"A-anda mau apa? Kenapa ingin berduaan?" Anike langsung menarik selimut hingga sebatas dada.Namun, Carlen tak segera menjawab. Dia malah berbalik dan mengunci pintu kamar Anike, lalu mengempaskan diri di samping istrinya dalam posisi setengah berbaring."Apa sakitmu masih lama? Kalau bisa jangan lama-lama, kerjaan masih banyak," celoteh Carlen tanpa beban.Anike menggeser tubuhnya agar menjauh dari Carlen. Dia baru berhenti setelah dirinya benar-benar berada di tepi ranjang. "Aku sakit juga gara-gara anda. Masa malam-malam disuruh membersihkan kamar yang kebanjiran," gerutu Anike."Sudah kubilang, kalau tidak mau tidak usah dikerjakan," sahut Carlen enteng sambil terus mendekat pada Anike yang sudah terpojok."Tidak usah dikerjakan, tapi harus membayar denda," cibir Anike."Memang begitu peraturannya, kan?" Carlen tak mau kalah."Anda tenang saja, Tuan. Aku jarang sakit. Kalau sakit pun tidak pernah lama. Lagipula, aku ingin cepat-ce
"Benarkah, Pak Pandu?" Sorot mata Anike seketika berbinar. Secercah semangat muncul di paras cantiknya. Sesaat kemudian, Anike kembali memasang ekspresi serius. "Lalu, bagaimana cara Pak pandu dalam membantu saya?""Eh, tunggu, tunggu!" sergah Anike ketika Pandu sudah bersiap membuka mulut.Anike bergegas mendekat ke arah pintu, kemudian menguncinya rapat-rapat. "Nah, sudah aman. Sekarang, silakan lanjut," ujarnya sambil duduk kembali di tempatnya semula."Jadi begini, Nyonya." Pandu yang berdiri di hadapan Anike, tiba-tiba merogoh sesuatu dari saku celana. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang terlipat rapi, lalu menyerahkannya pada Anike."Apa ini?""Itu informasi dan data pribadi tentang Diana Paramitha. Saya juga melampirkan foto terakhir Diana," jawab Pandu pelan."Untuk apa?" Anike mengernyit keheranan. Sekilas dirinya memperhatikan foto seorang wanita yang teramat cantik."Seperti yang sudah saya dengar bahwa Tuan Carlen
"Apa maksudnya, Tuan?" Pandu mencoba bersikap tenang. Dia tersenyum kalem sembari melirik pada sang atasan. Sementara Carlen tak segera menanggapi pertanyaan Pandu. Dia tetap menatap lurus ke depan. "Aku mulai tertarik pada Anike. Ada sesuatu yang ada di diri gadis bar-bar itu yang menarik perhatianku. Aku tidak akan berhenti sampai berhasil menaklukkannya," ujarnya beberapa saat kemudian."Syukurlah, akhirnya anda berhasil membuka hati, Tuan." Pandu tersenyum simpul, tetapi Carlen membalasnya dengan sorot mata tajam, seakan menembus jauh ke dalam jantungnya."Kau sudah paham kan kalau aku tidak mau siapapun menghalangi jalanku? Sekalipun itu orang terdekatku," tegas Carlen."Tentu, Tuan. Saya sangat mengerti. Sampai kapanpun, saya akan tetap loyal pada anda," timpal Pandu."Hm." Carlen tertawa kecil, lalu terdiam hingga mobil yang mereka tumpangi tiba di tempat tujuan. Carlen menghabiskan hari dengan meninjau pabrik pembuatan suku cadang yang berdiri di atas tanah seluas hampir lima
"Ke Jerman, Tuan? Bukankah anda memberi tugas pada saya untuk mengurus pembebasan lahan?" tanya Pandu tak mengerti. "Masalah pembebasan lahan akan kuserahkan pada mantan sales di sebelahku ini saja," jawab Carlen seraya melirik pada Anike. "Ta-tapi ... Tuan ...." "Bukankah kau sudah berjanji untuk selalu loyal padaku, Pandu? Sekarang saatnya kau membuktikan perkataanmu," potong Carlen. Hening sejenak. Pandu tak mengeluarkan sepatah kata pun, sampai terdengar desahan pelan dari asisten pribadi Carlen itu. "Baiklah, Tuan. Saya akan menyiapkan dokumen-dokumen saya secepatnya, paling tidak seminggu sampai saya siap berangkat ke Jerman," jelas Pandu. "Oke, selama rentang waktu itu, kau tidak perlu datang ke rumah. Cukup selesaikan pekerjaanmu di kantor saja. Jangan meninggalkan beban sedikitpun sebelum pergi," titah Carlen. Pandu terdengar mengempaskan napas panjang, lalu menjawab, "Iya, Tuan." "Bagus." Carlen tersenyu
"Apa?" Marten terbengong-bengong melihat Carlen merangkul Anike mesra. Dia terus memperhatikan dua anak manusia itu sampai keduanya masuk ke dalam salah satu kamar yang berada di ujung lorong. "Bukankah itu kamar tamu?" desis Marten penasaran. Dia ingin sekali menyelidiki siapa gadis yang dibawa masuk oleh Carlen ke dalam kamar. Akan tetapi, rasa kantuk sekaligus lapar mendera Marten. "Ah, besok sajalah," gumam Marten pada diri sendiri. Sementara itu, Anike merasa risi saat Carlen tak jua melepaskan tangan dari bahunya. "Aku ingin tidur, Tuan. Kalau aku kurang tidur, nanti aku sakit lagi. Kalau aku sakit, aku jadi tidak bisa melaksanakan seluruh perintahmu," bujuk Anike. "Tunggu sebentar, aku ingin menanyakan sesuatu," ujar Carlen sambil memasang raut serius. "Apa?" "Apa saja yang Marten katakan padamu tadi?" selidik Carlen. "Tidak ada. Dia hanya menanyakan namaku. Tuan Marten mengira bahwa aku asistenmu," ungkap Anike. "Lalu, kau jawab apa?" "Ya, kubilang padanya kalau aku as
Lula berdiri sambil berkacak pinggang. Dia terlihat segar dan seksi dalam balutan sports bra dan legging berwarna hitam. Dia tersenyum penuh arti seraya melirik pada Anike. Sesekali Lula mengusap peluh yang menetes di dahi."Kenapa kau selalu saja ikut campur, Lula?" gerutu Carlen sambil berdecak pelan. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," timpal Lula santai sembari menarik satu kursi dan duduk di dekat Carlen. "Apa maksudnya istri kontrak?" tanya Marten tak mengerti."Istri main-main," sahut Lula sebelum Carlen sempat menjawab. "Lula, diam atau kujewer telingamu!" hardik Carlen."Ah, berarti kalian berdua ...." Marten sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia mengarahkan telunjuk pada Carlen dan Anike secara bergantian."Aku akan bercerai dengannya jika waktuku telah habis," sela Anike."Sudah kuduga!" seru Marten antusias. "Carlen tidak mungkin berbuat bodoh dengan menikahi seorang wanita. Dia pembe
Carlen membawa mobilnya keluar dari rute pulang. Seperti yang sudah dikatakannya tadi, dia mengajak Anike untuk makan siang bersama di sebuah restoran Jerman langganannya. Carlen membiarkan Anike memesan apapun yang dia mau. "Makan apa, ya?" gumam Anike seraya mengamati buku menu tebal berukuran besar. "Sudah sepuluh kali kau menanyakan itu," geram Carlen. Lagi-lagi dia harus belajar sabar menghadapi tingkah Anike. "Nama masakannya aneh semua, Tuan. Aku sama sekali tidak paham." Anike menggeleng pelan. "Tidak usah membaca tulisannya. Kau cukup melihat gambar saja!" ujar Carlen ketus. "Oh, iya juga, ya." Anike manggut-manggut, lalu menunjuk satu gambar. "Aku pilih yang ini, Tuan. Mirip kerak telor." "Itu Kartoffelpuffer, atau panekuk kentang," jelas Carlen. "Oh." Mulut Anike membulat saat berkata demikian. "Apakah aku boleh pesan dua?" "Boleh saja." Seulas senyuman samar tersungging dari bibir tipis Carlen. Sembari menunggu pesanan datang, mereka mengobrol tentang banyak hal. Sa
Jarum jam di arloji mahal Carlen sudah menuju ke angka satu. Dini hari mulai menjelang. Namun, Marten dan Anike belum juga pulang. "Ini sama sekali tidak bisa ditolerir," geram Carlen.Menurut Lula, istrik kontraknya itu meninggalkan rumah sejak sore hari. "Pesta macam apa yang dihadiri oleh mereka berdua?" omel Carlen lagi."Apa jangan-jangan Marten mengajak Anike bermalam di hotel, ya?" celetuk Lula yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang kursi Carlen. "Itu tidak mungkin!" sentak Carlen. Sunyinya malam membuat suara Carlen terdengar amat nyaring."Apa kau marah, Kak?" pancing Lula seraya tersenyum penuh arti."Tentu saja! Anike adalah istriku!" jawab Carlen lugas."Bukankah kalian hanya menikah pura-pura? Uang mahar yang kau berikan pada Anike pun palsu. Kemarin lusa dia sempat bercerita padaku bahwa ayah Anike marah-marah karena tidak bisa menguangkan cek itu. Dia merasa tertipu dan sangat kecewa," beber Lula pan