudmu dia B-bos kita?" Alissa mengangguk. "Iya." Saat itu juga Rheanne rasanya ingin menghilang. Rheanne tidak tahu jika pria yang ia marahi di depan gedung tadi adalah bosnya sendiri. Rheanne menggigiti kukunya gelisah. Dia semakin gugup dan was-was apalagi ketika pria itu melangkah semakin dekat ke arahnya. "Kenapa?" tanya Alissa yang merasa aneh melihat gelagat Rheanne. "Ally ..." Rheanne menoleh pada Alissa dengan gusar. "Kau tahu, pria itu ... Pria yang aku marahi di depan gedung tadi." Tentu saja respon yang diberikan Alissa adalah wajah terkejutnya. "Apa?! Kau memarahi Bosmu sendiri?! Kau cari mati ya!" Rheanne menggeleng lemah. "Aku sungguh tidak tahu." "Astaga, Rheanne ..." Alissa menghela napasnya. Tidak habis pikir dengan gadis ini. Baru saja pertama bekerja sudah mencari masalah. Rheanne menelan ludahnya gugup tatkala sosok yang sejak tadi ingin ia hindari sudah berdiri tepat di depan mereka. alissa yang menyadari itu lantas membungkuk hormat kepada pria itu. "Good morning, Sir," sapa Alissa. Pria itu mengabaikan sapaan Alissa dan melirik Rheanne yang berada di samping. Rheanne yang sadar lantas ikut menunduk sopan. Jemarinya saling bertautan menahan gugup. Apalagi pria itu sejak tadi terus menatap ke arah Rheanne. "Datangkan sekretaris baruku. Aku ingin melihat seperti apa dia," gumam pria itu pelan. Alissa melirik singkat ke arah Rheanne sebelum kemudian mengangguk singkat. "Baik, Sir." Tanpa sepatah kata lagi, pria itu melenggang pergi meninggalkan rasa lega untuk semua staff dan karyawan di sana. Saat benar-benar pria itu pergi, mereka membubarkan diri dan kembali bekerja. Berbeda dengan Rheanne yang justru malah semakin gelisah. "Mati aku," gumam Rheanne berdecak. *** Rheanne memasuki ruangan itu dengan perasaan yang gugup. Kakinya bahkan terasa berat dan lemas hanya untuk melangkah masuk ke dalam. Setelah berada di dalam, Rheanne semakin merasakan aura tidak enak. Tubuhnya tiba-tiba merasa merinding. Apalagi ruangan ini terlihat minim dari pencahayaan. "Good morning, Sir." Suara Rheanne terdengar gugup sekali. Justin yang tengah fokus menatap layar laptopnya perlahan mendongak menatap Rheanne yang berdiri sedikit berjarak di depannya. Pria itu menyandarkan punggungnya dan memperhatikan Rheanne dalam diam. "Jadi, kau sekretaris baruku?" tanya Justin kemudian. Rheanne berdehem sejenak. Bahkan suaranya saja sudah membuat Rheanne bertambah gugup. "I-iya." Justin mengangguk singkat. "Perkenalkan dirimu." Meski kaku, tapi Rheanne tetap menganggukkan kepalanya. Dia menarik napas terlebih dahulu sebelum berucap. "Namaku—" "Oke cukup." Justin menyela tiba-tiba. "Kau terlalu bertele-tele." Rheanne kembali mengatupkan bibirnya begitu mendengar suara Justin. Di bawah sana tangannya meremas roknya kuat-kuat. Rheanne menahan rasa kesal dalam hatinya pada calon Bossnya. Rheanne tidak tahu jika pria ini ternyata menyebalkan juga. "Aku sudah melihat rekap data pribadimu. Kau cukup kompeten. Aku harap kau bisa bekerja dengan baik di sini," seru Justin. Rheanne tidak tahu apakah itu semacam pujian atau ejekan karena ekspresi wajah Justin seperti tidak yakin dengan dirinya. "Thank you, Sir." Rheanne mencoba tersenyum ramah pada Justin, tapi pria itu malah memalingkan wajahnya dan kembali fokus ke laptop. Rheanne masih berdiri canggung di depan Justin. Dia mengingat tentang kejadian tadi pagi. Setelah meyakinkan dan memberanikan diri, Rheanne memutuskan untuk meminta maaf pada Justin. "Sir ..." Justin bergumam tanpa peduli untuk menatap Rheanne. Sedangkan gadis itu bingung harus mengatakan apa kepada Justin. "Em ... Soal tadi pagi, aku ..." Ucapan Rheanne menggantung di udara saat Justin menoleh padanya. Wajahnya tetap sama— datar dan dingin. Seperti tidak ada ekspresi lain yang Justin miliki. "Kau boleh pergi," usir Justin menunjuk pintu keluar. Rheanne ingin menyela Justin, tapi melihat raut wajah Justin yang seperti itu membuatnya urung. Pada akhirnya Rheanne memilih pergi dari ruangan Justin. "Aku permisi, Sir." Justin hanya mengangguk. Dia memperhatikan sekretaris barunya hingga hilang di balik pintu. Seusai kepergian Rheanne, Justin mendengus geli seraya menyeringai kecil. ...Seorang pria baru saja menutup pintu kamar dengan helaan napas panjang. Kakinya melangkah pergi melewati lorong panjang ini dengan senyuman yang mengembang. Dia bersiul penuh riang seraya merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan. Suasana yang hening berubah berisik saat langkahnya menginjak lantai bawah. Suara musik disko yang menggema dengan aroma alkohol yang menyengat adalah hal pertama yang ia tangkap. Namun begitu, pria itu yang tak lain adalah Veer begitu senang dan menikmatinya. Kemudian netra tajam dari matanya menangkap sosok anak buahnya yang justru tengah bermesraan dengan wanita asing di sana. “Bos,” cicitnya pelan ketika melihat sosok pria itu berdiri menjulang dengan wajah datar. “Aku menyuruhmu ke sini bukan berarti kau bermesraan dengan jalang ini!” serunya kasar.Pria itu menunduk dalam dan segera mendorong kasar wanita yang berada di pangkuannya. “Maaf Bos.”Veer mendengus kasar. Dengan berkacak pinggang dia menatap datar anak buahnya. “Siapkan mobil!” titah
Setelah penyerangan yang terjadi semalam, Justin semakin memperketat penjagaan dengan menambah lagi beberapa soldier. Semua itu ia lakukan untuk antisipasi dari serangan yang mungkin terjadi lagi. Rheanne melirik beberapa mobil hitam yang mengikuti mobilnya dan Justin. Rasanya terlihat sangat berlebihan, tapi juga ini dilakukan untuk keamanan mereka. Terlebih penyerangan yang terjadi di hotel semalam membuat Rheannemengamalami sedikit trauma. Ya, bagaimana tidak trauma? Tiba-tiba saja sebuah peluru asing menyasar ke kamar hotel mereka. Hingga tak berselang lama mobil mereka tiba di bandara. Tampak sebuah jet pribadi sudah terparkir apik di bandara yang luas itu. Walaupun Rheanne sudah pernah merasakannya, tapi tetap saja dia masih terkagum dengan bagaimana mewahnya pesawat ini. Sedikit kening Rheanne mengernyit saat cairan berwarna merah itu masuk dan mengalir melewati kerongkongannya. Rheanne menatap minuman itu di tangannya kemudian menyimpan lagi di atas meja kecil di depan
Sejak awal pesta bahkan di penghujung pesta sekalipun, Rheanne masih bersikap ketus pada Justin. Selama di mobil pun setiap Justin mengajak bicara hanya dibalas kebungkaman oleh Rheanne.Astaga! Wanita dengan segala sifat rumitnya."Rheanne ..." panggil Justin seraya menggapai tangan Rheanne dan hendak untuk menciumnya, namun segera Rheanne tepis dengan delikan sinis yang ia berikan. "Don't touch me!" seru Rheanne melipat kedua tangannya dan berpaling ke arah jendela. Justin mendengus kasar. Pria itu tampak sudah mulai geram sekaligus kesal dengan sikap kekanakan dari wanita itu. Walau begitu Justin sebisa mungkin menahan kesabarannya. Sungguh, Justin lebih memilih menghadapi ribuan musuh dari pada harus menghadapi satu wanita dengan sikap rumitnya. Netra Rheanne terus bergulir dan memperhatikan seluruh hotel ini dengan sedikit termenung. Jadi, bangunan besar ini adalah hotel milik Justin? Rheanne tidak tau harus berkata apalagi saat satu-persatu aset-aset milik Justin mulai terun
Rheanne memandang dirinya di depan cermin. Mendengus kesal saat melihat begitu banyak bercak merah di sekitaran leher dan area dadanya. Ulah siapa lagi jika bukan Justin. Sejak lima belas menit yang lalu mereka baru menyelesaikan mandi mereka dan sejak itu Rheanne terus saja mendumel serta menggerutu pada Justin. Kedua tangan Rheanne perlahan mulai memasangkan sebuah syal rajut berwarna coklat pada lehernya. Hal itu tentu saja untuk menutupi hasil dari perbuatan Justin. Akan malu rasanya jika semua orang melihatnya. Ekor mata Rheanne melirik Justin melalui cermin. Lihat, wajah tidak berdosanya itu membuat Rheanne semakin jengkel. Dengan santai Justin memasang dasi dan bertelepon dengan seseorang. “Cantik,” puji Justin berjalan menghampiri Rheanne setelah selesai dengan teleponnya. Justin tersenyum samar lalu mencuri ciuman di bibir pink Rheanne. Menyesap dan sedikit menekannya. Ciuman itu semakin dalam dan hanyut sebelum Rheanne memberikan pukulan pada bahu keras milik Justin. Men
Nick berjalan dengan bersenandung kecil. Dia menghirup jarinya yang masih tercium aroma tubuh Rheanne di sana. “Hah … Harum sekali,” gumam Nick. Tiba-tiba pikiran liarnya keluar saat menghirup wangi wanita itu. Nick berjalan keluar dari mansion besar milik Justin. Hingga saat Nick hendak menggapai pintu mobil tiba-tiba dia merasakan pandangannya menggelap. Sesuatu menutup kepalanya hingga membuat Nick sesak napas. **“Lepaskan aku! Siapa kalian?!” teriak Nick memberontak. Apalagi saat dua orang itu menyeret dan membawa dirinya entah ke mana. Nick menghirup oksigen sebanyak-banyaknya saat kain yang menutupi wajahnya dibuka. Dia mengedarkan pandangan di tempat asing ini. Nick tidak tahu sekarang dia ada di mana. Terlebih tempat ini begitu aneh. Tidak ada pencahayaan di sini. Hingga netra Nick menangkap seseorang yang duduk membelakangi dengan kepulan asap dari bibirnya. “SHIT! Siapa kalian dan apa urusannya denganku?!” seru Nick marah. Nick melihat seseorang itu membuang batang r
Rheanne masih bergeming mendengar pengakuan dari Justin. Otaknya masih mencerna setiap kata yang Justin lontarkan. Rheanne menatap mata Justin. Kini mereka saling menatap satu sama lain. Setelah tatapan mereka terkunci untuk beberapa saat, Rheanne memilih untuk memutuskan pandangannya. Rheanne memalingkan wajahnya. “Omong kosong!” cibir Rheanne mencebik bibirnya. Justin menautkan alisnya mendengar jawaban dari Rheanne. “Kau tidak percaya?” “Tidak.”Percaya pada Justin? Itu sama saja menyesatkan diri. Lagipula ini masih terlalu cepat dari pertama kali mereka bertemu, dan Justin tiba-tiba mengatakan suka padanya. Ck, sangat sulit untuk dipercayai. “Tidak peduli. Aku tetap menyukaimu,” ujar Justin tegas. Dia meraih dagu Rheanne dan mencium rakus bibir wanita itu. Rheanne memukul keras dada Justin saat merasakan pasokan oksigen yang menipis. Namun Justin seolah tidak peduli. Pria itu terus memperdalam ciumannya dan enggan untuk melepaskan. Rheanne berhasil mendorong Justin dengan ti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen