LOGINSemua penjaga kediaman Winerbourne menatap Luna yang baru saja keluar dari rumah dengan tatapan iba, meski mereka tahu perbuatan Luna tidak bisa dibenarkan.
"Sayang sekali, di balik wajah cantik dan sikap baiknya selama ini tersimpan hati yang busuk. Ugh, aku bahkan merasa mual hanya karena melihanya yang melintas di depanku." Umpat James sembari menutup hidung.Scurity bertubuh gemuk itu melihat ke arah Luna seolah gadis itu adalah sebuah benda kotor yang menjijikkan.Untuk beberapa menit Luna berhenti dan mengerling ke arah James. Dia tidak menyangka, semua pekerja di rumahnya yang selama ini begitu menghormatinya kini berubah menatapnya dengan tatapan merendahkan, tidak tersisa sedikitpun rasa hormat mereka terhadap Luna. Kenyataan perih harus dia terima, semua itu terjadi atas sebuah persoalan yang dirinya sendiri tidak menyadari mengapa hal itu bisa terjadi."Jaga ucapanmu, James," sanggah penjaga lain yang berdiri tak jauh dari James.James hanya menghela nafas lelah merespon sanggahan rekan kerjanya tersebut."Sebaiknya kau berpikir dua kali sebelum menegurku, Noah. Jangan katakan jika sikapmu yang berpura-pura peduli itu demi memancing perhatian gadis jalang itu untuk membuatnya jatuh hati padamu," James tersenyum mengejek ke arah Noah."Hey, apa yang kau katakan!" Noah melempar delikan pada James yang terus saja mendebatnya."Jangan hipokrit, Noah, kau juga pasti sudah tau bukan, seluruh kota bahkan tak sudi menerima kehadiran gadis ini, dengan begitu kau bisa dengan mudah meminta imbalan atas perhatianmu padanya." James mengedikkan bahu."Imbalan katamu?" tanya Noah yang tak mengerti ke mana arah pembicaraan James."Ya, imbalan. Dengan simpatimu padanya, tentu akan membuatnya luluh. Dengan begitu dia tak akan sungkan membagi kenikmatan tubuhnya yang tidak lagi berharga kepadamu." seloroh James yang tertawa setelahnya. Tawa James baru berhenti saat Noah menendang kakinya.Perkataan James seketika membuat dada Luna bergemuruh, dia pun melempar tatapan tajam pada pria tersebut. Dia ingin membungkam mulut pedas James, namun lidahnya seakan kelu, tubuhnya bergetar menahan tangis yang tak dapat dibendung."Abaikan ucapan James, Nona. Sebaiknya anda segera pergi sebelum Tuan Alex marah mendapati Anda yang tak kunjung pergi dari sini." terang Noah, yang membuat Luna kembali menyeret kopernya dan berjalan cepat melewati gerbang.Luna berjalan gontai melintasi trotoar. Tidak ada siapa pun yang dapat dia harapkan untuk memberinya tempat singgah sementara untuk saat ini. Bahkan Sophia Reed, sahabatnya baru saja menyampaikan ketidak sanggupannya untuk menampung Luna di rumahnya dengan alasan orang tua Sophia tidak sudi menerima gadis kotor seperti Luna menginjakkan kaki di rumah mereka.Cuaca siang itu cukup terik. Matahari seakan memanggang kulit Luna yang mulai berubah warna sedikit memerah.Sebuah mobil sedan tua berhenti di bahu jalan yang membuat Luna langsung menoleh ke arah mobil tersebut. Dia ingin melihat siapa seseorang yang akan turun dari kendaraan itu. Namun, seketika binar matanya yang semula berharap berubah menjadi kilatan amarah saat melihat seorang pria yang menjadi penyebab dia diusir dari rumah orang tuanya.Pria itu memutari bagian depan mobil untuk mendekati Luna."Ikutlah bersamaku, Nona." ucap Matteo yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan dari pada permintaan.Tangan kekar Matteo meraih tangan Luna untuk membawa gadis itu bersamanya."Lepaskan!" pekik Luna sembari menepis tangan pria itu. "Kau pikir, aku akan sudi ikut dengan pria yang sudah menyebabkan aku dibenci oleh semua orang?" ucapan Luna tercekat, air mata kembali menggenangi kedua matanya. Bongkahan kristal kambali membanjiri kedua pipinya yang membuat Matteo meneduhkan tatapannya terhadap gadis itu. "Mengapa kau lakukan ini padaku, Teo? Itukah alasan mengapa kau selalu bersikap posesif terhadapku?"Matteo menarik nafas dalam sembari memijit pelipisnya yang berdenyut."Nona, tolong dengarkan penjelasanku." suara berat baritone Matteo membuat Luna yang semula membuang wajah menoleh dengan alis bertaut."Penjelasan apa yang perlu ku dengar dari mulutmu? Apakah keperawananku yang sudah kau renggut masih bisa membuatku mempercayai segala ucapanmu?" tanya Luna dengan nada sinis.Gadis itu hendak kembali melanjutkan perjalanannya yang tanpa arah, namun Matteo kembali meraih tangannya sehingga gerak Luna pun terhenti."Semua itu bukan kemauanku!""Jika memang benar kita yang berakhir di ranjang bukanlah kemauanmu, mengapa kau tidak jelaskan saja di depan ayahku!""Percuma, Nona. Tidak akan ada yang mempercayaiku.""Jelas saja tidak ada yang mau mempercayaimu, karena sudah jelas kau bersalah dalam hal itu!" pekik Luna sembari menghentakkan kaki dan hendak kembali melanjutkan langkah yang terjeda, namun lagi-lagi Matteo mencegahnya.Pria itu menarik paksa tubuh Luna dan memasukkannya ke dalam mobil."Apa lagi sekarang?" tanya Luna saat Matteo mendudukkannya ke kursi penumpang belakang. "Kau sudah merenggut kesucianku, dan sekarang kau ingin menculikku? Jerk!"Semua makian Luna membuat kepala Matteo nyaris penuh. Pria itu kembali menarik nafas dalam sembari menengadahkan wajah pada langit kabin. Cukup melelahkan menghadapi Luna yang tantrum."Biarkan aku keluar!" Luna memukuli dada bidang Matteo yang sama sekali tidak membuat pria itu merasakan sakit.Tanpa memperdulikan makian Luna, Matteo turun dan mengunci pintu mobil agar Luna tidak bisa keluar dari sana, sebelum akhirnya dia masuk dan duduk di belakang kemudi."Hey! Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengeluarkan aku dari sini!" jeritan gadis itu membuat gendang telinga Matteo nyaris robek.Matteo pun tak lagi memberikan respon atas makian Luna. Dia mulai menyalakan mesin mobil dan membawa Luna pergi dari sana........................................Mobil yang keduanya naiki tiba di pelataran gedung apartemen. Seketika Luna mengernyit saat melihat bangunan apartemen tersebut dari kaca jendela mobil."Kita sudah sampai." ucap Matteo dengan suara datar yang terkesan monoton bagi Luna. Pria itu kerap berbicara dengan nada datar yang menyebalkan.Saat melihat dari kaca sepion atas, dan Luna tampak enggan untuk beranjak dari tempatnya duduk, Matteo pun berinisyatif untuk membantu gadis itu keluar dari sana."Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Luna dengan nada sinis, saat Matteo membukakan pintu mobil untuk Luna."Membantumu untuk turun, Nona. Memangnya apa lagi?" salah satu tangan Matteo terulur, membuat Luna melirik ke arah tangan kekar Matteo dan bangunan di seberang kaca jendela bergantian."Kau bermaksud menyekapku di dalam sana?" tanya Luna sembari menunjuk gedung apartemen.Pertanyaan yang lolos dadi bibir mungil Luna membuat Matteo menggelengkan kepala. Wajah pria itu mulai mengetat. Sepanjang perjalanan tiada kata yang lolos dari bibir menggemaskan gadis itu selain umpatan yang membuatnya tersinggung."Jika kau berpikir begitu, baiklah, aku akan tetap terima, Nona." ucap Matteo sembari meraih tangan Luna dan juga koper milik gadis itu menuruni mobil."Aku bisa melakukannya sendiri!" geram Luna sembari berusaha membebaskan tangannya dari genggaman Matteo yang tentu saja pria itu abaikan. Pria itu terus saja menarik Luna dan membawanya memasuki gedung apartemen tersebut.Pandangan Luna menyisir koridor apartemen yang dia lalui. Tempat itu sangat jauh berbeda dibandingkan tempat tinggal gadis itu sebelumnya. Suara cicitan binatang pengerat membuat pupil Luna berdilatasi. Seekor tikus melintas di samping kaki Luna yang membuat gadis itu reflek terlonjak dan merapatkan tubuhnya pada tubuh Matteo."Kyaa!" jerit Luna yang reflek memeluk Matteo. Keduanya pun saling berhadapan dan pandangan mereka saling bertemu.Untuk sesaat Matteo merasakan jantungnya berdegup kencang, namun sebisa mungkin dia menata ekspresi. Seandainya dia mengikuti kata hatinya untuk berbalik memeluk gadis itu, bisa-bisa Luna berpikir bahwa apa yang Luna tuduhkan padanya bahwa dirinya adalah pria mesum merupakan sebuah fakta!Perlahan Matteo melepas tangan Luna yang melingkar pada tubuhnya dengan wajah datar. Hal tersebut tentu saja membuat wajah Luna merona karena malu."Ah, maaf, aku hanya takut jika mahluk itu menggigit kakiku." ucap Luna lirih yang sama sekali tidak membuat wajah datar Matteo berubah.Pria itu kembali menggandeng Luna untuk membawanya ke dalam kamar apartemen yang dia sewa.Dari balik punggung bidang Matteo, Luna berulang kali mencebik dan melempar delikan. Jika diartikan dalam sebuah kalimat, tatapan Luna seakan mengatakan : "Apa-apaan si bodoh ini? Dia sudah merenggut hal yang paling berharga dariku, tetapi saat aku tidak sengaja memeluknya karena binatang pembawa sial itu hampir menggigitku, dia sama sekali tidak meresponku dan malah melepaskan aku seperti seekor anak anjing yang tidak ingin berpisah dari majikan yang membuangnya?""Kita sudah sampai." ucap Matteo saat keduanya tiba di depan sebuah pintu bertuliskan angka 120. Matteo tampak membukakan pintu ruangan tersebut dan masuk di dalamnya.Dengan kepala di penuhi pertanyaan, gadis itu pun mengikuti langkah Matteo."Mungkin sangat jauh berbeda dengan tempat tinggal Nona selama ini. Tapi aku harap, Anda betah tinggal disini, Nona." ucap Matteo.Untuk sesaat Luna tertegun. Matteo menawarkan tempat tinggal yang tentu saja sulit bagi Luna untuk menolaknya, mengingat kondisinya saat ini.Namun sebuah pertanyaan kembali melintas di benak gadis itu. Setelah kejadian memalukan malam itu, kini Matteo memberinya tempat tinggal disaat semua orang membencinya dan menolak keberadaanya. Apakah niat Matteo untuk memberinya tempat tinggal murni karena peduli pada nasib Luna, atau pria itu sedang memanfaatkan kesempatan?Sudut pandang Luna ... Aku hendak memeluk Matteo yang berbaring di ranjang sebelah, namun ku dapati ranjang di sebelahku kosong. Seketika aku terjaga. Sayup-sayup ku lihat Matteo sedang berdiri di depan cermin dan membenarkan zipper mantel hitam miliknya. "Kau mau ke mana?" tanyaku dengan suara parau. Dia menoleh sekilas ke arahku. "Ayah memintaku untuk menemaninya bertemu para kolega," jawab Matteo sambil melihat kembali bayangan dirinya di cermin. Semenjak pernikahanku berlangsung, Ayah dan Matteo menjadi sangat akrab. Kehangatan dalam keluarga yang dulu ku dambakan kini menjelma menjadi nyata. "Tapi ini sudah malam, apakah tidak bisa kalian pergi lain waktu saja?" tanyaku. Matteo tampak menyugar rambut hitamnya, lalu menoleh ke arahku. "Ayah sudah terlanjur membuat janji temu. Bukankah tidak profesional jika Ayah membatalkan pertemuan malam ini hanya karena hari sudah larut malam?" Astaga, dia berulang kali memantaskan penampilannya. Dia selalu terlihat bertambah tampan
Sudut Pandang Luna ...Bugh! Mataku yang terpejam saat menanti kecupan bibir dari Adrian seketika terbuka lebar saat melihat kekasihku tersungkur di atas tanah. Seolah belum puas melihat Adrian kesakitan dengan pukulan yang baru saja ia daratkan di wajah tampan kekasihku, bodyguard bodoh itu kembali menghujani pukulan di perut Adrian. "Teo, hentikan!" pekikku yang berhasil membuat Matteo menghentikan pukulannya, hingga tangan pria itu terkepal di udara. Ah, lagi dan lagi. Bodyguard tak tahu malu itu menggagalkan ciuman pertama yang selalu aku nantikan dari bibir sexy Adiran. Dimana dan kapan pun dia selalu berhasil menggagalkan ciuman yang selalu aku harapkan, sekalipun aku sudah merencanakan adegan dewasa itu secara sembunyi-sembunyi. Dan apa lagi sekarang? Adrian pasti marah besar karena berpikir aku yang membawa bodyguard pilihan ayah saat bertemu dengannya di taman. Aku mendekati Adrian yang susah payah berusaha bangkit ke posisi duduk. Sentuhanku ke wajah Adrian yang memar
Honda Civic tua itu berhenti di depan rumah kontainer kecil di sebelah kiri jalan. Cat silvernya mulai pudar, dan suara mesinnya bergetar lirih—tanda usianya yang sudah tak muda lagi. Nico datang menjemput Rosaline di komplek rumah kontainer untuk warga dengan kelas perekonomian menengah ke bawah—tempat Rosaline dan Emily tinggal sebelum hidup mereka berubah karena Alexander. Rosaline keluar tergesa-gesa sambil mengunci pintunya. Tidak ada barang berharga di dalam rumah kecil itu, tetapi ia tetap khawatir persediaan makanan seminggu ke depan hilang dicuri orang. “Maaf aku mengabarimu mendadak. Sebenarnya… aku tidak ingin berurusan lagi denganmu. Tapi mengingat kondisi putriku—” Rosaline mencoba berbasa-basi, menutupi rasa malunya karena pernah bersikap kasar kepada Nico saat pernikahan Luna dan Matteo di Italia. Sebenarnya dia enggan bertemu pemuda yang telah mempermalukan dirinya dan Emily. Namun ia tetap menghubungi Nico untuk mengantarnya ke rumah sakit—semata karena dia tid
Sepasang pria dan wanita duduk di mobil polisi dengan gelisah. Emily tak henti tergugu semenjak dirinya diseret paksa oleh polisi memasuki mobil itu. Berbeda dengan dirinya yang meratapi nasib buruk dengan isak tangis, Adrian yang duduk disebelahnya tak berhenti mengumpat tentang gadis itu sepanjang perjalanan menuju kantor polisi. “Bodoh, bodoh, bodoh! Keputusan terbodoh yang telah ku lakukan hari ini adalah memenuhi panggilanmu, dasar wanita jalang!” geram Adrian dengan kedua mata melotot menatap tajam ke arah Emily. Kalau saja saat ini kedua tangannya tidak diborgol, dia tidak segan menghujani wajah Emily dengan pukulan bertubi-tubi. “Berhenti mengataiku jalang! Kalau bukan karena menuruti semua kemauanmu dan orang tuamu yang mata duitan, aku tidak akan berakhir seperti ini!” Emily memekik, suaranya terlalu parau karena tangis dan perasaan sesak di dada yang kian berat. Kedua polisi yang duduk di kursi depan saling menatap sesaat lalu memutar bola mata. Semua orang tahu, penyesa
Langit sore berwarna kelabu, seolah turut merasakan suasana tegang di dalam ruang rapat Golden Horizon.Hari itu, ruangan rapat utama dipenuhi oleh para staf penting dari Golden Horizon yang diundang oleh Alexander sehari sebelumnya. Dewan direksi, pengacara, dan tiga orang yang kini duduk di ujung meja panjang Emily, Rosaline dan Adrian. Berbeda dengan Emily yang meremas rok di bawah meja untuk menyalurkan kegelisahannya, Adrian tampak berulang kali menarik siku untuk melihat jam tangannya. "Huh, sebenarnya apa lagi yang ingin kau perlihatkan padaku? Kebodohan terbesarku adalah memenuhi panggilan mantan kekasih bodoh sepertimu." Adrian mendengkus dan melipat kedua tangan di depan dada. Rasa nyeri menghujam ulu hati Emily. Setelah apa yang dia lakukan untuk Adrian, kini Adrian memperlakukan dirinya begitu dingin. Tak tersisa sedikit pun perlakuan manis yang sering ia terima beberapa waktu lalu. Sikap pria itu berubah 180° setelah mendapat apa yang dia mau."Heh, pemuda matre! Berhe
"Tuan Alexander sudah sadar. Tetapi kondisinya belum setabil." Dokter tersenyum simpul. Merasa lega setelah usahanya menyelamatkan nyawa pasien berhasil. "Bolehkah kami melihat kondisinya sekarang?" tanya Matteo. Dokter mengangguk. "Anda boleh menemui pasien. Tapi kami sarankan agar tidak membuatnya terlibat dalam pembicaraan sensitif yang dapat membuat depresinya semakin parah," terang dokter sebelum akhirnya berpamitan. Matteo menggoyangkan bahu Luna. Gadis itu masih berada di posisi sebelumnya--menutup lubang telinga dengan telapak tangan dan memejamkan mata. Tangan Luna lebih erat menutup telinganya. Sehingga Matteo memaksa Luna untuk melepaskan pegangan tangan Luna dengan sedikit tenaga. "Apa yang kau lakukan? Bukankah kau ingin bertemu Ayahmu?" kernyitan dalam menghiasi kening Matteo. Dia tak mengerti apa yang sedang dilakukan gadis itu. "Dia masih hidup?" Luna mengerjabkan kedua mata lentiknya. Tatapan matanya menyiratkan seolah kabar Alexander yang masih hidup adalah suat







