Setelah Rafan pergi, aku langsung menyambar ponsel yang terletak di nakas. Pagi ini kami tidak saling bicara sepatah kata pun. Bahkan tadi malam tidur saling memunggungi, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sejak masa lajang dulu, ada dua sahabat yang setia menemani. Mereka adalah Mei dan Farah. Keduanya masih bekerja sembari menunggu pangeran datang menjemput. Panggilan langsung terhubung ke Mei.
"Ada apa, Lin? Tumben banget kamu telepon aku di hari weekend, biasanya ngabisin waktu bersama Rafan."
Aku menggaruk hidung yang tidak gatal, lalu menjawab, "kalau kamu tidak sibuk, datang ke sini bareng Farah. Ada gosip baru!"
Perempuan di seberang telepon setuju dan akan tiba dalam waktu dua jam. Aku meletakkan ponsel, lalu ke luar dari kamar untuk melakukan pekerjaan rumah. Farah dan Mei pasti bisa diandalkan untuk menemukan solusi.
Dua jam kemudian mereka benar-benar sudah tiba. Kami memeluk melepas rindu karena dua pekan ini tidak pernah bertemu. Mei semakin terlihat gemuk dengan pipi seperti balon, berbeda dengan Farah.
Ketika mereka duduk di sofa, aku langsung menceritakan tentang perselingkuhan Rafan dengan Marsha tanpa basa-basi lebih dulu. Mereka terkejut mengaku tidak menyangka lelaki yang dikira pendiam akan menduakan istrinya.
"Aku tebak, Marsha itu cinta pertama Rafan!" Farah berhasil membuatku tersenyum miris. Tebakannya benar sehingga aku tidak perlu menggeleng.
"Terus, kamu sudah melakukan tindakan apa?" sela Mei. Wajahnya terlihat serius. Biasanya ketika kami kumpul, ia selalu menampilkan ekspresi jenaka.
"Aku minta diceraikan, tetapi Rafan tidak mau. Bukan karena dia lebih memilihku, hanya saja seperti dikekang orangtua," lirihku menunduk.
Tanpa aba-aba, mereka berdua mendekat bersamaan dan mengusap pundak yang mulai terguncang. Selalu begitu, jika ada luka dalam hati, tentu mata akan menangis sejadi-jadinya. Beruntung Allah mengirim dua malaikat berwujud sahabat yang selalu menguatkan.
"Di posisi sekarang, mungkin aku akan memintamu merelakan Rafan saja karena masih banyak lelaki baik di luar sana terutama kalian belum memiliki anak. Akan tetapi, aku tidak tahu jika hal itu terjadi padaku. Mungkin sulit move on," gumam Mei. Nada suaranya terdengar sedih.
"Minta cerai aja, Lin. Aku tahu bagaimana sakitnya diduakan apalagi suami sendiri." Farah menambahkan.
Aku menunduk dalam dengan tangan terkepal menahan amarah agar tidak meledak. Hati ini seperti diciptakan dari kerupuk karena sangat mudah hancur tanpa kepingan. Hampa.
"Nanti aku pikirkan caranya, hari ini juga harus cerai dengan Rafan. Enak saja punya dua istri, tapi tidak mau berlaku adil!"
Mereka mengangguk bersamaan. Daripada terlena dalam lautan luka, kami membahas sesuatu yang lain. Ini adalah cara terbaik mengalihkan pikiran. Sekali lagi beruntung ada mereka.
***
Pukul sembilan malam Rafan baru kembali ke rumah. Ia hanya datang untuk tidur, sementara waktunya dihabiskan bersama istri muda. Aku akui kecantikan Marsha mampu menggoda seribu lelaki, tetapi bukankah aku masih berstatus sebagai istrinya?
"Aku tidak sanggup menjalani kehidupan poligami, Fan." Aku membuka percakapan. Rafan yang sedang duduk di sofa dalam kamar menoleh. Ponselnnya diletakkan.
"Lalu?"
Bibir tiba-tiba terkunci karena takut juga kepada Allah. Tentang istri yang meminta cerai pada suami tanpa alasan syar'i itu tidak akan mencium bau surga. Jika bau saja tidak tercium, apakah pantas masuk ke dalamnya?
Namun, tentang sikap Rafan ini sepertinya sudah masuk alasan syar'i. Hanya saja lebih baik diskusi dulu. Ya, mungkin harusnya itu yang aku bahas dulu malam ini. Entah ia setuju untuk adil atau tidak, akan menjadi penentu hubungan kami.
"Kamu harus mampu bersikap adil kepada kami, Fan. Dalam al-qur'an memang diperbolehkan poligami, tetapi dengan catatan mampu bersikap adil. Bagaimana denganmu?"
"Condong ke salah satunya," jawab Rafan pendek tanpa ekspresi. Ia tahu kesalahan itu, tetapi tidak berusaha memperbaiki keadaan. Luka semakin menganga saja.
Aku mengembus napas berat berusaha sekuat terumbu karang. Air mata aku seka berulang kali agar tidak terlihat lemah seperti kata Marsha kemarin. Sungguh, aku benar-benar direndahkan oleh mereka.
Lelaki itu mengaku sudah berubah, bahkan terang-terangan meninggalkan salat. Ini semua pasti pengaruh buruk dari Marsha. Hatiku sakit mengetahui fakta ini, mereka juga pernah ke bar berdua. Kembali hadir pertanyaan dalam hati, apakah harus bertahan ketika suami jauh dari Tuhan-Nya?
"Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan, Lin?" tanya Rafan lagi ketika aku menunduk dalam.
Dada serasa sesak. Aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan berulang kali. Debar-debar dalam dada menjadi saksi bisu betapa terlukanya aku saat ini. Luka merebak cepat tanpa menyisakan ruang untuk tersenyum.
"Jika tidak ada yang kamu sampaikan, aku mau tidur saja. Besok sibuk, kamu jaga rumah dulu. Tentang Marsha, senin nanti akan aku bawa ke sini. Entah kamu setuju atau tidak, aku tetap pada keputusan ini!" tekan Rafan seraya berdiri ke arah ranjang.
"Ceraikan aku!"
"Tidak!" sanggahnya cepat. "Kamu tidak akan aku ceraikan, Lin!"
Aku berdiri, lalu berteriak mengaku sakit hati. Tidak apa-apa jika Rafan akan memukul karena tidak sopan lagi padanya. Marsha yang nantinya dibawa ke rumah ini hanya akan menambah luka. Lagi pula keputusan itu sepihak, sama saja tidak menganggapku ada lagi.
"Aku tidak mau Marsha tinggal di sini, di kamar ini. Pasti aku kamu singkirkan ke kamar tamu karena tidak ingin membuat istri mudamu kecewa, 'kan?" teriakku lagi.
Rafan mendekat padaku, ia kembali mengunci tubuh ini di tembok. Matanya menyalak tajam. Melihat tingkah lelaki itu sekarang, aku seperti kehilangan cahaya. Bisa jadi ia memiliki kepribadian ganda sehingga berubah drastis dalam waktu singkat.
Napasnya berembus kasar. Ada amarah yang ia tampilkan dari matanya. Aku tidak takut sekalipun ia akan membunuhku malam ini. Lebih baik mati daripada diduakan. Tuhan, beri jalan terbaik untuk hubungan kami.
"Ada sesuatu yang membuatku harus mencintai Marsha daripada kamu, Lin."
"Wow!" Aku berdecak kagum, "kamu hebat karena bisa mengatur hati akan jatuh cinta kepada siapa. Bagaimana caranya? Dengan memandang fisik atau harta, Fan?"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Rafan memberiku satu tamparan di pipi kanan. Sakit semakin terasa ketika ia pergi dari kamar ini menyisakan tanda tanya. Sangat tidak adil rasanya karena perempuan tidak bisa menjatuhkan talak.
Dalam kamar, dada semakin merasakan sesak seperti tidak ada ruang untuk bernapas. Luka yang kian menganga membuatku terkulai lemas. Apakah seperti ini rasanya menikah dan jatuh cinta?
Sebenarnya kemarin ibu sempat meragukan Rafan ketika datang melamar, tetapi aku berusaha meyakinkan karena mendengar tutur katanya yang selalu lembut dan sopan. Naluri seorang ibu seharusnya tidak aku bantah. Inilah hasil dari keyakinanku saat itu.
"Aku akan beritahu ibu, Fan!"
Bersambung
POV AUTHORBaru saja selesai mandi, Raline merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Dia memanggil Rafan dengan suara sangat lemah. Beruntung lelaki itu memang berada di depan kamar. Melihat sang istri kesakitan, dia langsung membopongnya."Kenapa, Sayang?" tanya Rafan khawatir."Sakit, Fan. Kayaknya udah mau lahiran deh!" pekik Raline sambil memejamkan mata. Dia benar-benar lemah.Rafan dengan gerak cepat membawa sang istri ke mobil. Di depan dia bertemu sahabatnya. "Raline mau lahiran, kalian tolong bawa perlengkapan, susul segera!""Oke, Fan!" Mei dan Farah melangkah cepat sementara mobil yang membawa Raline sudah meninggalkan halaman rumah. Ibu Raline memilih tidak ikut karena terlalu takut. Dia berdoa di rumah saja.Setibanya di rumah sakit tepat di ruang persalinan setelah tiga jam menunggu, Raline mengalami kontraksi hebat. Para perawat dan bidan yang sejak tadi menunggu mulai mengecek pembukaan.Sementara di ruang tunggu, Farah d
Mentari pagi telah menyapa begitu hangat. Hujan tadi malam menyisakan genangan yang berangsur hilang. Aku jalan-jalan pagi di depan rumah sambil melafazkan zikir untuk perlindungan dari mata jahat.Sepagi ini pula Rafan menyalakan mesin motor dan melajukan menuju pasar karena harus membeli tiga potong ayam ukuran jumbo. Mei dan Farah itu raja makan sehingga kalau dua potong saja tidak akan cukup.Tidak lupa aku menitip beberapa cemilan juga pada Rafan karena ingat pada Salsa. Ah, bukan sepenuhnya pada anak Mei itu tetapi juga ibu dan sahabat ibunya.“Olaraga, Bu?”Aku menoleh, rupanya itu Diva dan Sita. Baru kali ini aku melihat Diva memakai gamis dan jilbab panjang.“Iya.”“Kamu gak nanya aku mau ke mana?”“Enggak.”“Meski gak nanya aku tahu kamu kepo, Lin. Aku sebenarnya lagi jogging ngikutin calon suami. Ya sudah, bye!”Aku memutar bola mata malas, sungguh ti
“Jika sabar itu ada ujungnya, mungkin aku telah menjauh dari sumber luka. Jika sabar itu tidak berbuah surga, maka tidak mungkin aku terus bermain dalam taman penuh luka. Pun jika sabar menghadapi cobaan bukan bagian dari titah dalam agamaku, maka aku akan berlari dari takdir.”—Putri Raline.***Seperti hari-hari sebelumnya aku hanya bisa banyak bergerak di depan rumah. Rafan membuka toko lebih pagi karena ada Ibu yang membantu kami mengurus rumah. Tidak ada agenda jalan-jalan seperti pasangan pada umumnya.Dulu kami selalu menanti weekend, sekarang semua hari pun sama saja. Tidak harus liburan ke luar juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Ibu hamil sebaiknya banyak di rumah dan olahraga kecil agar proses lahiran lancar.Matahari sudah semakin menyengat, aku kembali masuk dalam kamar karena keringat sudah sedikit membasahi tubuh. Aku langsung masuk kamar mandi agar tubuh segar lagi.Setelah mandi dan mengenakan daster ukura
“Percayalah! Beratnya memaafkan bukanbesarnya kezhaliman orang kepadamu, melainkan hatimu yang kurang luas untuk menampung semua beban.Kala hatimu lapang, kesalahan orang hanyalah warna-warna gelap yang justru memperkaya lukisan di kanvas kehidupanmu.”—S.Aminah Al Attas***“Ibu bahas apa saja sama Rafan?” tanyaku saat Ibu tengah mencuci piring bekas makan tadi.“Ibu bahas semua yang kamu ceritakan. Kenapa memangnya?”“Rafan belum mengajak kamu ngobrol semalam?” tanya Ibu lagi setelah hening dua menit. Ia ikut duduk di kursi meja makan.“Belum, Bu. Aku pura-pura tidur karena mau tahu dulu Ibu bahas apa saja.”Ibu hanya tersenyum, lalu memintaku menyusul Rafan dalam kamar. Tanpa menunggu waktu lagi kaki menuntun diriku masuk kamar.Aku meraih gagang pintu dan membuka perlahan. Rafan terlihat duduk di kursi rias seperti sedang latihan drama atau entahlah.
Jam sepuluh pagi aku baru selesai mandi karena lepas salat subuh tadi ketiduran. Bagaimana tidak tidur, sepanjang malam begadang karena jadi langganan kamar kecil.Setelah makan, aku melangkah pelan ke toko menghampiri Rafan. Butuh beberapa menit baru sampai, ternya sedang sepi. Mungkin baru pulang atau entah.Dari dalam muncul Diva sambil tersenyum manis. “Rafan, sejak kapan ....”“Anu tadi, an–”“Tadi ke sini karena ada satu hal. Kalau begitu aku pulang dulu, ya.”“Fan, jangan lupa. Siang atau sore nanti aku balik,” tambah Diva, lalu melenggang pergi.Aku diam menantikan penjelasan. Namun, lelaki itu hanya bisa menunduk. Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada pemilik suara itu. Ia tersenyum, di kantong mata dan beberapa bagian wajahnya tergambar keriput.“Waalaikumussalam, Ibu,&rdqu
[Kamu ke sana jam berapa, Lin?]Pesan WhatsApp pribadi yang dikirim Mei subuh tadi baru aku baca setelah hampir pukul delapan pagi.[Jam delapan, insya Allah, Mei. Kamu sama siapa?][Nebeng sama sepupu. Kebetulan ia mau keluar dan lewatin rumah Farah.][Oke, kalau begitu kita ketemu di sana saja.][Sip.]Aku meletakkan ponsel dan melangkah ke cermin. Sudah bagus dengan make up minimalis. Untung saja Farah ingat kalau aku sedang hamil tua jadi diberi baju ukuran jumbo.Rafan pun telah siap, aku gegas mengambil tas kecil berwarna putih, lalu melangkah ke luar bersama Rafan. Diva berdiri setelah melihat kami.Sejak pukul enam pagi tadi ia sudah ada di sini. Entah ia mandi sebelum subuh atau entahlah. Make up ia poles di ruang tamu, bahkan jilbabnya sekalian. Ia benar-bemar tidak ingin ketinggalan.Aku jadi semakin penasaran seperti apa rupa calon suaminya. Ia memakai dress warna silver untung saja tidak senada dengank
“Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”—QS. Al-Baqarah ayat 187.***Badai pernikahan pasti berlalu meski dalam waktu yang lama. Aku hanya harus bersabar sedikit lagi. Tentang foto Marsha kemarin, biarlah dilupakan dahulu.Aku menghampiri Rafan yang tengah menyeduh teh hangat. Besok pernikahan Farah, barangkali ia lupa. “Fan?”“Raline. Duduklah!”“Besok kita ke nikahan Farah, 'kan?” tanyaku setelah mengempas bokong di kursi.“Insya Allah, kenapa?”“Aku pikir kamu lupa.Rafan memamerkan gigi putihnya. Benar-benar bosan kala pembicaran habis. Seperti anak remaja akan badmood saat tidak ada bahasan yang harus dibahas lagi.Entah untuk pacar, sahabat atau gebetan. Tepatnya kehabisan kata-kata.Sudah tiga hari hujan mengguyur menjadikan pakaian kadang tidak kering te
“Aku pulang dulu, ya, Lin. Sudah mau pukul lima sore. Nanti orang di rumah nyariin lagi,” ucap Farah dengan raut sedih.Memang kami sering bertemu, tetapi ketahuilah bahwa jika kita punya teman yang bisa membawa kedamaian pasti akan selalu rindu untuk bertemu dan seperti itulah kawan terbaik. “Hum.”“Tenang saja, aku bakal ke sini lagi. Namun, harus kamu dulu yang datang ke pernikahan aku.”“Aku hamil tua, Far.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara sedih. Dilema.“Yang penting hadir. Kamu sama Mei di dalam kamar saja. Nanti aku sediain kamar si samping kamar pengantin khusus untuk sahabat tercinta. Oke?”“Jangan mencoba beralasan lagi atau persahabatan kita cukup sampai di sini.”“Kalau misal aku lahiran?”“Kamu boleh tidak hadir kalau lagi sakit, lahiran atau semoga enggak, meninggal. Oke?”“Insya Allah, Farah. Kamu sahaba
Minggu ini Rafan izin jogging sebentar karena badannya pegal. Aku mengiyakan dengan syarat tidak membawa ponsel dan dompet. Jika membawa keduanya tentu bisa jauh perginya.Teringat saat pertama ia bertemu dengan Diva. Hal itu bisa terjadi lagi jika tidak berusaha dihindari. Netra memandang ke nakas, di sana ada dompet Rafan sementara ponsel ia charger.Aku beranjak dari kursi rias, lalu menuju nakas. Dompet kulit berwarna cokelat kini dalam genggaman. Sungguh sudah lama aku tidak memegan dompet ini sehingga penasaran dengan isinya.Ada dua atm di sana yang aku tidak tahu berapa saldonya. Aku cek lagi ada beberapa lembar uang merah bergambar presiden pertama, Soekarno Hatta. Namun, saat melihat ke arah KTP, jantung berdebar cepat karena ada sesuatu yang mengganjal.Aku mencopot KTP itu dan ternyata berhasil membuat lidah kelu. Jantung memompa cepat dan aku langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang.“Foto Marsha?” gumamku.Pa