Rona masih menatap lekat Dov yang kini sibuk menunjuk satu botol minuman keras agar bartender mengerti keingiannya. Saat white wine itu sudah di tangan, Dov menyerahkannya pada Rona.
“Sori.” Suara berat itu terdengar sopan sekali di telinga hingga Rona tercenung sesaat. “Sebagai permintaan maaf, tolong terima pemberian saya.”
“Lo minta maaf itu sama aja lo mengakui omongan gue?” Pening di kepala mulai menyerang, Rona berusaha menyusun kata-kata hingga tercipta kalimat yang runut. “Jadi bener, lo ngikutin gue ke sini? Terus soal rekaman video tadi gimana?”
Sejauh ini baik dirinya dan Yuyun belum berkomunikasi lagi. Boleh jadi Yuyun sengaja memberikan ruang untuknya istirahat dan tidak menghubunginya sama sekali.
Stool yang ditempati Dov memutar hingga pria itu menghadapnya dengan sempurna.
“Permintaan maaf saya bukan untuk itu. Saya nggak mengikuti kamu sama sekali, Rona. Ini semua pure kebetulan,” terang Dov. “Saya minta maaf karena udah buat kamu merasa nggak nyaman. Sebetulnya saya mau menawarkan banyak keuntungan soal rekaman video itu dan—“
“Cukup,” potong Rona cepat. Kepalanya menggeleng kencang di saat pening makin menyiksa. “Gue tahu Step Up Entertainment itu bukan agensi kaleng-kaleng dan lo punya posisi penting di sana, tapi gue nggak akan setuju kalau lo sampai memanfaatkan peluang dari rekaman itu.”
“Rona, dengar.”
Tiap kali Dov menuturkan kata, tubuh Rona nyaris meremang hebat. Suaranya yang berat dan sorot mata tajam, penuh intimidasi itu cukup sulit ditolak mentah-mentah.
“Dov, gue nggak doyan gimmick,” tandas Rona yang terkesan tidak bisa diganggugugat. “Sekalipun kita udah kenal dari kecil dan jabatan lo yang penting banget di agensi besar, gue nggak bisa. Sori.”
Rona nyaris berlalu setelah berhasil menyambar tas miliknya. Kalau saja Dov tidak turun dari tempat duduk dan segera menahan lengannya, mungkin ia sudah melangkah dengan tubuh limbung karena pengaruh alkohol.
“Oke, tunggu.” Dov tersenyum simpul selagi berdiri menjulang di hadapan Rona. “Semua itu udah saya bahas sama manajer kamu, jadi kita nggak perlu lagi ngobrolin itu sekarang. Don’t worry.”
Tangan besar Dov bergerak dan mendarat baik di stool yang sebelumnya ditempati Rona. Dov menepuknya sambil mengulas senyum ramah.
“Duduk dulu, ya. Sayang aja ini botol yang saya beri belum kamu buka dan minum.” Botol minuman keras itu diangkat Dov dan digoyangkannya perlahan. “Kita udah bertahun-tahun nggak ketemu, masa kamu langsung pulang? Nggak ada salahnya ngobrol bareng sama kenalan lama.”
Rona menelan ludah mendapati sebotol minuman yang harganya terbilang mahal. Kedua tangannya sibuk bergerak mengibas. Pemberian pria itu terlalu mendadak dan berlebihan.
“Terima saja, sepertinya kamu jauh lebih membutuhkan ini daripada pendengar.” Tanpa membuang waktu, pria itu meminta bartender untuk membukakan botol. Lalu menuangkannya ke gelas kosong milik Rona. “Semoga dengan ini, masalahmu cepat selesai.”
Jika sudah seperti itu, Rona hanya menerima. Kapan lagi ia bisa menikmati minuman penyegar tanpa merogoh kocek. Ia menaiki stool dan menenggak wine hingga tandas.
“Thanks.”
Niatnya, ia hanya menandaskan segelas lagi, tapi sensasi panas dari minuman itu justru memancing gairahnya untuk meminum lagi dan lagi.
Kepalanya makin berat. Dunia seakan berputar-putar. Satu tangannya sontak menumpu kepala dengan jari yang perlahan mengurut pelipis.
Bibirnya mulai terbuka, menanggapi omongan Dov yang mengawali perbincangan. Keduanya saling melempar kabar semenjak Dov dan keluarganya pindah ke luar kota, ada banyak hal yang terjadi.
“Banyak orang yang menganggap saya terlalu beruntung karena keluarga sampai bisa di posisi sekarang. Padahal ya banyak naik-turunnya.”
Obrolan itu mengalir dan membuat Rona kian nyaman. Berbanding terbalik dengan pertemuan sebelumnya yang penuh adegan drama.
Sampai pada puncaknya, Rona menyadari wajahnya basah akan air mata. Senyumnya yang terulas begitu bertemu kembali dengan kawan lama justru memicu perasaan sesaknya.
“Nangis aja.” Dov menyodorkan sapu tangan padanya. “Kalau perlu cerita, saya siap jadi pendengarmu.”
Rona meringis kelu sambil menyeka air mata yang sukses membuat sapu tangan Dov lembab. Lidah dan isi kepalanya tidak sinkron hingga hanya diam yang bisa ia lakukan selama beberapa saat.
Dov menatapnya prihatin, lalu berkata, “Hubungan tiga tahun memang nggak mudah diakhiri. Saya mengerti rasanya, apalagi setelah pisah. Perlu banyak usaha untuk kembali biasa saja. Balik ke setelan awal sebelum jatuh cinta.”
“Selain jadi presdir, lo ternyata pakar cinta ya?” kekeh Rona.
“Yup, part time.”
Rona tidak bisa menyembunyikan tawanya. Ia tergelak mendapati Dov yang melempar candaan dengan wajahnya yang serius.
“Tapi kalau dipikir-pikir, mending putus kayak gini daripada baik-baik. Lo yang udah rekam pertengkaran gue sama Jeff pasti tahu kalau kami udah pisah.”
“Hmm.”
Setelah tawanya meledak, isakannya menyusul lebih kencang. Alkohol nyatanya berhasil memantik sisinya yang lain sekarang.
“Tiga tahun ternyata nggak buat gue mengenal baik dia. Gue yang egois dan nggak mikirin pacar, mungkin layak diperlakukan kayak gini.”
“Seburuk apa pun itu, perselingkuhan tetap salah. Jangan membela pengkhianatan, Rona.”
“Sakit. Sakit banget ternyata dikhianati pas lagi sayang-sayangnya,” isaknya tiada henti hingga kepalanya bergerak menyandar di pundak Dov.
Rona terus menangis kencang, tak peduli ada satu tangan yang melingkar tubuhnya erat. Dov mencoba menjaga Rona agar tidak limbung dan jatuh ke lantai.
“Kamu mabuk berat,” bisik Dov khawatir.
Satu kaki Rona perlahan turun dan diikuti kaki lainnya. “Gue baik-baik aja, bisa balik sendiri,” katanya meyakinkan.
Baru ia berdiri dengan kedua kaki, dunia terasa berputar tanpa bisa diprediksi. Pandangannya mengabur bukan karena air mata yang menggenang, tapi pening yang makin menyiksa.
Beruntung kemampuan refleksnya bisa diandalkan. Ia kembali berpegangan di lengan kekar Dov yang dibalut kemeja hitam. Pria itu ikut berdiri dan tak segan-segan membantunya kembali tegak—walau sulit.
“Biar saya antar. Bahaya kalau kamu bawa mobil sendiri.” Dov memapahnya hingga membelah kerumunan orang-orang yang asyik menari dan menikmati alunan musik keras.
Rona sesekali meracau aneh. “Tapi gue udah nggak punya tempat pulang. Apartemen gue ... udah diambil. Semuanya nggak ada yang bersisa. Gue nggak punya apa-apa, gue harus ke mana? Gue ....”
Tepat saat tangisnya kembali pecah, Rona menghentikan langkah. Ia bergerak menghadap Dov dengan cengkeraman kuat di kemeja pria itu. Perlahan kepalanya mendongak dengan sisa kesadaran yang kian menipis.
“Rona.”
Rona tersenyum simpul. “Sori, Dov. Acara reunian kita malah bikin lo nggak nyaman karena gue kayak gini. Gue terlalu banyak curhat.”
“Daripada kamu minta maaf ke saya, apa nggak lebih baik kamu balas kejahatan mantanmu dan selingkuhannya?”
“Gimana?” Rona mengerutkan kening, matanya menyipit memandangi pria di sampingnya. “Suara lo nggak jelas, musiknya—“
Tubuh Rona sontak menegang ketika pria itu mendekati wajahnya dan membisikkan kata-kata di telinganya.
“Lets having fun with me, Janish Merona.” Dari jarak sedekat itu, Rona mampu merasakan hangat napas Dov dengan baik. “Saya akan pastikan kamu lupa soal Jeff dan sakit yang dia torehkan ke kamu, Rona.”
Baru Rona merasakan kesenangan dan kepuasan sekaligus setelah melihat nasib Jeff yang berubah total, ia tersenyum dan terkekeh bahagia sambil berbaring di sofa.“Senjata makan tuan,” ujar Yuyun. “Siapa suruh selingkuh dan hamilin cewek lain. Emang enak jadi miskin dalam sekejap?”Rona melotot kaget. “Husss, jangan keras-keras. Takutnya kesialan balik ke lo, Yun.”“Ih, amit-amit deh!”
Pertanyaan Dov masih terngiang di kepala, membuat satu porsi es krim vanillanya mencair sebelum dihabiskan. “Muka lo kayak orang banyak utang, Na.”Suara Yuyun yang asal ceplos hanya bisa mengalihkan fokus Rona sebentar. Itupun hanya menggerakkan sendok di mangkuk es krim tanpa memasukannya ke mulut. “Janish Merona?”“Hmm.”
Rona pergi ke toilet setelah rapat menegangkan itu selesai. Aliran air dari kran wastafel menghujani telapak tangannya yang masih kaku akibat sikap ibunda Dov sepanjang kegiatan tadi.Baru saja ia menghela napas dan mengatur rambut, Jessi muncul dari pintu dengan wajah penuh seringai.“Ternyata Tante Widya nggak suka sama calon menantunya, ya.” Jessi berkata dan berdiri di samping Rona. “Anehnya beliau malah masih lengket sama aku, padahal aku udah jadi mantan Dov.”Sesaat Rona terdiam, lalu kembali memperbaiki penampilan. Mengoles kembali lipstick warna coral yang membuat wajahnya tampak natural dan segar.Dari omongan Jessi, Rona langsung paham maksudnya. Terutama begitu nama ibunda Dov disebutkan secara gamblang.“Perlu tips nggak?”Rona akhirnya menoleh. “Tips?”“Bukannya kamu perlu mengambil hati Tante Widya?”“Buat apa?”Sejujurnya Ron
“Rona, kenapa kamu diam?”Ruangan itu hening. Hanya suara pendingin ruangan yang berdengung pelan, bersahutan dengan detak jantung Rona yang mendadak terasa nyaring di telinganya.Dov duduk di hadapannya, masih dengan raut serius. Berbeda dengan matanya yang memancarkan ketenangan, juga ketertarikan yang mampu Rona tebak.Semua ini kelewat membingungkan, walaupun segala sikap Dov sudah terlihat jelas arahnya. Namun Rona masih saja terbawa takut setelah dikhianati Jeff yang berani memilih wanita lain, bahkan menghamilinya.“Rona,” panggil Dov lagi. “Apa kamu masih khawatir soal orang tuaku?”Rona menelan ludah. Kata "tunangan" menggema di benaknya, tapi bukannya membuatnya tersenyum, ia malah merasa seperti terjebak di dalam ruang tanpa jendela.“Dov, kayaknya kita—” Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Lidahnya kelu.Hatinya tidak terasa diremat-remat seperti saat menjumpai Jeff memilih Wena. Perutnya justru merasakan ratusan kepak kupu-kupu yang bersemayam lama.Apakah ini cinta?
“Berani-beraninya kamu mempermalukan Mama di depan staf kamu, Dov! Dan kamu melakukannya demi wanita pansos itu?!” Wanita paruh baya itu menggersah kasar sambil memijit pelan keningnya yang berdenyut-denyut. “Mau ditaruh mana muka Mama ini sekarang? Kamu jelas-jelas membela orang asing daripada ibumu sendiri.”Baru saja Dov masuk ke ruang kerjanya setelah mengantar Rona ke ruangan privasi yang sengaja dibuat untuk istirahat di sela-sela kesibukan. Lalu sekarang ia harus dihadapkan ibunya sendiri yang masih mencerocos penuh keluhan.“Lihat sendiri, kan, Jessi? Dov itu benar-benar kelewatan!” Mama kini mulai menarik mantan Dov seakan-akan sangat membutuhkan pertolongan. “Kayaknya benar apa kata kamu, Dov kena pelet wanita itu. Buktinya sekarang, dia berani sama ibunya sendiri. Sama Tante lho, orang yang melahirkan dia.”Dov meraup wajah kasar sambil menatap betapa berlebihannya omongan sang ibu. Pun tatapan Jessi yang menunjukkan keprihatinan padanya. “Tenang aja, Tante. Mungkin Dov la
“Tumben banget muka lo berseri-seri gini?”Yuyun menatap Rona dengan raut keheranan. Kedua alis yang belum dilukis itu bertaut dan disertai kening yang berkerut-kerut.Rona mengangkat wajah dari tablet yang berada di pangkuan. Ia membalas tatapan Yuyun sambil mengerjap pelan. “Ada yang salah?”“Tuh.” Yuyun mengedik pada tampilan tablet yang menunjukkan betapa pad