Home / Mafia / Menikahi Gadis Malam / Dalam jerat Takdir

Share

Dalam jerat Takdir

Author: Aisyah Ahmad
last update Last Updated: 2025-10-29 15:04:23

***

Jam menunjukkan pukul 14.30.  Sinar matahari sore menyelinap melalui celah-celah gedung pencakar langit, menyorot debu-debu yang melayang di udara kantor PT Maple Atmajaya.  Suasana kantor yang biasanya ramai dengan deru mesin ketik dan obrolan ringan, kini terasa lebih tenang.  Sebagian besar karyawan telah pulang, meninggalkan suasana hening yang hanya diiringi oleh detak jarum jam dan suara keyboard yang sesekali ditekan.

Di ruangannya, Rizan duduk tegak di kursinya.  Tatapannya terpaku pada layar laptop, jari-jari lentiknya bergerak cepat mengetik.  Alisnya sedikit mengerut, seakan sedang bergulat dengan masalah rumit.  Secangkir kopi hangat yang baru saja dibuat oleh Pak Budi, OB kantor, menghiasi mejanya.  Sesekali, Rizan menyeruput kopinya, menikmati kehangatannya sebagai teman setia dalam menyelesaikan pekerjaannya.  Aroma kopi robusta yang kuat bercampur dengan aroma kertas dan tinta memenuhi ruangan itu.

Di luar jendela, lalu lintas kota mulai padat.  Suara klakson mobil terdengar samar-samar, seakan tak mampu menembus ketenangan yang menyelimuti Rizan dan pekerjaannya.  Ia masih fokus pada layar laptop, seakan dunia di luar sana telah berhenti berputar.  Hanya ada dia, laptopnya, dan secangkir kopi yang semakin menipis.

Tiba-tiba...

'Tok tok tok'

"Eh... Ray? Gimana?" tanyanya pada sosok laki-laki yang berdiri tegak di depan pintu. Kemudian, lelaki yang harus wajahnya hampir mirip dengannya itu melangkah masuk, dan duduk di hadapan Rizan.

"Enggak... Lo jam segini tumben belum pulang?"

"Ck. Ya... Masih ada kerjaan, Ray!"

"Ada apa? Ada masalah ya? Kok kayaknya serius sekali?" tanyanya lagi.

Rizan lantas melepas kacamatanya, dan meletakkan dengan kasar di meja, "huft... target penjualan dua bulan ini semakin menurun ya? gue heran!!! Dan ini... Di Cafe Melati juga, beberapa kali permintaannya cuma sedikit. Tidak seperti biasanya."

"Wah? Iya kah? Wah.. Gue curiga nih! Jangan-jangan... Ada perusahaan lain yang sabotase, Zan?"

"Hah? Gimana Ray? Maksudnya, ada yang memasok syrup mapel perusahaan lain, di belakang kita, begitu?"

"Ya... Hanya dugaanku sih, Zan! Eh, lo tahu nggak, kalau om Bima juga mendirikan PT. Syrup Maple? Gue curiga sih, jangan jangan, Om Bima yang sengaja sabotase?"

Suasana sejenak hening, Rizan terdiam, sembari memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.

"Tapi, Ray... Apa iya, Om Bima setega itu? Sepertinya kok, gue agak ragu. Sebab Om Bima itu baik sama Gue, sama mama. Beliau yang sering bantu Mama."

"Alah Zan... Jaman sekarang, lo masih percaya kebaikan orang? Bisa aja di depannya baik, di belakang? Lha itu, nyatanya Om Bima mendirikan perusahaan baru, yang sama. Apa nggak niat menyaingi namanya?" ucap Rayyan. Matanya menatap Rizan dan meyakinkannya.

"Lho harus hati-hati itu, Zan! Lo jangan dekat-dekat dengan Om Bima! Bisa jadi, Om Bima musuh di balik selimut!"

"Huft... Ya ya ya, thank ya, Ray! Gue akan selidiki lagi soal ini. Oh ya, Om Faruq gimana kabarnya? Kemarin katanya sakit, ya? Sorry belum sempat jenguk,"

"Ya, tenang aja. Papa gue udah baik-baik saja kok."

'Tung Tang ting tung ting Tang tung'.

"Sebentar!"

Saat mereka mengobrol, tiba-tiba ponsel Rizan berbunyi nyaring. Ia pun segera menepi sejenak, menjawab panggilan itu.

[Gimana? Beres? Sudah lo bawa orangnya? ]

[Sudah, bos! Ini perjalanan pulang! ]

[Oke, jaga baik-baik jangan sampai kabur!]

[Siap bos!]

Panggilan pun berakhir. Rizan kembali lagi ke mejanya, dan langsung membersihkan barang-barangnya, bersiap untuk pergi.

"Loh, lo... Mau kemana, Zan?"

"Sorry Ray, gue tinggal!!! Ada urusan!" ucap Rizan singkat. Kemudian ia pun melenggang pergi meninggalkan ruangan dan Rayyan yang masih berada di ruangannya.

"Ck, dasar sok sibuk!" gumam Rayyan, kemudian ia pun keluar dari ruangan tersebut. Sebelum keluar, ia sempat tersenyum menyeringai, memandangi kertas kertas di atas meja Rizan.

Seperti biasa, sepanjang perjalanan Rizan selalu diam. Wajahnya tampak dingin, datar, menatap lurus ke depan. Sang sopir dan pengawal pun tak ada yang berani bersuara sedikitpun, jika tidak di tanya.

"Langsung ke rumah saja!" ucap Rizan

"Baik, tuan!"

Mobil melaju pesat meninggalkan jalanan berdebu di sepanjang jalan.

Mentari mulai merunduk, meninggalkan jejak warna jingga dan merah muda di langit sore.  Jam menunjukkan pukul 15.00, dan jalan raya mulai dipenuhi oleh hiruk pikuk aktivitas menjelang petang.

Suara klakson sesekali memecah kesunyian,  menambah semarak suasana dan sudah menjadi hal biasa bagi Rizan setiap pulang dari kantornya.

Setelah beberapa menit berkendara, mobil akhirnya memasuki halaman rumah. Rizan dengan langkah tegap, turun dan berjalan memasuki rumah itu.

Pintu rumah terbuka lebar, dua pelayan telah menunggu di depan siap menyambutnya. Rizan masih berjalan lurus, tanpa sedikitpun menyunggingkan bibir. Langkahnya pasti, memasui lift menunu lantai atas.

Rizan berdiri, tatapannya dingin sembari mengetuk pintu kamar.

'Tok tok tok!'.seorang gadis cantik keluar dari kamar itu. Sejenak membuat Rizan tertegun. Sungguh, kecantikannya itu membuat Rizan lupa akan prinsipnya.

Rizan segera menguasai diri, dan kembali dingin seperti semula, "ganti bajumu, kita pergi sekarang!" ucapnya datar.

"Pergi? Kemana?"

"Jangan banyak tanya! Saya tidak punya banyak waktu!"

"Iya tapi kan saya perlu tahu, kemana kita akan pergi."

"Tidak perlu! Nanti juga tahu! Cepat !"

Alin menghela nafas berat. Akhirnya ia pun kembali masuk ke kamar, mengganti pakaiannya dengan dress selutut berwarna pastel, dilengkapi dengan belt di pinggangnya. Alin juga menambahkan riasan tipis di wajahnya sehingga membuat wajahnya tampak lebih fresh.

Ia pun keluar. Lagi-lagi, Rizan menatapnya tanpa berkedip.

"Ayo! Mas!!! Mas Rizan. Jadi tidak?!!"

"Ah? Iya, ayo!" ucapnya lagi. Ekspresinya langsung berubah datar, membuat Alin serba salah.

Alin berjalan di belakang Rizan, sementara Rizan tampak berjalan cepat menuju mobilnya lagi.

Setelah pintu mobil di tutup, mobil kembali melesat pergi meninggalkan halaman rumah itu.

Lima belas menit perjalanan, mobil Rizan tiba di salah satu butik. butik itu dulu tempat biasa Mamanya mencari pakaian. Rizan mengajak Alin untuk masuk ke dalam butik itu.

"Mas Rizan, kita... Ngapain kesini?"

Rizan tak menjawab. Dia hanya berjalan terus sapai seorang pegawai mendekati Rizan.

"Ada yang bisa kami bantu tuan?" tanya pegawai itu sembari membungkukkan setengah badannya.

"Bawa dia! Pilihkan gaun pernikahan terbaik, untuk pernikahan kami besok!" ucap Rizan. Seketika mata Alin terbelalak. "Hah besok? T t tapi, Mas?"

"Mari, nona!" ucap Pegawai itu.

"Lho... Lho, Mas!"

"Sesuai perjanjian, kalau kamu tidak nurut, saya kembalikan ke tempat asalmu!"

Mendengar kalimat Rizan, akhirnya Alin pun nurut. Ia mengikuti pegawai butik itu untuk mencoba pakaian yang di pilihkan untuknya.

Saat berjalan menuju ruang ganti, tiba-tiba mata Alin menatap sebuah gaun indah, berwarna broken White, bertabur mutiara. Bentuknya lumayan simple, tapi elegant. "Yang itu... Sepertinya bagus!" tunjuk Alin Pegawai itu tampak menoleh ke Rizan, setelah Rizan mengangguk, pegawai itu mengambilkan gaunnya untuk Alin. Lalu pegawai itu membawa Alin ke ruang ganti untuk Fitting.

Alin melangkah keluar dari ruang ganti, dan seketika ruangan seakan berhenti bernapas. Cahaya lampu toko memantul lembut dari kain gaun yang membalut tubuhnya, menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Gaun broken white itu menempel sempurna di tubuhnya,  menonjolkan kesederhanaan yang elegan.  Taburan mutiara yang menghiasi gaun itu seakan berkelap-kelip,  menambah kilauan yang memikat.  Rambut Alin yang tergerai lembut menambah kesan anggun,  dan senyum tipis di bibirnya memancarkan aura kecantikan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Rizan tertegun.  Matanya terpaku pada sosok Alin yang berdiri di hadapannya.  Wajahnya memerah,  napasnya tersengal,  dan ia merasa seperti terhipnotis oleh kecantikan Alin.  Ia menatap Alin tanpa berkedip,  takjub dengan pesona yang terpancar dari wanita di hadapannya.

"Ini, Tuan!"  Ucap pegawai toko itu,  menarik Rizan dari lamunannya.

"Cantik!"  Ucap Rizan spontan,  suaranya terdengar sedikit gemetar.

"Hem?"  Tanya Alin terkejut,  mendengar pujian Rizan.

"Gaunnya, cantik!"  Ucap Rizan buru-buru meralat ucapannya,  wajahnya semakin memerah.

"Ya sudah,  itu saja.  Dibungkus ya!"  Ucap Rizan,  suaranya terdengar sedikit gugup.  Tanpa basa-basi,  ia pun menuju kasir,  lalu mengeluarkan sebuah kartu untuk pembayaran gaun tersebut.

Alin hanya terdiam,  memandangi Rizan yang terlihat gugup.  Ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Rizan hari ini,  suasana yang tak biasa,  yang membuat hatinya berdebar-debar.

"Sudah! Ayo pulang!" ucap Rizan. Ia pun langsung melangkah meninggalkan Alin yang masih mematung di tempatnya.

Pegawai yang tadi mendekati Alin,  "Hebat kamu Kak, bisa menaklukkan cowok sedingin mas Rizan, yang ngalahin kutub utara!" ucapnya, di iringi kekehan kecil.

Alin pun tersenyum,

"Tapi aslinya orangnya baik kok, lembut, perhatian. Beberapa kali sempat menemani mamanya kesini,"

"Hem? Mamanya? Jadi mamanya masih ada ya mbak?"

"Hei! Ayo buruan!"

"Ah i i iya!". " Mbak, saya duluan ya. Takut dia marah!"

Pegawai itu pun mengangguk dan tersenyum, seiring perginya Alin.

***

Sementara di rumah Rizan, suasana riuh tercipta di teras rumah Itu. Dua orang manusia, tampak berusaha memberontak dari tangan pria pria kekar yang memeganginya.

"Lepaskan!!! Ini... Apa-apaan?! Apa maksud kalian membawa kami kesini? Ini rumah siapa?!" teriak pria paruh baya itu.

"Bos kami ingin bertemu dengan anda!"

"Iya, tapi siapa bos kalian?! Ada perlu apa sama kami ? Tolong... Lepaskan kami," ucap wanita paruh baya itu sambil terisak. Ia tak menyangka, pagi-pagi tiba-tiba ada orang asing yang datang ke rumahnya, lalu memaksanya untuk ikut mereka tanpa memberitahu alasannya.

"Sebentar! Bos kami sebentar lagi datang!"

Tak berapa lama, sebuah mobil HRV berwarna hitam memasuki halaman rumah. Alin tampak heran, memandangi keramaian di teras rumah mewah itu.

"Mas, itu ramai-ramai ada apa ya?" tanya Alin.

Rizan tak menjawab, ia pun langsung keluar, saat sang pengawal membukakan pintu mobil untuknya. Di ikuti oleh Alin dari belakangnya. Lalu mereka pun berjalan mendekati teras, dan di saat itu, mata Alin terbelalak, hingga ia berlari dan berteriak ke arah wanita paruh baya yang di pegangi oleh pria kekar di sebelahnya!!!

"Loh.... I i ibuk??? Ayah????"

"ALIIIN?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Gadis Malam   Dalam jerat Takdir

    ***Jam menunjukkan pukul 14.30. Sinar matahari sore menyelinap melalui celah-celah gedung pencakar langit, menyorot debu-debu yang melayang di udara kantor PT Maple Atmajaya. Suasana kantor yang biasanya ramai dengan deru mesin ketik dan obrolan ringan, kini terasa lebih tenang. Sebagian besar karyawan telah pulang, meninggalkan suasana hening yang hanya diiringi oleh detak jarum jam dan suara keyboard yang sesekali ditekan. Di ruangannya, Rizan duduk tegak di kursinya. Tatapannya terpaku pada layar laptop, jari-jari lentiknya bergerak cepat mengetik. Alisnya sedikit mengerut, seakan sedang bergulat dengan masalah rumit. Secangkir kopi hangat yang baru saja dibuat oleh Pak Budi, OB kantor, menghiasi mejanya. Sesekali, Rizan menyeruput kopinya, menikmati kehangatannya sebagai teman setia dalam menyelesaikan pekerjaannya. Aroma kopi robusta yang kuat bercampur dengan aroma kertas dan tinta memenuhi ruangan itu. Di luar jendela, lalu lintas kota mulai padat. Suara klakson mob

  • Menikahi Gadis Malam   Istana Atmajaya

    "Di jidatmu!!! Ya jelas lah di situ! Kamu sekolah kan? Bisa baca kan? Di situ sudah jelas, letak dimana kamu tanda tangan!" ucap Rizan lagi.Alin segera mengusap air matanya dengan kasar, lalu segera membubuhkan tanda tangan di atas materai itu."Bagus. Kalau gitu kita akan menikah besok!""Hah? Besok?""Kenapa? Kamu mau balik ke dalam sana lagi?""Tapi Pak... Ayah ibuku... Belum tahu,""Gampang!""Jalan!""Baik tuan!"Mobil hitam itu melaju mulus di jalan raya. Di dalamnya, Rizan dan Alin duduk berdampingan di kursi belakang, dipisahkan oleh rasa canggung.Lampu-lampu kota berkelap-kelip di luar jendela, membentuk labirin cahaya yang membingungkan.Di dalam mobil, Rizan dan Alin terkurung dalam keheningan malam. Kegelapan di luar seakan merefleksikan kegelapan yang melingkupi hati mereka. Hanya cahaya redup dari lampu dalam mobil yang menerangi wajah mereka yang tampak lelah dan tegang. Suara mesin mobil dan deru ban di aspal menjadi satu-satunya penanda perjalanan mereka menuju rum

  • Menikahi Gadis Malam   Kilas Balik Alin

    "Buk... Ibuk... Assalamu'alaikum!!!" Gadis cantik berambut lurus tergerai itu berlari dengan girang mendekati ibunya yang tengah memasak. Ia baru pulang sekolah, meski jam menunjukkan masih pukul sepuluh pagi."Loh, kok sudah pulang, Al? Baru jam sepuluh kan?" tanya Bu Hanum sembari mengulurkan tangannya. Alin pun segera menyambut dan mencium punggung tangannya dengan takdzim. "Iya, Bu. Kan sudah tidak ada pelajaran. Oh ya bu, coba lihat!!! Nilai Alin sudah keluar bu!!!" ucap Alin lagi dengan mata berbinar."Wah... Alhamdulillah... Anak ibu pintar sekali," ucap Bu Hanum kagum. "Bagus? Untuk apaaaa punya nilai bagus, kalau nggak bisa buat nyari duit!" Ayah Alin, Pak Rustam baru saja masuk ke dapur dan menimbrung dengan kalimat menohok, membuat suasana yang semula riang menjadi hening. Seketika Alin pun terdiam."Kopi, buk!" ucap Pak Rustam sembari meletakkan gelas kopinya dengan kasar.Bu Hanum meraih gelas itu, sambil berbicara, "Siapa bilang nilai bagus tidak ada gunanya. Nilai ba

  • Menikahi Gadis Malam   Pertemuan Malam itu

    "A a ampun Tuan... Jangan, jangan sentuh Alin, Alin mohon..." Wanita berpakaian mini berwarna purple itu berjalan mundur seirama dengan pria berbadan kekar yang melangkah di depannya dengan tatapan penuh nafsu. Pria itu sama sekali tidak menggubris Alin yang tampak ketakutan. Ia terus mendekat, bahkan kini wajahnya dengan wajah Alin hanya berjarak lima centi meter saja. hembusan nafas hangat, memburu dari pria itu juga sangat terasa jelas di wajah Alin. Alin tak berhenti memohon walau terus di abaikan. Tubuhnya tampak menegang dan panas dingin terasa menjalar keseluh tubuhnya, tangan mungilnya itu juga tampak mencengkram sisi kanan kiri rok mini yang ia pakai itu. Tubuhnya yang mungil tak mampu untuk melawan pria didepannya, sekalipun melawan, ia sangat yakin jika ia akan kalah, tubuhnya tak ada apa-apanya di banding dengan tubuh kekar itu. 'Bruk!'Pria itu kemudian mendorong Alin ke kasur, lalu ia membuka kancing kemejanya dengan kasar serta menarik ikat pinggangnya. Sementara A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status