Aku menghentak-hentakkan kakiku di lantai kamar setelah mengunci rapat pintunya. Setelah sampai, aku sama sekali tak berkata apapun pada kedua adikku yang menatapku bingung. Kekesalan dan sakit hati membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya.
Tak sadar, air mataku menetes. Aku segera mengusapnya. Kenapa aku harus menangisi laki-laki kadal macam Elzard. Kenapa Elzard tega mengkhianatiku? Kenapa Elzard tega menyelingkuhiku? Tapi jangan-jangan, justru akulah selingkuhannya. Ah, membayangkan itu membuat diriku semakin kesal. Bayangan pernikahan tahun depan buyar sudah. Laki-laki yang kuyakin akan menjadi suamiku nyatanya tega menduakanku. Aku memilih untuk segera membersihkan diri. Sepertinya aku butuh air dingin sekarang juga. Tak butuh waktu terlalu lama, aku sudah segar dengan rambut basah yang kugulung dengan handuk. Kakiku langsung menaiki ranjang, cukup dingin. Tanganku bergerak membuka ponselku. Ada pesan masuk dari Nona Claire. -- Garden Miles Cafe. 14.00 PM. Jangan telat. Kuharap kamusudah menentukan jawabannya. -- Aku baru ingat dengan penawaran nona Claire. Hampir saja lupa. Bagaimana ini? Apakah aku harus benar-benar menerima tawaran ini? Aku tidak mungkin bilang ke Ibu dan kedua adikku. Tapi, setidaknya pemberat untuk menerima keputusan ini berkurang satu. Elzard sudah bukan siapa-siapaku lagi. Baru saja aku ingin membalas pesan dari nona Claire, pesan masuk dari Pak James membuatku mengurungkan niat. -- Diana? Sudah tidur? Bisakan kamu mengirimkan draft meeting dengan Pak Ricard sekarang? Segera ya. -- Aku segera membuka laptop dan mencari draft meeting permintaan Pak James. Segera kukirimkan file itu ke email pribadinya. Tak lama, pesan Pak James yang mengucapkan terima kasih masuk ke ponselku. Aku kembali bimbang. Pak James begitu baik padaku. Ia begitu profesional. Sangat jarang beliau marah kecuali memang benar-benar karena keteledoranku. Lalu, bagaimana bisa aku menggodanya. Bagaimana bisa aku berniat merusak rumah tangganya, meskipun atas permintaan istrinya sendiri. Suara ketukan pintu membuatku membuyarkan lamunan. Adik perempuanku memanggilku untuk makan malam bersama. Aku segera keluar dan disambut dengan masakan rumahan buatan adik perempuanku. "Wah, udang saus padang." Aku bersorak girang saat melihat menu favoritku terhidang di meja makan. Adikku tersenyum senang. Dia memang selalu bisa membuatku moodku membaik dengan masakannya. Meskipun begitu, kami akhirnya makan dengan hening. Sejak ibuku sakit, meja makan bukan lagi tempat bercerita. Dulu, ibu selalu membuat meja makan menjadi tempat paling ramai dan tempat pulang. Tempat untuk menceritakan segala keluh kesah seharian. Tapi, ibu sedang sakit sekarang. Sudah cukup lama tidak bergabung di meja makan. "Gimana seleksinya, Rin?" tanyaku pada adik perempuanku. Riana menoleh dengan wajah sumringah. "Aku keterima, Kak." Dia lalu diam. Wajahnya berubah murung. "Tapi, biaya masuknya mahal karena aku ikut seleksi mandiri. Apa aku mundur aja, ya?" Aku segera menggeleng cepat. "Nggak-nggak. Jangan. Sayang banget kalau mundur, Rin. Fakultas kedokteran itu impian kamu kan, impian ibu juga. Jadi jangan mundur. Kakak bakal cari uangnya buat kamu. Kamu fokus belajar aja, biar jadi dokter hebat. Biar bisa ngobatin ibuk." Aku berucap yakin, meskipun aku paham bahwa biaya yang dibutuhkan pasti tak sedikit. "Tapi, Kak. Riana nggak mau nyusahin Kak Diana. Riana gap year aja ya, Kak. Biar bisa kerja dulu." "Enggak. Pokoknya nggak. Kamu harus mulai kuliah tahun ini. Jangan mikirin biaya. Kerjaan kakak lagi bagus, banyak bonus. Jadi, kakak masih sanggup kok biayain kuliah kamu." Pandanganku beralih ke arah Dino, adik laki-lakiku yang kini sudah masuk semester 3. "Kalau kamu gimana, Din? Lancar kuliahnya." "Lancar, Kak. Tapi....—" Dino tak melanjutkan ucapannya. Ia terlihat ragu untuk mengucapkan sesuatu. "Tapi kenapa?" tanyaku. "Sebenarnya, Dino ada tawaran exchange ke Australia. Satu semester. Cuma, biaya hidup buat di sana nggak diback up sama kampus atau beasiswa. Jadi, Dino masih mikir-mikir. Terlebih lagi, satu semester di sana berarti Dino nggak bisa jagain ibuk di sini." Aku terdiam sejenak. Aku tahu Dino anak yang pintar. Selama ini, dia mendapat beasiswa. Dia juga sering ikut lomba. Pantas saja jika dia mendapat tawaran untuk study exchange ke luar negeri. Itu adalah kesempatan emas untuk Dino. "Ambil aja, Din. Sayang banget kalau ditolak. Nanti kakak usahakan buat dapat uangnya. Soal ibuk, kamu nggak usah mikirin dulu. Biar Kakak sama Riana yang jaga. Pengalaman exchange apalagi ke luar negeri bakal berguna banget buat kamu nanti, Din." "Tapi, Kak. Biaya hidup di Aussie pasti mahal banget—" "Hust! Jangan dipikirin. Pokoknya kalian berdua fokus pendidikan dulu. Kakak akan usahakan. Jangan mikir macam-macam." Lalu, kami hening kembali. Hanya ada dentingan sendok dan piring yang beradu. Pikiranku berkecamuk, apakah aku benar-benar harus menerima tawaran uang 25 Milyar itu? "Huek ... huek." Suara ibuk membuat kami buru-buru menuju kamar. Aku membelalak. Ibu muntah-muntah, berwarna kehitaman. Apa itu darah? Tanpa menunggu lagi, aku langsung meminta Riana memesan taxi. Kubopong ibu bersama Dino setelah membersihkan muntahannya. Kami segera pergi ke rumah sakit. Satu hal yang paling kutakutkan adalah ibu tidak lagi bisa menemani kami. Sejujurnya, aku dan adik-adikku pernah tak akur dulu. Dan ibu yang membuat kami bisa memperbaiki hubungan seperti sekarang. Kata dokter, lambung ibu luka. Ada darah yang teroksidasi dengan asam lambung. Maka dari itu muntahan ibu berwarna kehitaman. Aku meringis ngilu saat ibu terpaksa dipasang selang makan. Sebelumnya, separah apapun kondisi ibu, beliau belum pernah sampai dipasang selang makan. "Bagaimana, Dokter? Apa kondisi ibu membahayakan?" tanyaku pada dokter Danu yang menangani Ibu. "Sama seperti bulan lalu, Diana. Ibumu harus segera dipasang ring di jantungnya. Tidak ada waktu lagi. Secepatnya setelah kondisi lambungnya membaik, Ibumu harus segera dioperasi." Aku mengangguk paham. Dokter Danu kemudian pamit undur diri. Lagi-lagi, momen kesulitan ekonomi membuatku kembali berpikir soal tawaran nona Claire. Keluargaku, semua sedang bergantung padaku. Apa yang kukerjakan kali ini, bukan karena aku yang menginginkannya. Aku terpaksa. Nona Claire yang menawarkan dan membuka jalan. Jadi, tak apa, kan? Dengan keyakinan dan harapan, aku membuka ponselku. Membuka pesan dari nona Claire yang belum sempat kubalas. Mengetikkan pesan balasan di sana, dan langsung mengirimnya. --Baik, Nona Claire. Besok saya akan datang. Saya sudah memutuskan.-- Aku menghela napas panjang. Semoga keputusanku ini bukan sesuatu yang akan kusesali nantinya.Malam harinya, aku menjenguk ibu. Riana dan Dino ku suruh pulang sebentar untuk membersihkan diri dan makan malam. Kami gantian berjaga. Aku tau, meskipun aku lelah bekerja, Riana dan Dino pasti juga merasa lelah karena menunggu orang yang sakit di rumah sakit. Ibu sudah sadar pagi tadi. Saat ini ia tengah tertidur pulas setelah perawat membantu membersihkan tubuhnya. Kondisinya berangsur membaik, meskipun sekarang masih dalam masa pemulihan dan pembersihan dalam lambungnya. Cairan berwarna hitam masih setia mengalir dari selang makan miliknya, tapi warnanya tak sepekat sebelumnya. Aku menatap ibu. Menggenggam tangannya dengan lembut. Ibu bergerak pelan, lalu kembali tertidur pulas. Tadi, aku sudah menemui dokter Danu. kembali berkonsultasi soal kondisi ibuku dan rencana operasi pemasangan ring jantung. Dokter Danu menyarankan segera. Dan aku akhirnya menyetujui setelah berbincang juga dengan kedua adikku. Ibu belum tau terkait rencana opera
Perutku keroncongan satu jam sebelum jam pulang. Mungkin karena tadi pagi aku tidak sarapan dan malah minum kopi. Lalu siangnya, aku hanya memesan pasta yang porsinya hanya sedikit menurutku. Aku mendesah panjang. Menumpukan kepalaku di meja kerjaku. Kenapa jam pulang terasa lama sekali. Pekerjaanku sebenarnya hanya tinggal sedikit. Tapi saat lapar, otakku tak bisa berpikir jernih. Pak James tiba-tiba keluar dari ruangannya. Aku segera menegakkan tubuhku, lalu pura-pura memencet cepat keyboard komputerku. "Ada apa, pak James? Butuh sesuatu?" tanyaku. Pak James tampak melihat ke sekeliling meja kerjaku. Lalu menatapku dengan alis yang naik sebelah. Naasnya, tiba-tiba perutku bersuara nyaring, membuatnya tertawa keras. Kenapa pas sekali. Aku malu. Tanpa sepatah katapun, pak James langsung pergi meninggalkanku, kembali masuk ke dalam ruangannya. Aku mengehela napas panjang. Lalu menepuk-nepuk kedua sisi pipiku yang memerah. Ah aku benar-benar malu. Baru saja aku mene
Aku memandang setengah gugup ke arah pintu ruangan pak James. Biasanya tidak seperti ini. Hampir 5 tahun bekerja dengan pak James, membuatku cukup terbiasa dengannya. Tapi hari ini, aku merasa sangat gugup. Mungkin karena aku memiliki niat lain selain menjadi sekretaris pak James kali ini. "Selamat pagi, Pak James. Bagaimana pagi Anda hari ini?" tanyaku ramah, seperti biasanya. Pak James memandangku dengan senyum ramahnya, seperti biasanya. Namun, kali ini ia menampilkan raut heran. Menatap tubuhku dari atas ke bawah. "Baik. Kamu gimana, Diana? Sepertinya harimu sangat baik hari ini?" tanyanya. Aku tersenyum kikuk. Lalu menggeleng pelan. "Ya, seperti biasanya pak James," kataku sedikit tertawa. Aku lalu menyampaikan agenda beliau hari ini dari pagi hingga sore, berikut juga dengan agenda meeting dan pembahasannya, juga jadwal pertemuan di luar meeting dengan salah satu investor perusahaan ini.
Kami bertemu tepat pukul 2 siang di tempat yang sudah dipilih nona Claire. Tadinya aku bilang izin kepada Pak James untuk mengunjungi ibuku di rumah sakit sebentar. Untung saja pekerjaanku hari ini sudah luang, jadi pak James mengizinkan. Nona Claire sudah menungguku. Saat mata kami bertemu, aku bisa melihat antusias darinya. Mungkin dia sudah tau apa jawabanku nanti. "Duduk, Diana." Nona Claire menyuruhku duduk di depannya, lalu ia menyodorkan minuman dingin yang sudah ia pesan padaku. "Minum dulu. Kamu terlihat banyak pikiran." Aku mengangguk pelan dan mengucapkan Terima kasih. Segera kuteguk minuman dingin dari nona Claire, cukup untuk membasahi tenggorokanku dan menyegarkan pikiranku. Mataku beralih menatap nona Claire yang tampak menungguku. "Bagaimana Diana? Aku tau kamu sedang banyak masalah keuangan. Maka dari itu, aku menawarkan pekerjaan ini kepadamu. Karena aku ingin membantumu. Kuharap kamu tidak mengecewakanku," ucapnya. Aku menarik napas dalam. Mencoba untu
Aku menghentak-hentakkan kakiku di lantai kamar setelah mengunci rapat pintunya. Setelah sampai, aku sama sekali tak berkata apapun pada kedua adikku yang menatapku bingung. Kekesalan dan sakit hati membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tak sadar, air mataku menetes. Aku segera mengusapnya. Kenapa aku harus menangisi laki-laki kadal macam Elzard. Kenapa Elzard tega mengkhianatiku? Kenapa Elzard tega menyelingkuhiku? Tapi jangan-jangan, justru akulah selingkuhannya. Ah, membayangkan itu membuat diriku semakin kesal. Bayangan pernikahan tahun depan buyar sudah. Laki-laki yang kuyakin akan menjadi suamiku nyatanya tega menduakanku. Aku memilih untuk segera membersihkan diri. Sepertinya aku butuh air dingin sekarang juga. Tak butuh waktu terlalu lama, aku sudah segar dengan rambut basah yang kugulung dengan handuk. Kakiku langsung menaiki ranjang, cukup dingin. Tanganku bergerak membuka pons
"Aku ingin kamu menggoda suamiku."Ucapan nona Claire sontak membuatku terkejut. Sangat terkejut. Apa dia sudah gila? Menyuruh perempuan lain untuk menggoda suaminya sendiri? Oke, mungkin jika suaminya jelek, gendut, miskin, mata keranjang, akan sedikit masuk akal. Tapi suaminya adalah Pak James, orang yang masuk daftar 10 orang terkaya di kota ini. Jangan lupakan fisiknya yang— ah, melihatnya saja pasti sudah membuat perempuan kejang-kejang. Di usia yang terbilang masih muda—sekitar 40 tahunan mungkin—dia terlihat sangat tampan dan maskulin, ditambah tubuhnya yang cukup kekar dan berotot. Lalu, Pak James dikenal sebagai sosok yang cinta keluarga. Tidak pernah sedikit pun rumor yang beredar mengatakan Pak James mendua. Ia bahkan digadang-gadang menjadi pria paling setia di kota ini. Dengan kekayaan dan ketampanan yang ia punya, Pak James bisa saja memiliki banyak wanita simpanan. Tapi, setahuku, 10 tahun pernikahan nona Claire dan pak James, tak pernah s