“Aduhh!” Richelle mengeluh, perlahan matanya terbuka. Alat monitor yang berbunyi, aroma ruangan yang begitu kental. Jendela kaca geser terbuka lebar, menunjukkan awan cerah berbaur dengan langit biru.
“Di-Dimana ini?”
Dia memaksa diri untuk duduk, hingga rasa ngilu diseluruh tubuhnya terasa. Tangan yang pegal, kaki yang perih, dan perut nya yang terasa sangat ngilu.
“Ya ampun! Tu-tubuhku!” dia meringis.
Matanya teralihkan ke arah pintu geser bercorak bunga di depannya. Seseorang membuka pintu ruangan itu. Pria dengan T-shirt hitam masuk dan mereka langsung saling beradu tatap.
“Kau sudah bangun rupanya!” baritone pria itu terdengar asing untuk Richell.
“S-siapa kau?” Richelle teringat dengan serangan yang dia terima. Meskipun tubuhnya menahan rasa perih bertubi-tubi, dia mencoba untuk mundur padahal tidak banyak pergerakkan yang bisa dia lakukan di atas tempat tidur, dan alat medis melekat di tubuhnya.
“Kenapa? Aku bukan salah satu dari mereka! Tidak perlu takut padaku!”
“Kau berbohong? A-aku tidak mengenalmu!”
“Aku yang menyelamatkanmu! Lihatlah kondisi fisik mu sekarang! Kalau saja aku tidak berada disana! Mungkin kau sudah mati”
Richelle tersentak, mimpi buruk yang melangkahi nyawanya dengan cepat naik ke kepalanya. Semua itu terjadi bertubi-tubi. Pengkhianatan, kesedihan dan…
“Anakku! Bagaimana dengan anakku?” dia teringat ketika matanya tidak sengaja melirik perutnya. Bulir basar dengan tekstur asin itu sudah berkumpul di sudut matanya.
“Kau keguguran!” ucap pria itu datar
Kepala Richelle ragu-ragu untuk terangkat “A-apa?”
“Aku tidak bisa menyelamatkanmu! Pria brengsek menenang bagian rahim mu dengan sangat keras!”
Seluruh tulangnya seperti tertusuk besi panas. Richelle merengut perutnya dalam, kehilangan melengkapi rasa sakit yang menusuk mentalnya. Dia berhenti berbicara, karena fikirannya tidak terselamatkan. Tidak ada siapapun yang bersamanya sekarang.
“Aku menyelamatkan jiwamu, setidaknya itu patut dinikmati” ucap pria itu lagi
“Dinikmati katamu?” Richelle berkata lirih . Apa yang harus dia nikmati? Sial, disekitarnya hanya ada iblis yang tidak bertanggung jawab.
“Aku akan meminta dokter untuk memeriksa perkembanganmu hari ini! Berterimakasihlah karena aku menyelamatkanmu! Kau berhutang nyawa padaku!”
Pria yang tidak Richelle kenal itu, berlalu pergi. Meninggalkan Richelle yang tersungkur panic. Bimbang yang terasa membutanya menderita. Dia dulu gadis kaya yang berkecukupan, lalu pamannya mengambil alih semua harta, dia menjadi budak di rumahnya sendiri.
Karena merasa dinodai, dia di usir dari rumahnya, lalu di negri asing dia hendak dibunuh dan kehilangan bayinya. Bagian mana yang harus ia nikmati untuk menghargai kehidupan ini?
“Ma? Kenapa membiarkan aku mati mama? Ma? Aku ingin hidup ma” suara yang tiba-tiba terdengar di kepalanya,
“Tidak! Tidak, aku hanya…”Richelle melirik jemari tangannya. Dia merasa ada banyak darah di tangannya.
“Arghhhhhh!” Richelle berteriak kencang, dia melepas infus ditangannya. Kepalanya terasa sangat panas, dia menggila dan berlari ke arah balkon. Ruangannya terletak di lantai lima, dia tidak peduli dengan suara suster lain yang menghampirinya dari belakang.
Dia ingin melompat, mengakhiri hidupnya adalah pilihan terbaik yang bisa dia lakukan
“Tidak nona! Tidak, jangan!” tiga suste menarik tangannya.
“Tidak! Biarkan aku mati! Pergia kalin, tidakk” dia berteriak frustasi, hampir dia merasa sangat gila. Hancur kehidupannya, tidak imbang dengan apa yang sudah ia rasakan. Dia sudah bertahan, tapi kenapa seperti ini.
“Nona, sadarkan dirimu! Jangan lakukan itu, nona”
Richelle memberikan perlawanan membabi buta. Cakaran yang tidak sengaja diberikan suster di lengannya, bahkan tidak terasa olehnya.
“Richella!” suara seorang pria menghampirinya. Pria itu menarik tangannya kasar, mencengkram pundaknya dan langsung menampar pipinya dengan kasar.
Membuat Richella terdiam, dan terbenam dalam tangisanya. Dia terduduk lesu, kegagalan yang ada dan situasi tidak lagi berpihak padanya.
***
Richelle meringkuk di sudut ruangan. Setiap kali suster mengantarkan makanan, dia menebas nampan hingga berserakkan dilantai. Beberapa suster bahkan berkata kasar karena sikapnya itu, tidak ada yang ingin prihatin padanya.
Dia tidak mau minum obat. Dia memberontak ketika disentuh dan hari demi hari yang dia lalui membuat tubuhnya perlahan menjadi kurus. Dia kehilangan dirinya yang dulu. Segalanya terlalu berat baginya, tidak ada yang bisa dia rasakan lagi.
“Apa kau akan terus begini?” suara dari pria itu kembali terdengar.
Richelle mengangkat kepalanya, sudah satu minggu sejak terakhir pria itu tidak mengunjunginya. Richelle mendengar, kalau pria itu yang membayar semua perawatannya. Kalau saja bukan karena pria itu, mungkin dia sudah di usir dari rumah sakit.
“kenapa hanya diam saja?” Pria itu mendesaknya.
Richelle memalingkan wajahnya, dia meringkuk dengan dadanya yang beradu lutut. Pria itu adalah Daimiro Folke. Mungkin di California dia hanya dikenal sebagai pembisnisn, namun lain halnya di Jerman.
“Kau tidak akan mendapatkan apapun! Apa hidupmu sama sekali tidak berarti? Jangan menjadi wanita yang tidak berguna” ucapnya
“Aku tidak peduli!”
Richelle mengernyitkan keningnya muak, semenjak dia mengenal pria itu. Dia tidak tau namanya. Dia hanya mendengar suaranya, dan pria itu begitu dingin. Semua kalimatnya begitu kasar, tiada iba. Anehnya dia malah menyelamatkan Richella.
“Ap hanya segini harga nyawamu?”
“Iya! Kau ingin membeli nyawaku?”
“Nyawa dari wanita bodoh sepertimu, mana laku bagiku”
Richella meremas jemarinya, sial baginya untuk mendapati kehidupan yang dirasanya busuk seperti ini. Kehidupan yang sama sekali tidak ada bagian bahagianya. Semua kepedihan dilimpahkan padanya. Hidupnya menderita begitu dalam, sampai tidak ada celah untuk bertahan lagi.
“Aku ingin mati! Biarkan aku mati!” Richella tiba-tiba berteriak
Mata mereka beradu tatap, pria itu berjongkok di depannya “Nyawa anakmu, nyawa orang tuamu, apa tidak ada artinya bagimu?”
“Diam kau! Tau apa kau tentang diriku hah?”
“Tentu aku tau Richella! Aku mengenal dirimu dengan baik, melebihi dari apa yang kau tau”
Richelle bungkam, kalau difikir-fikir lagi dia pria di depannya ini memang mengenalnya. Entah seberapa jauh, hingga pria itu seperti memang sengaja datang ke dalam hidupnya.
“Si-siapa kau sebenarnya?”
“Daimiro Folke!”
Garis lipatan tiga terukir diwajahnya, dia tidak asing dengan nama itu. Entah dimana dia pernah mendengar nama itu, tapi otaknya sudah terlalu panas untuk berfikir
“Aku tidak mengenalmu” Richelle memalingkan wajahnya, sudah cukup dia membiarkan Daimiro melihat wajahnya dengan lekat
Daimiro melangkah lebih dekat, dia justru mempersempit diantara keduanya. Tangannya menyentuh dagu Richelle, memaksa wanita itu untuk melihat ke arahnya “Menikahlah denganku! Kita kembali ke Jerman dan membalaskan dendam mu”
Richelle tersentak, tidak seharusnya dia mendengar hal itu “A-apa?”
“Kau akan tau siapa diriku ketika kita kembali. Anggaplah aku membeli nyawamu dengan caraku. Tentu aku tidak suka membiarkan kau mati begitu saja setelah semua yang terjadi di masa lalu, jadi Richella Anastsya menikahlah denganku, harus!”
Rose sedang memulihkan diri di rumah karena patah tulang ringan. Itu hanya seminggu setelah masa-masa indah, karena Sean terstimulasi oleh hasil akhir ujian tengah semesternya dan mengantarnya ke sekolah. Satu-satunya keuntungan adalah dia memiliki sopir untuk menjemput dan mengantarnya selama cedera. Rose belum beradaptasi dengan kehidupan awal. Dia tidur grogi untuk dua kelas. Dalam keadaan linglung, dia samar-samar merasakan seseorang di depan matanya. Ketika dia membuka matanya, ruang kelas kosong. Hanya Matthew dari Kelas 5 yang berdiri di depannya dan menatapnya dengan cemberut. Rose ingat bahwa Matthew dan Andrew menekannya seperti bukit hari itu, hampir sekarat, dan merasakan lengannya sakit lagi. Dia mendongak dan saling menatap miring. "Mengapa kamu di sini?" Matthew memandang rendah Rose, yang cuek dan frustrasi. Senang melihatnya tanpa jalan memutar, tetapi tidak mungkin. Siapa yang membiarkan dirinya memuk
Richelle berusaha untuk menutupi rasa gemetar di tubuhnya. Dia tidak ingin wartawan menilai keterpaksaan dirinya untuk berdiri disamping Daimiro. Tidak, ini bukan karena dia ketakutan. Dia hanya bingung, mengapa Daimiro bertindak sejauh ini? Waktu berlalu, mereka kembali ke rumah ketika sore. Richella langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya melirik pemandangan langit-langit kamarnya yang terasa sendu. Apa yang salah? Dia gelisah dengan tidak menentu “Kenapa tidak mandi?” Daimiro masuk ke dalam kamar. Ia melepaskan dasinya, dan membuat Richelle tersentak karenanya. Ia mengganti posisinya duduk, menekuk lututnya menyatu dengan dadanya dan menatap Daimiro dengan sayu. Fikirannya hanya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak menentu. Meskipun begitu, mulutnya tidak bisa mengatakan apapun. “Kenapa?” Daimiro menyingsing lengan kemejanya hingga siku. Sorot matanya nampu melelehkan hati Richella. Di depan mereka, kalangan pembisnis, rekan kerja, dan media. Daimiro seperti dew
Tubuh Richella masih merasakan getaran hebat sisa semalam. Selama ini, untuk mendapatkan sentuhan seperti itu dari Daimiro, ia membutuhkan dorongan alkohol. Pria itu melakukan hubungan itu dengan kesadarannya.“Apa dia benar-benar cemburu?” Richella bergumam, dan fikirannya membayangkan raut wajah Daimiro. Dia begitu seksi ketika bercinta, tubuh gagah nya, dan keringat yang mengalir di tubuh Daimiro. Itu mengkilap seperti tidak akan pernah usai.“Apa yang kau fikirkan Richi?” Mona menghampiri gadis di depannya, ia meletakkan segelas coklat hangat di depan Richella. Tiba-tiba saja Richella ingin meminum minuman manis itu“Hah? Tidak ada!” Richella tersenyum tipisMona merasa sangat puas, melihat Richella mampu mengendalikan diri di lokasi pesta. Meskipun begitu, Daimiro sudah memikirkan banyak hal yang mungkin saja terjadi ke depannya. Sejak awal, Daimiro lebih dulu mengambil resiko untuk Richella, tanpa gadis itu sadari.“Apa kau merasa terbebani dengan situasi ini?” Mona bertanya, se
“Apa kau tidak menyadari, kalau istrimu ini pembohong tuan Dai?” ucapan terakhir dari Naomi masih tersisa di fikiran Richella. Apa benar dia yang bersalah dalam situasi ini?Kalau saja dia berbohong, maka pernikahan ini juga sebuah kebohongan. Richella merasa gelisah, fikirannya di hantui oleh beberapa hal yang rasanya tidak layak. Apakah jalannya benar? Apa dia harus bertahan? Dia merasa Daimiro tidak akan pernah menjadi suaminya.Ketika segalanya bercampur aduk, dia justru diserang oleh ciuman tiba-tiba dari Daimiro. Suaminya itu bahkan mendorong tubuhnya kasar hingga ia telentang di atas ranjang nya. Matanya membundar begitu melirik Daimiro melepaskan ikat pinggang nya.“Dai? A-ada apa? Kenapa kau marah padaku?”Daimiro mempersempit jarak diantara mereka, hanya 5 cm dalam situasi mereka saling bertatapan.“Apa aku terkesan tidak berguna bagimu?” nada bicara Daimiro lirih, namun matanya menatap dengan putus asa.“Dai? Kau marah kan? Apa kesalahanku? Aku sudah berusaha untuk…”“Kau b
Menyadari sesuatu yang janggal untuk istrinya, Azam pun mendekat. Awalnya dia berfikir kalau isrtinya hanya sekedar bertegur sapa dengan Daimiro. Wajahnya agak menegang begitu melihat ekspresi Daimiro yang terkesan tidak bersahabat.Dia masih tidak yakin kalau Rihcella sudah kembali, sepengatahuannya Richella sudah di urus oleh ayahnya untuk tidak mengusik dirinya. Dia mencoba membangun benteng dirinya, dan meyakini wanita yang berada di samping Daimiro itu hanya sekedar mirip dengan Richella.“Sayang? Kamu ngobrol banyak ya?” Azam menghampiri istrinya dengan nada bicara yang rendah, ia langsung menyentuh pundak istrinya.Richella merasa getir, dia merasa tidak adil. Di masa lalu, Azam begitu mencintainya, terlihat seperti itu. Lalu sekarang apa?Azam, mengangkat kepalanya. Dia memberanikan diri menatap Daimiro “Senang kau kembali Dai!” lalu dia beralih melihat wanita di samping Daimiro “Dan untukmu istrinya…” Azam terdiamTidak ada yang lebih tau dibandingkan dirinya, bagaimana cara
Richella takut, jika saja dia kembali bertemu dengan masa lalu. Apa mungkin dia sudah mengikis habis orang itu dari memorinya?Azam adalha pria yang pertama kali dia cintai. Pria yang membuat luluh dirinya, bahkan sampai di titik dia memberikan segalanya. Richella berfikir, kelak dia harus bertemu dengan pria yang bisa membuatnya aman, maka dirinya akan terlepas dari genggaman keluarga pamannya.“Kau tunggu disini! Aku akan menemui orang tuaku!”Richella menganggukkan kepalanya, semuanya terjadi begitu cepat. Apalagi pernikahan antara dirinya dan Daimiro. Sesuatu yang terkesan tidak nyata. Dia tidak memiliki keluarga, tapi bagaimana dengan Daimiro?Richella hanya melirik foto keluarga Daimiro, mendengar suara ayah mertuanya dari jauh. Meskipun begitu, dia tidak berniat untuk bertanya sebelum Daimiro mengatakan lebih.“Jangan gemetar! Tuan Daimiro akan menjagamu!” Mona mengelus pundak Richella.Richella menundukkan kepalanya, entah seperti apa nasibnya setelah ini. Katakan saja dia sud