Yara menggeram kesal saat telepon internal di mejanya tidak berhenti berbunyi, tapi ia terlalu sibuk mengerjakan desainnya hingga mengangkat telepon adalah urusan ke-sekian baginya, khawatir kalau itu telepon dari bosnya a.k.a omnya yang memintanya menghadap.
"Berisik banget, gue aja deh yang ngangkat." Kesabaran Nana habis setelah mendengar dering telepon berkali-kali. "Ya? Dengan Nana," ucapnya sewot. Karena itu adalah telepon internal, bisa dipastikan yang menelepon ya dari internal perusahaan itu, karenanya ia bisa sedikit santai mengangkatnya.
"Yara, buat lo nih, dari Nia. Ada tamu buat lo katanya."
Baru setelah mendengar ucapan Nana, Yara mendongak dan meraih gagang telepon dengan malas-malasan.
"Siapa, Ni? Gue nggak ada janji hari ini. Klien?"
"Hmmm. Bukan, Mbak? Cewek yang waktu itu ke sini, Mbak. Yang Mbak Yara minta cariin ruang rapat buat ngomong berdua."
Helaan napas keluar dari Yara. Apa lagi? Adam saja sudah memintanya me
Semua orang-orang terdekat Yara tahu apa akibatnya kalau seseorang berani menyentuh rambut Yara tanpa persetujuan. Entah sejak kapan ia mulai tidak suka rambutnya disentuh orang. Rasanya sejak ia kecil, saat orang-orang banyak yang membelai rambut panjangnya. Baginya, rambut adalah mahkota. Ada orang yang tanpa persetujuan berani menyentuh rambutnya, itu sama saja dengan merendahkan kehormatannya. Apalagi ini, rambutnya dijambak. Berbagai cara untuk memorakporandakan hidup Lintang sudah ada dalam otaknya. “Gila! Gila! Cari perkara dia,” ucapan Rian dari seberang sambungan telepon itu membuyarkan lamunannya. “Mau lo apain dia?” “Ntar gue pikir lagi, mana cara yang paling membuat hidupnya menderita.” Rian kembali terbahak. Sudah lebih dari sepuluh menit, mereka berdua mengobrol melalui sambungan telepon. Yara menceritakan semuanya, rasanya ia butuh partner in crime, dan Rian adalah salah satu orang yang memenuhi kriteria itu. Keluarganya pasti akan mele
Yara menatap ponselnya yang berdering dengan gamang. Ibunya Adam meneleponnya. Sejujurnya ia tidak punya masalah dengan wanita itu, tetapi anaknya ... yang selalu meminta Yara menjauh, yang selalu berpikiran negatif tentang Yara. "Pagi, Tante," sapa Yara akhirnya. Tidak mungkin ia mengabaikan terus panggilan itu karena wanita itu selalu baik padanya. "Pagi, Ra." Ada sedikit rasa khawatir yang terdengar dari suara Resti. "Kenapa, Tante?" "Yara bisa tolongin Tante?" Yara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hari itu hari sabtu, kalau pun ia nantinya akan menolak permintaan itu, ia hanya bisa memakai alasan 'ada janji' dengan orang lain. "Apa ya, Tante?" "Tante sama Om lagi ke Penang, buat ngelanjutin pengobatan Tante waktu itu." "Tante masih sakit?" "Oh, nggak sih sebenernya. Cuma ayahnya Adam khawatir, jadi bawa Tante ke Penang buat check up." Yara hanya diam, menunggu wanita itu melanjutkan omongannya.
"Riaaan." Yara merangsek masuk ke apartemen yang ia sewa berdua dengan Rian. Di jalan tadi, ia sempt menghubungi Rian dan mengajaknya bertemu di apartemen, untuk apa lagi kalau bukan memuntahkan semua rasa kesalnya pada Adam. "Kenapa sih lo?" Rian yang sedang menjajal lipstik yang baru dibelinya, tidak berniat menoleh ke arah Yara sama sekali. Tapi dari nada suara Yara, Rian bisa tahu kalau perasaan sahabatnya sedang gusar. "Ah gue kesel banget." Yara lantas menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan memukul-mukul guling yang berada di dekatnya. "Bisma? Atau Adam lagi?" Yara menarik napas panjang. "Tebak!" "Adam," jawab Rian yakin. "Kenapa lo nebaknya Adam?" "Karena lo selalu kehilangan pijakan kalo berhadapan sama Adam, Yara. Sejak SMA. Lo nggak begitu ke laki-laki lain. Lo selalu punya sikap, tapi kalo udah ngadepin Adam—” Rian menggeleng-gelengkan kepala dengan dramatis. “Nggak ah!” Yara langsung bangkit duduk. “
Bab 41 xxx “Kamu bawa selingkuhanmu dulu buat meriksa aku?” Yara memutar kedua bola matanya dengan malas. "Terserah deh, Kak Gigih, mau dikasih racun kek. Bodo amat!" Yara bersungut kesal, berjalan menuju meja makan untuk menghabiskan buburnya. Dari tempatnya duduk, ia masih bisa melihat Adam yang masih enggan diperiksa Gigih, teman dari kakak Yara, yang diyakini Adam sebagai selingkuhan Yara (dulu), hingga membuat hubungan mereka berakhir. "Nggak sopan, makan sendirian," tegur Ervin. "Emang Kakak belum makan?" "Udah sih." Ervin mengusap puncak kepala adiknya sambil tersenyum jahil. "Nggak ngapa-ngapain kan tadi selama nunggu Kakak?" "Cuma berantem doang, sama aku nasehatin dia sebagai masternya patah hati." Ervin tergelak mendengar ucapan Yara yang memang benar adanya. Andai adiknya itu buka jasa konsultasi masalah patah hati, pasti usahanya akan laris manis, karena bahkan jumlah mantan pacar Yar
Ranu berjalan dengan senyuman mengembang, menuju meja staf sekaligus keponakannya. Ia mengetukkan jari di meja yang ditempati Yara, membuat Yara terkejut dan mendongak. “Ada yang bisa dibantu, Pak Ranu?” basa-basi Yara. Pagi hari, kalau sampai om sekaligus bosnya rela berjalan kaki mendatangi meja kerjanya, berarti ada sesuatu yang penting yang harus disampaikannya. “Nanti siang, kita makan-makan sekantor ya.” Ranu memberi pengumuman sambil mengeraskan suaranya agar seluruh pegawainya dapat mendengar. Yara mengernyit bingung, tidak biasanya omnya menghamburkan uang seperti itu. Biasanya hanya saat-saat tertentu, seperti ulang tahunnya, atau ulang tahun perusahaan, dan hari itu jelas bukan keduanya. “Kita … menang … tender, Yara!” ucap Ranu sambil memenggal setiap kalimatnya untuk memberi kesan misterius. “Hah? Tender? Tender yang co-working space buat kantor kementerian?” “Mana lagi menurutmu yang bisa bikin Om rela ngeluarin duit buat
Adam menatap layar ponselnya dengan gamang. Sejak ia mengajak Yara makan malam dan mendapat penolakan halus dari Yara, entah mengapa ia merasa Yara menghindarinya. “Sebegitu bencinya?” gumam Adam yang membuat kebingungan dua orang staf yang sedang melaporkan kenaikan occupancy kamar di branch hotel yang baru dibuka di daerah Serpong. “Siapa yang benci, Pak?” “Hah?” “Tadi, Pak Adam bilang benci, siapa yang benci, Pak?” “Oh, nggak, nggak. Kalian salah denger. Saya bilang ‘sebegitu cepetnya’.” Kedua staf itu akhirnya mengangguk saja walaupun masih ragu dengan yang diucapkan atasannya. “Ada lagi?” tanya Adam yang ingin segera mengakhiri meeting singkat itu. “Nggak ada, Pak. Setelah ini kami berangkat ke branch hotel yang di Rasuna Said ya, Pak.” “Rasuna Said, Kuningan?” Adam berpikir sesaat. “Biar saya aja yang ke sana.” “Eh? Cuma ngelihat persiapan event yang mau diadakan di hotel, Pak.” “Iya, biar
-Sehari setelah Adam sakit- Adam terbangun lebih siang dari biasanya, mungkin karena efek obat yang diminumnya, mungkin juga karena malamnya ia tidak bisa tidur setiap teringat ucapan Yara padanya, “I hate you, Dam.” Hanya satu kalimat, dan seingatnya, saat hubungan mereka berakhir, Yara juga mengucapkan kalimat yang sama. Tapi kenapa efeknya terasa berbeda saat ini? Adam menyeret langkahnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhnya lengket karena keringat yang terus saja keluar sepanjang malam, walaupun ia sudah menurunkan suhu AC di kamarnya. Usai mandi dan berganti pakaian, ia berjalan menuju kulkas, berniat mencari makanan apa pun yang tersisa di dalamnya, yang dapat dijadikannya sebagai sarapan. Ia bisa saja memesan delivery food, tapi tetap saja ia harus turun ke lobby untuk mengambilnya, dan itu adalah sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat itu. Matanya membelalak sempurna ketika melihat kulkas yang terisi banyak makanan
Yara menatap Adam dengan tatapan kesal. Dulu dia menceritakan hal yang sama dengan yang diceritakan Gigih, tapi Adam sama sekali tidak mau mendengarnya. Sekarang apa? Gigih yang cerita, dan Adam menerimanya begitu saja. Apa bagi Adam, ia memang tidak bisa dipercaya? “Aku mesti gimana buat minta maaf ke kamu, Ra?” Yara merotasikan kedua bola matanya. Ia lalu melipat jari tangannya satu per satu, seperti sedang menghitung. “Hampir sebelas tahun, Dam. Kamu waras?” “Ya karena itu aku nanya, aku mesti minta maaf dengan cara apa?” “Udahlah, nggak tau. Males ngomongin yang dulu. Makan buruan, aku mesti cepet balik ke kantor.” Adam menghela napas pasrah. Nanti lagi ia akan meminta maaf pada Yara kalau Yara sudah sedikit jinak. “Kalau nanti malem aku anter pulang—” “Ngapain? Orang aku bawa mobil sendiri,” sela Yara sebelum Adam menyelesaikan ucapannya. “Kalo besok pagi—” Yara menyumpal Adam dengan potongan daging