“Habis ini, kita jangan sering-sering pulang,” ujar Sekar saat dia sudah duduk di sebelah Gilang, dalam kereta yang membawanya kembali ke Jakarta. Bisa bangkrut keuangan jika terlalu sering pulang. Meskipun kepulangan saat ini tiketnya dibayar oleh Gilang. Tapi, kalau dipikir-pikir, tiket buat dua orang pulang pergi, sama dengan bayar kosan Sekar sebulan masih sisa. Gilang hanya diam saja. Jika biasanya dia asik dengan hpnya saat di kereta, kali ini dia sudah tak tertarik dengan hapenya. Pesan yang selama ini ditunggunya, panggilan yang selama ini dinantinya, kini sudah tak ada lagi. Memang, Sakina masih mengirim pesan padanya, ataupun menelponnya sejak lamaran itu. Tapi, kini Gilang sadar, dia hanya sebatas teman curhat. Toh, Sakina sudah benar-benar menerima lamaran pria lain. Bukan lagi sekedar pacar atau gebetan. Tak ada lagi yang diharapkan dari seorang Sakina. Bahkan, Sakina tampak bahagia. Buktinya, dia sengaja mengunggah kebahagian itu di akun sosmednya. “Kamu nggak penas
“Selama ini ‘kan aku laundry dan makan malam jajan di luar. Kamu boleh tinggal di tempatku, tapi nyuci dan gosok baju, kamu yang tanggung jawab. Makan malam, kamu harus masak. Sepakat?” Sekar berfikir sejenak. Nyuci bajunya sendiri saja sering dikumpulin seminggu baru di cuci. Menggosok baju juga cuma weekend. Tapi bisalah diatur. Gilang orangnya tidak suka menunda pekerjaan. Jadi, pasti bisa disiasati.Tapi, memasak? Itu pekerjaan paling sulit! Dia memang sering bantu ibu dan mamanya Gilang di dapur. Tapi, bukan dia yang masak. Sekar hanya membantu memotong sayuran, mengupas bawang dan menyiapkan bumbu-bumbu lainnya. Paling banter ya nyicip aja. Kalau masak dari nol, tidak pernah. Masak iya harus bilang ke Gilang kalau dia sesunggunya ngga bisa masak. Bisa dibully.Jadi, selama ini hanya akting di dapur? Duh! Benak Sekar berperang sendiri. “Gimana, setuju nggak?” tanya Gilang. “Boleh, deh. Nanti aku bilang ke ibu kos kalau bulan depan nggak diperpanjang,” ujar Sekar kemudian.Masi
Langkah Gilang terhenti saat melihat Daniar, sekretaris atasannya, sedang bersolek di depan meja kerjanya. Wanita itu terbiasa merapikan dandannya di meja kerjanya ketika baru datang. Tak seperti staf lainnya, Daniar memang terlihat paling kinclong. Selain Sebagian besar karyawan di situ adalah lelaki, karyawati lainnya memang tidak terlalu heboh seperti Daniar dalam bersolek. Di dekatinya meja sang sekretaris itu. Sepertinya, ada kesempatan untuk mengorek keterangan dari pacar Fajar ini. Apakah status mereka masih berpacaran, ataukah sudah putus!“Siapa bilang kami putus?” Daniar terkekeh begitu mendengar pertanyaan dari Gilang. “Maksud kamu apa?” Gilang menggebrak meja Daniar. Gadis dengan rambut sedikit kecoklatan karena diwarnai yang selalu modis dicatok hingga ujungnya kruwel-kruwel itu terlonjak kaget. “Hei! Kamu kenapa, Lang?” teriak gadis itu saat Gilang hendak menjauh.“Nggak ada!” Gilang meninggalkan meja Daniar begitu saja. Menyesal juga dia menumpahkan kekesalan barus
“Agak jauh Mbak. Sharing sama tetangga kampung. Kebetulan dia kerja di Jakarta juga,” jawab Sekar. Untungnya, Gilang memang tetangganya. Paling tidak, jika bukan tetangga, dia juga bisa mengakui sebagai teman satu SMA. Tidak bohong kan?“Temanmu nggak bisa masak juga?” Ups! Hampir saja Sekar mau bilang, kalau temannya cowok. Untung belum kelepasan. “Masak sekarang gampang, Sekar. Kamu tinggal pengen menu apa, bumbunya sudah banyak dijual,” ujar Tini serius. “Maksudnya, bumbu yang dipasar itu ya, Mbak? Yang dikemas di kantong plastik?” Sekar ingat bumbu jadi kemasan plastik yang sering dibawa ibunya dari pasar. Ada bumbu gule, bumbu kare, atau apa aja. “Itu bisa. Tapi, itu tidak awet. Yang awet banyak di supermarket.” Tini merogoh saku roknya, lalu mengeluarkan hapenya. Setelah mengusap layar itu dan menemukan apa yang dicari, Tini menunjukkan tampilan hp nyapada Sekar. “Pake bumbu kayak gini saja bagi pemula. Ini bumbu anti gagal.” Tini tersenyum penuh percaya diri. Sekar mangg
Gilang diam-diam mengikuti Daniar yang baru saja meninggalkan kantor. Gilang sudah siaga di atas motornya saat Daniar hendak naik ke taksi online dari depan lobi kantornya. Motor yang dikendarai Gilang mengikuti taksi itu, hingga berhenti di pusat perbelanjaan yang tak jauh dari kantornya. Untungnya, ada parkir motor di pelataran pusat perbelanjaan. Gilang memarkir begitu saja motornya di area kosong, karena Gilang ingin segera cepat membuntuti Daniar yang masih tampak berdiri menunggu seseorang. Dengan langkah hati-hati, Gilang mendekat ke arah pintu utama pusat perbelanjaan itu di mana Daniar berdiri. Posisinya sengaja membelakangi Daniar meskipun ekor matanya masih terus mengawasi perempuan dengan dandanan modis itu. Hingga tak lama, terlihat pria yang sudah familiar di mata Gilang menghampiri sekretaris atasannya itu. Ada rasa kesal saat Gilang melihat lelaki itu. Lelaki yang selalu beruntung menjadi saingannya. Hingga dia pun rela merogoh kocek untuk melunasi hutang ibunya Se
Gilang menatap Sakina. Begitu pula sebaliknya. Pemuda itu terdiam. Tapi, kemudian ingat kalau dia harus segera pergi sebelum Fajar melihat keberadaannya. Dia ingat kalau Fajar sangat posesif. “Sekar, ayo kita pergi!” Gilang menarik tangan Sekar. Namun, wanita muda itu menepiskannya. Sekar masih menatap Sakina dengan nanar. Marah bercampur kesal. Karena wanita itu masih saja berhubungan dengan suaminya. “Kin, kita duluan,” pamit Gilang. Dia sudah melihat Fajar yang sudah beranjak dari duduknya. Sepertinya lelaki itu memahami ada kegaduhan di luar restoran. “Tunggu!” Fajar sudah berdiri di ambang pintu restoran. Lelaki itu berjalan mendekat. “Selamat ya atas pernikahan kalian. Kamu menang,” ujar Fajar sambil menepuk pundak Gilang. Tentu saja Gilang gelagapan. Sakina di depannya juga kebingungan. Gilang? Menikah? Dengan siapa? Kalian? Berarti orangnya ada di sini. Lalu siapa?Sakina menatap Gilang, Fajar dan Sekar bergantian. “Kamu sudah menikah, Lang? Kok kamu nggak bilang? Sama
Gilang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Untung nasi goreng pesanan mereka sudah matang. Kalau tidak, Gilang akan semakin lama terjebak dalam mencari argumentasi yang tak berujung. Usai menyantap makan malam, keduanya jalan beriringan menuju parkir motor. “Kamu yakin tidak jadi belanja?” Gilang mengingatkan sebelum mereka pulang. Sekar menggeleng lemah. Dia memang tidak mau belanja bahan makanan bareng Gilang. Itu terlalu ribet. Dia pun malas mendengarkan komentarnya jika nanti Sekar terlihat bodoh di mata Gilang. Lelaki itu bakal tak segan untuk membullynya. Parkiran itu sudah sangat penuh dibanding saat Gilang masuk tadi. Padahal hari semakin malam, dan itu bukan hari libur. Gilang terpaksa menggeser-geser motor lain agar motornya bisa keluar. Memang kejam Jakarta!“Pegangan, Sekar!” perintah Gilang saat hendak menjalankan motornya.Kedua tangan Gilang terulur ke belakang mencari tangan Sekar. Lalu dilingkarkan kedua tangan Sekar ke pinggangnya. Gilang pun menggeser tubuhnya
“Mas, ka—kamu mau apa?” tanya Sekar saat Gilang sudah semakin mendekat mengikis jarak ke arahnya. Sekar bergeser mundur. Gilang sedang marah. Sekar tak ingin memberikan hak Gilang jika lelaki itu masih marah. Semakin Sekar mundur, lelaki itu semakin maju. “Jangan, Mas....” Sekar mendorong dada bidang itu menjauh darinya. Tapi, tenaga Sekar tak kuat untuk benar-benar membuat pria itu menjauh darinya. Mata perempuan itu menatap Gilang dengan tajam, meski dalam hatinya dia merasa takut. Sementara, sorot mata Gilang semakin menunjukkan kemarahan. “Kamu menolakku, ha?” bisik lelaki itu. Wajah pria itu semakin mendekat. “Mas, .jangan lakukan. Kamu sedang marah. Ini ibadah. Aku tak mau dipaksa,” cicit Sekar. Tangannya masih berusaha mendorong tubuh Gilang menjauh. Tapi, pria itu bergeming. Dia tak memedulikan ucapan Sekar. Dia terus maju dan mendekat, hingga mengikis jarak antara keduanya. “A—ku tidak mau kalau masih ada Sakina dalam pikiranmu,---” Lirih Sekar berucap. Mendengar kat