Share

Pilihan Sulit

Author: Pebyuna
last update Last Updated: 2025-09-23 18:56:53

Aku menghentak-hentakkan kakiku di lantai kamar setelah mengunci rapat pintunya. Setelah sampai, aku sama sekali tak berkata apapun pada kedua adikku yang menatapku bingung. Kekesalan dan sakit hati membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya.

Tak sadar, air mataku menetes. Aku segera mengusapnya. Kenapa aku harus menangisi laki-laki kadal macam Elzard. Kenapa Elzard tega mengkhianatiku? Kenapa Elzard tega menyelingkuhiku?

Tapi jangan-jangan, justru akulah selingkuhannya. Ah, membayangkan itu membuat diriku semakin kesal. Bayangan pernikahan tahun depan buyar sudah. Laki-laki yang kuyakin akan menjadi suamiku nyatanya tega menduakanku.

Aku memilih untuk segera membersihkan diri. Sepertinya aku butuh air dingin sekarang juga.

Tak butuh waktu terlalu lama, aku sudah segar dengan rambut basah yang kugulung dengan handuk. Kakiku langsung menaiki ranjang, cukup dingin. Tanganku bergerak membuka ponselku. Ada pesan masuk dari Nona Claire.

-- Garden Miles Cafe. 14.00 PM. Jangan telat. Kuharap kamusudah menentukan jawabannya. --

Aku baru ingat dengan penawaran nona Claire. Hampir saja lupa. Bagaimana ini? Apakah aku harus benar-benar menerima tawaran ini? Aku tidak mungkin bilang ke Ibu dan kedua adikku. Tapi, setidaknya pemberat untuk menerima keputusan ini berkurang satu. Elzard sudah bukan siapa-siapaku lagi.

Baru saja aku ingin membalas pesan dari nona Claire, pesan masuk dari Pak James membuatku mengurungkan niat.

-- Diana? Sudah tidur? Bisakan kamu mengirimkan draft meeting dengan Pak Ricard sekarang? Segera ya. --

Aku segera membuka laptop dan mencari draft meeting permintaan Pak James. Segera kukirimkan file itu ke email pribadinya. Tak lama, pesan Pak James yang mengucapkan terima kasih masuk ke ponselku.

Aku kembali bimbang. Pak James begitu baik padaku. Ia begitu profesional. Sangat jarang beliau marah kecuali memang benar-benar karena keteledoranku. Lalu, bagaimana bisa aku menggodanya. Bagaimana bisa aku berniat merusak rumah tangganya, meskipun atas permintaan istrinya sendiri.

Suara ketukan pintu membuatku membuyarkan lamunan. Adik perempuanku memanggilku untuk makan malam bersama. Aku segera keluar dan disambut dengan masakan rumahan buatan adik perempuanku.

"Wah, udang saus padang." Aku bersorak girang saat melihat menu favoritku terhidang di meja makan. Adikku tersenyum senang. Dia memang selalu bisa membuatku moodku membaik dengan masakannya.

Meskipun begitu, kami akhirnya makan dengan hening. Sejak ibuku sakit, meja makan bukan lagi tempat bercerita. Dulu, ibu selalu membuat meja makan menjadi tempat paling ramai dan tempat pulang. Tempat untuk menceritakan segala keluh kesah seharian. Tapi, ibu sedang sakit sekarang. Sudah cukup lama tidak bergabung di meja makan.

"Gimana seleksinya, Rin?" tanyaku pada adik perempuanku. Riana menoleh dengan wajah sumringah.

"Aku keterima, Kak." Dia lalu diam. Wajahnya berubah murung. "Tapi, biaya masuknya mahal karena aku ikut seleksi mandiri. Apa aku mundur aja, ya?"

Aku segera menggeleng cepat. "Nggak-nggak. Jangan. Sayang banget kalau mundur, Rin. Fakultas kedokteran itu impian kamu kan, impian ibu juga. Jadi jangan mundur. Kakak bakal cari uangnya buat kamu. Kamu fokus belajar aja, biar jadi dokter hebat. Biar bisa ngobatin ibuk." Aku berucap yakin, meskipun aku paham bahwa biaya yang dibutuhkan pasti tak sedikit.

"Tapi, Kak. Riana nggak mau nyusahin Kak Diana. Riana gap year aja ya, Kak. Biar bisa kerja dulu."

"Enggak. Pokoknya nggak. Kamu harus mulai kuliah tahun ini. Jangan mikirin biaya. Kerjaan kakak lagi bagus, banyak bonus. Jadi, kakak masih sanggup kok biayain kuliah kamu."

Pandanganku beralih ke arah Dino, adik laki-lakiku yang kini sudah masuk semester 3. "Kalau kamu gimana, Din? Lancar kuliahnya."

"Lancar, Kak. Tapi....—" Dino tak melanjutkan ucapannya. Ia terlihat ragu untuk mengucapkan sesuatu.

"Tapi kenapa?" tanyaku.

"Sebenarnya, Dino ada tawaran exchange ke Australia. Satu semester. Cuma, biaya hidup buat di sana nggak diback up sama kampus atau beasiswa. Jadi, Dino masih mikir-mikir. Terlebih lagi, satu semester di sana berarti Dino nggak bisa jagain ibuk di sini."

Aku terdiam sejenak. Aku tahu Dino anak yang pintar. Selama ini, dia mendapat beasiswa. Dia juga sering ikut lomba. Pantas saja jika dia mendapat tawaran untuk study exchange ke luar negeri. Itu adalah kesempatan emas untuk Dino.

"Ambil aja, Din. Sayang banget kalau ditolak. Nanti kakak usahakan buat dapat uangnya. Soal ibuk, kamu nggak usah mikirin dulu. Biar Kakak sama Riana yang jaga. Pengalaman exchange apalagi ke luar negeri bakal berguna banget buat kamu nanti, Din."

"Tapi, Kak. Biaya hidup di Aussie pasti mahal banget—"

"Hust! Jangan dipikirin. Pokoknya kalian berdua fokus pendidikan dulu. Kakak akan usahakan. Jangan mikir macam-macam."

Lalu, kami hening kembali. Hanya ada dentingan sendok dan piring yang beradu. Pikiranku berkecamuk, apakah aku benar-benar harus menerima tawaran uang 25 Milyar itu?

"Huek ... huek." Suara ibuk membuat kami buru-buru menuju kamar. Aku membelalak. Ibu muntah-muntah, berwarna kehitaman. Apa itu darah?

Tanpa menunggu lagi, aku langsung meminta Riana memesan taxi. Kubopong ibu bersama Dino setelah membersihkan muntahannya. Kami segera pergi ke rumah sakit.

Satu hal yang paling kutakutkan adalah ibu tidak lagi bisa menemani kami. Sejujurnya, aku dan adik-adikku pernah tak akur dulu. Dan ibu yang membuat kami bisa memperbaiki hubungan seperti sekarang.

Kata dokter, lambung ibu luka. Ada darah yang teroksidasi dengan asam lambung. Maka dari itu muntahan ibu berwarna kehitaman. Aku meringis ngilu saat ibu terpaksa dipasang selang makan. Sebelumnya, separah apapun kondisi ibu, beliau belum pernah sampai dipasang selang makan.

"Bagaimana, Dokter? Apa kondisi ibu membahayakan?" tanyaku pada dokter Danu yang menangani Ibu.

"Sama seperti bulan lalu, Diana. Ibumu harus segera dipasang ring di jantungnya. Tidak ada waktu lagi. Secepatnya setelah kondisi lambungnya membaik, Ibumu harus segera dioperasi."

Aku mengangguk paham. Dokter Danu kemudian pamit undur diri. Lagi-lagi, momen kesulitan ekonomi membuatku kembali berpikir soal tawaran nona Claire.

Keluargaku, semua sedang bergantung padaku. Apa yang kukerjakan kali ini, bukan karena aku yang menginginkannya. Aku terpaksa. Nona Claire yang menawarkan dan membuka jalan. Jadi, tak apa, kan?

Dengan keyakinan dan harapan, aku membuka ponselku. Membuka pesan dari nona Claire yang belum sempat kubalas. Mengetikkan pesan balasan di sana, dan langsung mengirimnya.

--Baik, Nona Claire. Besok saya akan datang. Saya sudah memutuskan.--

Aku menghela napas panjang. Semoga keputusanku ini bukan sesuatu yang akan kusesali nantinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misi Menggoda Bos Tampan   Sadar

    Hari ini aku tak masuk kerja. Seperti yang sudah kukatakan pada pak James beberapa waktu lalu. Hari ini jadwal ibu operasi, jadi aku ingin menemaninya. Aku duduk merenung setelah 2 jam berlalu sejak ibu masuk ruangan operasi. Tidak, aku tidak memikirkan atau khawatir soal keadaan ibu. Dokter Danu paling ahli di bidang ini. Jadi, aku sangat percaya padanya bisa melakukan yang terbaik untuk ibu. Kondisi ibu juga berangsur membaik, jauh lebih baik dari sebelumnya sebelum masuk kamar operasi. Jadi, harusnya ibu akan baik-baik saja. Pikiranku justru berkelana pada kondisi pak James. Setelah hari di mana pak James mengatakan bahwa ia mandul, aku sedikit khawatir. Pak James mungkin berpikir jika ia sangat bertanggung jawab atas kejadian malam bersama nona Claire. Lalu, saat tau dirinya tidak bisa menghamili nona Claire, pak James merasa semakin bersalah. Mungkin itu sebabnya pak James begitu putus asa. Nona Claire yang berseli

  • Misi Menggoda Bos Tampan   Kebenaran yang Mengejutkan

    "Diana, menurutmu, perempuan lebih suka laki-laki yang membebaskannya untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan, atau mengekangnya dengan segala aturan?" Pak James tiba-tiba berhenti mengunyah. Ia manatapku, menunggu jawaban. Saat ini, kami sedang berada di warung nasi padang yang sama seperti yang kami kunjungi beberapa waktu lalu. Ini kedua kalinya pak James mengajakku kemarin. Tadinya, kupikir pak James akan mengurung diri di ruangannya setelah masalah yang ia hadapi dengan nona Claire. Tapi, ternyata tidak. Ia malah mengajakku ke sini. "Tentu saja pilih laki-laki yang membebaskan saya untuk melakukan segala hal yang saya mau. Tapi, bukan dalam artian sebebas-bebasnya. Perempuan itu suka diperhatikan, Pak. Jadi, dibebaskan dalam artian didukung, asalkan itu baik. Memangnya kenapa, Pak? Tumben Bapak tanya hal seperti ini?" Pak James hanya menggeleng pelan, lalu kembali menyantap makanannya. Membuatku bertanya-tanya. Apakah ini ada hubungannya dengan nona Claire. "Em, saya

  • Misi Menggoda Bos Tampan   Kabur?

    "Selamat pagi, Pak," sapaku pada Pak James yang sedang sibuk menatap layar tablet miliknya. Kacamata yang ia pakai menambah kesan wibawa. Pak James menatapku, lalu melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di meja. "Selamat pagi, Diana," jawabnya dengan senyum samar. Ia memandangku aneh, sedikit menaikkan alisnya. "Kamu sedang tak enak badan?" tanyanya. Aku sedikit bingung awalnya. Namun, pak James melirik syal yang kukenakan, membuatku paham maksud pertanyaannya. Aku segera menggeleng pelan, lalu akhirnya mengangguk karena kupikir akan lebih baik jika aku berbohong. "Iya, sedikit tidak enak badan pak James. Tapi saya masih kuat bekerja," kataku. Pak James menatapku seakan tak percaya. Tapi, pada akhirnya ia mengangguk saja. Lagipula, tidak mungkin juga jika aku mengatakan yang sejujurnya. Pak James mungkin tidak akan mengingatnya dan malah menuduhku yang tidak-tidak. Karena semalam dia mabuk. Bahkan setelah pelepasannya, dia langsung a

  • Misi Menggoda Bos Tampan   Melanjutkan Kegiatan

    Rupanya dugaanku salah. Bukannya menghentikan kegiatannya, Pak James malah kembali menciumku secara brutal. Tangannya sudah menyusup ke punggungku, melepaskan kaitan bra yang kukenakan. Tanganku segera menutupi dua asetku yang tak lagi tertutup bra. Pak James kembali menegakkan badannya, lalu diam menatap bagian depanku dengan mata berkilat nafsu. "Jangan ditutup, Diana. Tidak baik menutupi sesuatu yang sangat indah ini," ucapnya parau, sambil mencoba menyingkirkan kedua tanganku. Aku masih mencoba menahan tangan pak James, tapi tenagaku tak cukup kuat. Dengan sekali sentak, pak James berhasil menyingkirkan kedua tanganku dari dua bongkahan milikku. Tanganku ditarik ke atas, membuat dadaku lebih condong ke arahnya. Dan tanpa aba-aba, pak James langsung menenggelamkan kepalanya ke sana. "Ah.... Bapak hentikanhh." Pak James menghirup dalam-dalam aroma tubuhku. Ia juga kembali memberikan tanda di san

  • Misi Menggoda Bos Tampan   Affair

    Setelah kejadian di dapur apartemen pak James hari itu, aku memutuskan untuk pulang. Pak James tak lagi menghubungiku. Akupun juga tak berniat menghubunginya. Aku butuh waktu, khususnya untuk memikirkan rencanaku selanjutnya. Ada rasa takut ketika mendengar kenyataan bahwa pak James mungkin tertarik padaku, juga tubuhku. Meskipun nona Claire memintaku untuk menggunakan tubuh untuk menggoda pak James—dan sudah kulakukan, nyatanya ada perasaan takut jika hal-hal yang melewati batas akhirnya terjadi. Pak James laki-laki normal. Dia bilang sendiri padaku. Artinya, apakah aku sudah menemukan jawaban yang nona Claire minta? Apakah aku harus menghentikan pekerjaan ini sekarang dan memberi tau nona Claire bahwa pak James tidak setia padanya? Tapi, apa yang akan dilakukan nona Claire selanjutnya setelah mengetahui hal ini? Apakah mereka tetap melanjutkan pernikahan atau malah memutuskan bercerai? Jika bercerai, bukankah aku terlalu jahat pada pak J

  • Misi Menggoda Bos Tampan   Gotcha

    Perbincanganku dengan pak James masih berlanjut. Tapi kini kami sudah berpindah duduk di sofa. Di depan kami, televisi besar pak James menyala, menampilkan salah satu tayangan berita yang begitu membosankan menurutku. "Em, kalau boleh tau, nona Claire pergi ke mana, Pak? Kenapa Bapak tidak ikut saja? Ini kan weekend." Aku menoleh ke arah Pak James yang tampak fokus menonton berita. Pak James sepertinya sangat tertarik dengan dunia politik, juga berita kriminal. "Swiss. Dia sedang liburan. Menikmati waktu sendirinya. Kamu tau, perempuan terkadang butuh me time." Aku mengangguk saja. Tapi, batinku seakan tidak setuju. Sebagai seorang perempuan yang masih lajang, aku justru memiliki harapan untuk bisa pergi liburan dengan kekasihku. Untuk me time, akan lebih baik jika hanya untuk kegiatan murah, seperti tidur, baca buku, ngopi santai. Tapi liburan di Swiss, sayang sekali jika tidak bersama pasangan. "Bapak membiarkannya per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status