Nathan melangkah masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah, pandangannya tertumbuk pada pemandangan yang menenangkan hati. Eliza duduk di sofa, jemarinya lembut menimang sosok bayi mungil yang sedang membuka matanya. Di sisi kirinya, putra mereka yang tampan duduk tenang, tatapannya penuh kasih pada adiknya.“Hai, sudah mandi ya,” sapa Nathan seraya mengusap pipi bayi itu dengan penuh kelembutan.Nathan tersenyum memandang bayi cantik tersebut. Jarang sekali melihat bayi kecilnya terjaga seperti ini. Biasanya, si mungil selalu terlelap pulas tanpa peduli betapa gaduhnya suasana sekitar. Tapi kali ini, sepasang mata bening itu menatapnya lekat-lekat.“Sudah dong,” jawab Eliza sambil tersenyum.Nathan mengernyitkan hidungnya semakin dekat dengan wajah istrinya. “Oh, tapi kok masih bau asem?”Eliza memandang Nathan dengan alis bertaut. Bagaimana mungkin suaminya bisa mengatakan bayi cantik itu bau asam padahal ia bahkan belum menciumnya?“Sudah wangi kok,” ujar Eliza dengan nada yakin. Meski
"Bagaimana kabar wanita itu?" Nathan bertanya sambil memandang Rizky."Sudah dibawa ke rumah sakit," jawab Rizki dengan nada datar, matanya tetap terpaku pada jalanan, tangannya erat menggenggam kemudi."Aldo mengatakan, Rudi terlibat dalam jaringan perdagangan manusia. Dan keluarga istrinya, sebelum mereka dibunuh, organ-organ dalamnya sudah diambil lebih dulu," ungkap Nathan.Rizky mengerutkan kening, rahangnya mengeras seketika. "Dia benar-benar terlibat?" Suaranya bergetar, antara terkejut dan marah. Pandangannya sejenak teralih ke arah Nathan, sebelum kembali fokus ke jalan yang terasa semakin panjang dan gelap."Ya, dia memang ahli menghapus jejak," ujar Nathan, suaranya terdengar dingin. "Namun, kematian keluarga Aruna bisa menjadi kunci untuk menjeratnya dalam kasus penjualan manusia. Modusnya selalu sama. Menawarkan pekerjaan di luar negeri. Dia bilang mereka akan bekerja sebagai TKW di Jepang. Tapi kenyataannya, mereka dikirim ke Myanmar, Laos, atau Kamboja. Di sana, organ
Setelah membuat istrinya tak sadarkan diri, Rudi melangkah pergi. Langkahnya berat namun penuh keyakinan, menuju tempat yang kini menjadi pelarian favoritnya.Sekarang, ia berada di sebuah kamar yang remang-remang. Aroma bunga dan parfum menggantung di udara, bercampur dengan udara lembab yang menggoda. Di sana, seorang wanita cantik berdiri di tengah ruangan. Wajahnya manis, senyumnya memabukkan. Matanya berbinar nakal."Apa Tuan Rudi ingin langsung masuk atau dipijat dulu?" tanya wanita itu dengan suara serak menggoda. Jarinya bermain di kerah bajunya sendiri, seolah memberi isyarat.Rudi tersenyum. Senyum yang tidak pernah diberikan pada istrinya. "Pijat dulu. Tubuhku pegal semua. Kepalaku berdenyut," bisiknya, nada suaranya lirih namun penuh godaan.Wanita itu mengangguk, bibirnya melengkung penuh misteri. "Baiklah, Tuan. Berbaringlah," katanya sambil mendekat, tangannya mulai melepaskan kancing kemeja Rudi.Rudi menuruti. Dia merebahkan diri di atas ranjang empuk itu. Hangat. Nya
Rudi melangkah masuk ke dalam ruangan sempit yang diselimuti kegelapan pekat. Udara di dalamnya begitu berat, menyisakan aroma amis darah yang menusuk indera penciuman.Ruangan itu mungkin tampak kosong — tak berpenghuni. Namun, suara napas tersengal dan rintihan lemah memecah kesunyian, menjadi isyarat bisu bahwa ada nyawa yang masih bertahan.Beberapa detik berlalu. Lampu tiba-tiba menyala, menyibak kegelapan. Di lantai dingin dan kasar, seorang wanita muda terbaring tak berdaya, tubuhnya penuh luka dan lebam.“Tolong… lepaskan aku,” katanya lirih. Suaranya serak, nyaris tak terdengar.“Kau datang membawa anak haram dari laki-laki lain. Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” Rudi menyeringai, sorot matanya dipenuhi amarah yang tak tertahankan.Menikahi seorang wanita yang telah ternodai adalah pukulan telak bagi harga dirinya. Dan kini, kebenciannya pada wanita muda itu membara, tak tertahankan.“Kau bisa menceraikan aku. Aku tidak akan menuntut apapun.”Aruna berkata l
Seorang wanita masuk kedalam ruangan Nathan, setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. "Permisi, Tuan Nathan, Pak Aldo sudah tiba dan ingin menemui Anda," ujar wanita yang memakai Blazer lengan panjang dan celana berbahan kain. Penampilan wanita itu jelas berbeda dari citra sekretaris pada umumnya. Jika kebanyakan sekretaris tampil dengan kesan menggoda, ia menilih busana yang sopan dan tertutup. Penampilan seperti ini dimulai sejak awal bekerja menjadi sekretaris Nathan. Ya seperti inilah jika memiliki atasan yang menghormati wanita. Atasannya tidak akan membiarkan karyawan wanita menjual kesaksian dan bentuk tubuh. Yang di nilai dalam pekerjaan, dedikasi serta pencapaian. "Suruh masuk," jawab Nathan. Akhirnya orang yang ditunggu datang juga. Rizky dengan sengaja datang ke kantor Nathan. Karena dia sudah membuat janji dengan detektif yang diminta untuk menyelidiki Rudi. "Selamat siang tuan Nathan, selamat siang dokter Rizky." Pria bertubuh tinggi itu menyapa dengan ho
"Halo, nak. Bagaimana kabar Kiara? Apakah dia sudah melahirkan?" suara wanita itu terdengar gemetar. Setiap kata yang terucap terasa begitu berat, seakan-akan memikul beban, penyesalan yang tak kunjung usai.Mungkin, benar kata orang, cinta yang datang terlambat terasa hanya sia-sia. Mengapa dulu dia begitu kejam terhadap anaknya? Kilasan peristiwa-peristiwa gelap yang terjadi saat Kiara masih bayi, hingga insiden terakhir ketika Rini menjebaknya, kembali menyusup ke ingatannya. Semua itu mengerutkan dadanya, menambah sesak dan sakit yang tak tertahankan."Kiara sudah melahirkan. Kondisinya baik, dan anak kami juga dalam keadaan sehat," jawab menantunya dengan tenang, meski terasa jelas ada jarak di antara kata-katanya.Tanpa bisa ditahan, air mata Rini pun jatuh, mengalir begitu saja mendengar kabar bahagia ini. Ia menyadari bahwa menantunya itu enggan memanggilnya 'Mama'.Sungguh, wajar jika Rizky tidak memanggilnya seperti itu, sebab ia tahu, betapa tidak layaknya is untuk dihorma
Nathan duduk di sofa ruang perawatan, memangku Noah yang tampak penasaran sambil menggendong bayi mungil di pelukannya. Aroma antiseptik rumah sakit berpadu dengan kehangatan kebapakan yang terpancar dari tatapannya.“Dad, kenapa adik bayi tidur terus?” tanya Noah polos, matanya menatap lekat wajah mungil yang tertidur damai.Nathan menoleh dan tersenyum. Pertanyaan itu sederhana, namun jawabannya tak sesederhana yang ia kira. Ia sendiri belum benar-benar paham, mengapa makhluk sekecil itu menghabiskan waktunya dalam tidur.“Dat, bangunin dong, Aku mau main sama adik,” ucap Noah, sembari menyentuh pipi bayi dengan ujung jemarinya yang kecil.Nathan terkekeh pelan. “Adik bayi akan bangun kalau dia haus.”"Daddy nggak berani bangunin, takut nanti dia nangis." Dengan nada nyaris berbisik, Nathan menatap lemah si bayi mungil yang terlelap. Ada rasa takut yang aneh, seperti alarm kecil di hatinya. Ia takut satu gerakan saja bisa membuat dunia mungil itu pecah dalam tangisan. Bahkan Nathan
Raut wajah pria yang biasanya tampak tenang kini berubah drastis. Pucat, seolah kehilangan warna. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tak biasa. Keringat dingin mengalir deras dari pelipis keningnya, menandakan ketegangan yang tak mampu ia sembunyikan. Seolah ada beban berat yang kini mengguncang ketenangan dalam dirinya."Abang... sakit... sakit sekali," Kiara menangis, suara terisak, sementara tangannya menggenggam erat jemari suaminya, seolah ingin menarik kekuatan darinya.Kiara merasakan sakit yang luar biasa. Kesakitan itu datang seperti gelombang yang tak terhindarkan, merembes perlahan dari perut, kemudian menyebar ke seluruh tubuh, memaksa setiap otot dan persendian untuk berteriak. "Sayang, kamu harus kuat, demi anak kita," ujar Rizky, suara tegas namun penuh kelembutan, sambil mengusap peluh yang membasahi dahi Kiara. Seperti mencoba menenangkan, meski hati keduanya sama-sama diliputi kekhawatiran yang mendalam."Ayo, Kiara, jangan menyerah," ucap Dokter Diana dengan n
“Apa pembukaannya sudah lengkap, Dok?” tanya dokter perempuan itu dengan nada tenang namun tegas. Matanya menatap Rizky sejenak sebelum kembali mengarah ke Kiara yang duduk di kursi roda.Andai pasien itu bukan Kiara, istri dari Dokter Rizky, wanita itu takkan pernah menyinggung soal ini. Sebab ialah yang akan memeriksa kondisi sang pasien. Rizky menghela napas, berusaha menjaga fokus di tengah kekacauan pikirannya. “Saya belum sempat periksa. Terakhir, sebelum ketubannya pecah, bukaan tiga,” jawabnya cepat.Dokter itu mengangguk singkat. “Kalau begitu, kita langsung ke ruang bersalin.”Suasana mendadak terasa lebih tegang. Kursi Roda mulai bergerak, menyusuri lorong yang terasa lebih panjang dari biasanya. Perawat yang mendorong kursi roda berhenti sejenak ketika mereka sudah berada di depan pintu ruang persalinan.Mawar menggenggam tangan Kiara erat. “Kiara, kamu harus kuat. Ini merupakan momen yang penuh sejarah untuk kamu. Ini adalah perjuangan kamu untuk menjadi seorang ibu.” S