"Bang, Zurra tinggal di rumah Abang boleh?" tanya Fazzura membuat Gisa yang mendengarnya melebarkan mata, dengan rahang yang mengeras.
'Apa katanya tadi? Tinggal? Dia mau tinggal di rumah ini?' batin Gisa tidak habis pikir dengan yang dilakukan Fazzura.
'Apa tujuan kamu melakukan ini semua, Zurig?' tanya Gisa pada dirinya sendiri. Dia memiliki panggilan baru untuk rivalnya itu.
Zurig. Ya, sepertinya panggilan itu sangat cocok untuk Fazzura yang memang seperti hantu. Bergentayangan, mencari celah untuk masuk diantara hubungan Gisa dan Catra.
Catra mengerutkan keningnya. "Tinggal di sini?" tanya Catra memastikan. Fazzura hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Catra.
"Dad, turun dulu," bisik Gisa tepat di telinga suaminya.
Catra tidak menghiraukan keinginan istrinya untuk turun. Catra juga belum menjawab permintaan Fazzura, yang meminta ijin, untuk tinggal di rumahnya. Dia terus berjalan, menggendong tubuh ramping sang istri, sa
Terima kasih sudah membaca ❤️❤️❤️
Gisa bergegas kembali menuju kamar pribadinya. Dia tidak ingin ketahuan suaminya, kalau dia sempat ke bawah untuk menguping. Sesaat setelah sampai di dalam kamar, Gisa menyandarkan punggungnya, di balik pintu kamar yang baru saja ia tutup. Nafas Gisa berhembus kencang, dengan rongga dada yang naik turun. Pikirannya menerawang, melihat masa depannya. "Siapa perempuan itu?" tanya Gisa. "Sepenting apa dia di hidup, Daddy?" gumam Gisa kembali. "Tidak penting dia siapa. Yang jelas, kamulah istrinya sekarang! Kamu yang berhak atas suami kamu, bukan perempuan dari masa lalunya," yakin Gisa sambil menganggukkan kepalanya. Gisa menguatkan dirinya sendiri. Dia sudah terlanjur mencintai suaminya. Dia hanya perlu menutup mata dan telinganya, agar semuanya terlihat baik-baik saja. Gisa berjalan dan naik ke atas tempat tidur. Dia memejamkan matanya, sesaat setelah mendengar suaminya membuka pintu kamar. Gisa pura-pura tertidur, agar sang suami tidak
"Sa-saya hamil???" tanya Gisa kembali. "Ayo, saya antar ibu bertemu dokter Rumi," ajak dokter Naya. Mereka berdua pergi menuju ruangan dokter Rumi. Sepanjang jalan, Gisa tidak berhenti mengembangkan senyumnya, dengan tangan yang terus bergerak memberi usapan di atas perutnya yang masih rata. Gisa bahkan membayangkan ekspresi suaminya, saat tau kalau dia tengah mengandung anaknya. Keduanya saat ini sudah sampai di depan ruangan yang akan mereka tuju. Gisa menarik nafasnya tegang, saat dokter Naya, mulai membuka pintu poli kandungan. Sudah sangat lama Gisa tidak mengunjungi dokter kandungan. Terakhir, saat lahiran Dean, hampir tiga tahun yang lalu. "Mari, Bu." ajak dokter Naya, agar Gisa masuk mengikutinya. Gisa mengerjap, dari lamunannya. "I-iya dok," jawabnya gugup. Dokter Naya hanya tersenyum menanggapi kegugupan Gisa. "Ibu gugup?" tanya dokter Naya mencoba mencairkan suasana. "Iya dok. Sudah sangat lama sejak terakhir kali me
Gisa dan Catra keluar dari rumah sakit dengan tangan yang saling bertautan. Seperti biasa, mereka selalu jadi pusat perhatian dari orang-orang yang penasaran dengan kehidupan sang Ganendra. Catra tetaplah Catra. Dia tidak pernah mempedulikan suara sumbang dari orang-orang yang membicarakannya. Selama yang di hina bukan istrinya, Catra tidak pernah menanggapinya. "Hasilnya bagaimana, mom?" tanya Catra khawatir. "Baik. Semuanya baik-baik saja," jawab Gisa dengan cepat. 'Maaf dad, tunggu waktu yang tepat untuk Daddy mengetahui segalanya. Bulan depan. Mommy janji,' batin Gisa. "Daddy kenapa kesini? Bukannya Daddy harus meeting?" "Meeting-nya Daddy cancel. Jadinya besok pagi. Daddy pikir, masih bisa menemani mommy untuk cek," jawabnya enteng. "Ckk ... " decak Gisa. "Sudah mommy bilang, kalau mommy bisa sendiri!" kesal Gisa. "Kenapa mommy marah?" tanya Catra. "Padahal perempuan lain ingin ada di posisi mommy. Di khawatirkan oleh seor
Saat ini Catra sedang benar-benar marah. Dia berdiri dengan kedua tangan yang tersimpan di dalam saku celananya. Wajahnya dingin, dengan mata yang berkilat tajam, menatap orang-orang yang sudah menghina istri kesayangannya. Setelah menampar pipi Paula, Gisa berjalan dan berdiri di samping suaminya. Walaupun tampak kuat, namun sebenarnya Gisa tengah menahan ketakutannya sendiri. Tangan Gisa yang bergetar hebat, dapat dia sembunyikan di balik saku celana yang dipakainya. Gisa mengangkat sedikit wajahnya, agar orang lain melihat ke arogannya. Dihina, di rendahkan, di sepelekan, Gisa sudah kenyang dengan semua itu. Gisa sudah lelah mendapat label sebagai wanita lemah dari orang lain. Dia ingin menjadi kuat, dia ingin egois, setidaknya untuk melindungi harga dirinya. Seakan tahu dengan ketakutan istrinya, Catra merapat ke samping Gisa, kemudian meraih sebelah tangan Gisa yang tersimpan di dalam saku celana. Dia bawa tangan itu ke depan mulut Catra, kemudia
"Daddy tanya sekali lagi! Siapa yang hamil?" tanya Catra sambil berjalan mendekati Gisa. "Da-daddy ... " panggil Gisa pelan. Dia tidak menyangka kalau suaminya akan datang ke sana. "Hem??" tanya Catra kembali sambil mengangkat sebelah alisnya. Gisa meraih tas yang tersimpan di atas meja, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Gisa menyerahkan sebuah map kecil berwarna silver kepada suaminya. "Apa ini?" tanya Catra. Pasalnya, bukan itu yang dia mau. "Buka saja, itu jawaban dari pertanyaan Daddy," jawab Gisa. Walaupun bingung, Catra mengikuti permintaan istrinya untuk membuka buku silver yang istrinya berikan tadi. Dengan hati-hati Catra mulai membuka lembar pertama yang berisikan identitas istrinya. Lembar kedua berisikan tanda-tanda vital dari Gisa, termasuk keluhan dan riwayat kehamilan serta persalinan terdahulu. Catra semakin bingung dengan isi dari buku tersebut. Pada lembar ke tiga, terpang-pang hasil USG,
"Barusan daddy bilang apa?" tanya Gisa memastikan pendengarnya. "Dean darah daging ku!" jawab Catra tegas. Gisa terdiam. Kemudian dia mengangguk pelan, "Ya ..., Dean anak kita!" jawab Gisa pada akhirnya. Gisa tidak ingin membuat suaminya marah, dengan mengatakan kalau ayah kandung Dean, tidak jelas asal-usulnya. Catra selalu terlihat sedih dan marah, saat Gisa membahas tentang Dean yang tidak mempunyai sosok seorang ayah. Maka dari itu, Gisa mencari aman dengan meng-iya kan saja apa yang Catra ucapkan, agar tidak ada pertengkaran saat pulang ke rumah nanti. 'Serius ekspresi mommy hanya sebatas itu?' bingung Catra. 'Mommy paham kan apa yang Daddy maksud?' tanyanya pada diri sendiri. "Gisa, kenapa tidak di makan?" tanya Danisha. "Apa kamu tidak kasihan dengan kita yang sudah sangat kelaparan?" tanya Derina menambahkan. "Mommy, makanan itu benar-benar aman untuk ibu hamil kan?" tanya Catra sekali lagi. Pasalnya, dia mengurungkan n
Pagi-pagi sekali, Catra sudah sibuk di dapur dengan alat masaknya. Pagi ini, Catra berniat membuat sarapan sehat, untuk istri dan calon buah hati keduanya.Gisa masih terlelap di lantai dua, kamarnya. Fazzura sendiri, sudah tidak terlihat di sana. Sepertinya, malam setelah Catra memintanya untuk pergi, Fazzura langsung pergi meninggalkan kediaman Catra. Catra tidak ingin tau lebih banyak lagi. Dia terlanjur kesal dengan sikap Fazzura yang tidak tau malu."Den, mau bibi bantu?" tanya wanita paruh baya, yang sudah bekerja di kediaman Ganendra, sejak Catra masih duduk di sekolah dasar itu.Catra menengok sekilas, kemudian kembali fokus pada masakannya. "Tidak perlu, bi. Abang bisa sendiri," jawab Catra.Bukan hal yang aneh bagi bik Santi, melihat sang tuan memasak sendiri. Pasalnya, sejak di kediaman utama pun, Catra lebih senang memasak makanannya sendiri, dari pada dilayani oleh para maid yang bekerja di sana.Selera Catra kadang berbeda dengan yang
"Aku harus cepat-cepat membawa Dean pergi!!"Gisa bangkit, kemudian merapihkan surat yang tadi dia baca, dan menyimpannya kembali kedalam laci.Gisa bergegas pergi meninggalkan ruang kerja suaminya, dan masuk kedalam kamar, untuk membawa tas serta pasport miliknya. Selanjutnya dia berangkat menuju bandara."Ibu mau kemana?" tanya bik Santi, saat melihat Gisa keluar dari dalam rumah, dengan membawa tasnya."Saya mau keluar sebentar, bik. Terlalu bosan kalau terus-menerus tinggal di dalam rumah," dusta Gisa."Tapi, Bu, Aden __""Bapak sedang di luar kota, Bi. Bapak tidak akan tau, kalau saya pergi sebentar," bujuk Gisa."Jangan lama ya, Bu. Bibi takut Aden marah,""Gak mungkin!! Bapak tidak mungkin memarahi bibi. Dia selalu menghormati orang tua," jawab Gisa spontan. Gisa merutuki mulutnya yang lancang. Di saat seperti ini pun, tanpa Gisa sadari, dia memuji suaminya. Hati dan pikirannya tidak sinkron."Ya sudah, bik, Gisa