“Hah? Serius lu?” tanya seseorang disamping, tapi aku tidak menghiraukannya.
“Nak Lukman. Nanti sepulang sekolah bisa segera ke ruangan saya lagi, kita ngobrol-ngobrol dengan ketua panitianya ya.”
Pak Kepala Sekolah tersenyum dengan penuh kemenangan ke arahku.
“Man? Beneran?”
“Apaan?”
“Itu?”
“Bodo ah!”
Ku acuhkan sosok pimpinan puncak yang masih mengumbar senyum piciknya di samping pintu kelas, juga orang-orang yang menatap dan saling menggunjing membicarakanku.
“Hihihi…. Jadi anak sosial. Sejak kapan prema
Aku mendadak bingung dengan apa yang tiba-tiba Denise lakukan. Tahu-tahu dia muncul di depanku lalu memeluk dengan amat eratnya sampai-sampai aku kesulitan bernapas."Ssshhh… Man… I need you, beib,” desahnya sambil tapak tangannya meremas-remas di punggung."Eh… Nise...""Jangan munafik, Sayang. Gue tau elo juga pengen banget meluk gue kan? Ayo, Sayang, gue di sini, Sayang. Peluk gue, Sayang. Ayo peluk gue."Tangannya dengan liar menarik dan mencakar-cakar punggungku lagi. Sedang dadanya yang sekal dan kenyal menekan-nekan sesak di dadaku.Tiba-tiba satu tangannya turun lalu meremas-remas pangkal pahaku dengan keras hingga aku,"Ahhh…. shit!! Naka
Kupandang wajah eloknya itu sesaat. Dia, cantik. Parasnya begitu natural, sederhana, tidak lebih. Namun sungguh. Cantik! "Maaf, elu salah orang!" "Tapi kata anak-anak, yang namanya Lukman itu, ya kamu. Anak SMU yang bisa dikenali dari penampilannya dan sahabatnya yang--" "Berandalan? Begitu kan maksud lu?" potongku cepat setelah biji matanya berpindah mengamati pria-pria di belakang punggung. Gadis itu langsung mengernyitkan dahinya tanda tidak sependapat. "Bukan gitu, mak--" "Udah ah, gua lagi sibuk. Permisi." Lekas-lekas aku melangkah seraya mengabaikannya. Bahkan saat berpapasan,
"Pergi! Kembali ke kelasmu sana!"Bapak itu kemudian membalikkan badannya seraya mengusirku dengan tenang. Namun saat kakiku hendak melangkah, bibirnya berucap lagi."Jangan lupa. Nanti, sepulang sekolah ada rapat koordinasi. Kamu sudah tahu kan, dimana tempatnya?"Aku mengangguk. Lalu tanpa menunggu kalimatnya yang lain, aku lekas berbalik, dan dengan amat acuhnya segera meninggalkan tempat tersebut.Kususuri koridor sekolah yang sesekali diisi oleh siswanya yang diam-diam mencuri pandang ke arahku.Aku tahu, dalam sorot-sorot mata yang singkat itu, mereka seolah berkata, ada urusan apalagi nih si anak bengal?"Eh, udah balik, Nyet?" tanya Brian sambil menoleh."Diapain aja lu, di sana?" sambungnya.Bibirku hanya diam sambil kutatap datar wajahnya yang terus bertanya-tanya."Woy! Ditanya, diem aja. Kesambet setan gagu ya?""Bawel lu!"Tanganku langsung menarik tong tempat sampah yang ada di sebelah Jonathan. Begitu ia sudah ada di belakang, segera kuubah fungsinya sebagai kursi yang
"Nanti sore, kamu ada acara?""Jawab dulu pertanyaan gua. Nama lu siapa? Kita belum kenalan.""Kalau nanti sore kosong, kita ketemu di toko buku depan kompleks. Jam lima ya. Jangan telat. Aku sudah janji mau ketemu sama ownernya."Seketika kugenggam tangannya yang mungil."Nama lu siapa?""Jam lima. Toko buku depan kompleks. Terima kasih," ujarnya sambil mengentakan pergelangannya.Begitu dia berhasil melepas cengkeramanku, tubuhnya berbalik lagi dan pergi meninggalkanku."Jam lima. Toko buku depan kompleks. Harus gitu? Cewek aneh."***Pikiranku seperti masih dibuat bingung saat biji mata ini melirik ke arah jam meja lagi. Di sana, jarumnya sudah mengatur diri dengan sempurna sehingga menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh sore.Begitu aku berhasil membaca maksud jarum-jarum itu, aku langsung menjatuhkan lagi tubuh ke atas kasur."Jam lima. Tiga puluh menit lagi. Cukuplah kalau mau ke sana. Telat sedikit sih," ucap bibirku pelan.Pikiranku tetiba terbang ke angan lain. Di sana, aku
"Tapi apa? Cukup ya. Saya rasa tidak perlu penjelasan lagi.""Pak.. Pak.. Tapi-"Pria itu kemudian maju lebih dekat ke arahku."Sebaiknya Anda pergi dari sini, atau mau saya panggil keamanan?" katanya dengan mata melotot dan nada yang mengancam.Aku mendengus di depannya. Tak peduli dan merasa tidak takut dengan ucapannya barusan."Anda juga. Silahkan pergi.""Tap-Maafkan sa-kami ya, Pak," kata gadis satu kelompokku itu.Dia berjalan gontai ke sampingku, namun tak lama ia memutar kembali."Pak. Mohon dipertimbangkan tawaran saya ya. Jika bukan Bapak yang terlibat, kiranya siapa lagi yang masih memiliki nurani yang tulus.""Nanti saya pikirkan kembali. Tapi tidak untuk saat ini. Silahkan pergi. Jika saya butuh, akan saya kontak.""Ba-baik, Pak. Terima kasih.""Kita balik? Udahan?"Gadis itu menatapku dengan amat kesal. Lalu dia melengos begitu saja.Aku masih bersitatap dengan pria berdasi yang kemudian merapikan barang-barangnya yang berserakan. Dibantu dua pramuniaganya yang sesekali
“Come on, Sayang,” bujuknya lagi. Bibirnya kemudian digigit-gigit manja bersama kedipan bulu matanya yang kian menggoda.“Nise…. Kit–”Tanpa kusangka, Denise langsung melumat bibirku lagi dengan gairahnya. Libidoku pun meledak dan memuncak, menjalar ke sekujur tubuh untuk membangkitkan gelora liar yang lain.“Ahh…. Shit! Denise…Shhh...” desahku sambil merengkuh tubuh montoknya.“Come on, Honey.”Tanganku langsung mengacak liar di seluruh liuk tubuhnya, hingga kemudian kedua tangan ini melepaskan semua pakaian kami.Entah berapa lama aku memainkan pemanasan itu. Mungkin kali ini lebih liar dari yang sebelumnya. Denise sepertinya amat menikmati semangat kejantananku. Lidahnya dengan lincah menjilat-jilat daun telingaku, lalu turun ke leher, dada, bulu-bulu halus di atas perutku, kemudian dengan penuh kegirangan menikmati bagian keras yang berdenyut dengan gagah.“Ahh…”Permainan panas itu pun kian berlanjut ke babak yang lebih memanas. Sungguh-sungguh permainan yang luar biasa.Tak ada
[Nise, beneran lu ngirimin gue motor? Anjir. Gua harus bilang apa? Thanks ya.] Sejenak bibirku tersenyum sendirian di keremangan kamar ketika pesan itu berhasil terkirim. Kini aku memikirkan apa yang harus kukatakan besok ke teman-teman di sekolah. Pastinya, besok adalah babak baru buatku. *** Pagi itu aku berangkat ke sekolah dengan semangat yang berapi-api. Ibu pun menangkap alasan yang membuatku bereuforia seperti itu. Dengan wajah yang berseri, kubelah jalanan kecil yang membagi kompleks perumahan, dilanjut jalanan aspal yang ramai dan bising, hingga kemudian kuparkirkan motor baru itu di sudut parkiran sekolah. Denise. Dia pun melempar senyum hangat saat aku memasuki kelas dan duduk di kursi. Dalam senyum kecilku ini, dia menangkap apa maksudnya. Saat pulang sekolah, semua kawanku terheran dan terkaget dengan apa yang aku tumpangi. “Anjir, ada anak sultan. Banyak duit lu?” “Menang lotere apa dibeliin tante girang? Wkwkwkwkwkw,” sambung Frans. Aku diam sambil mengulum se
"Hai," ucap wanita itu dengan penutup senyuman ramah.Bulu matanya yang lentik seolah menghipnotisku. Dia begitu cantik untuk usianya yang sudah tidak muda lagi. Bahkan jika boleh dikata, mungkin usianya setara dengan usia ibu. Sepertinya begitu menurut penilaianku.Ia selanjutnya duduk di tepi ranjang, lalu Brian menjamunya bak tamu yang benar-benar istimewa.Setelah dua teguk minuman di gelasnya dihabiskan bersama senda gurau kami, Brian kemudian memangku dan mulai mencumbu lehernya, yang tak lama menjalar ke pangkal dadanya. Sungguh-sungguh pemandangan yang amat menggugah gairah.Jonathan pun meletakkan gelasnya yang masih berisi bir di seperempat bagiannya. Ia rupanya sudah tak tahan untuk ikut meramaikan suasana. Jika Brian menyerang dari sisi belakang Carlitta, maka Jo memainkan perannya dari bagian depan.Aku sampai terkekeh sejenak.“Buset, kita lagi nonton live,” seringaiku ke Frans yang tak bergeming.Tak lama, pertahanan Frans pun bobol. Ia segera menaruh gelasnya dengan se