Share

Bab 3

Reynold Gilgan dan Raditya Gilgan datang kerumah keluarga Hermantyo, Radtya membawa sebuket bunga mawar yang cukup besar. Dia tampak tersenyum sembari mencium aroma dari bunga tersebut.

“Kau serius ingin melamar anak dari Hermantyo, kau tidak salah ingin menikah dengan pemilik perusahaan yang baru berkembang” Reynold menanyai anaknya saat mereka berdua sudah berada di luar mobil.

“tidak ada yang salah dengan perusahaan berkembang, kalau aku sudah bilang menyukai anaknya maka aku akan lakukan. Dan tidak ada alasan nantinya mereka menolakku sebagai suami anak mereka” Radit berkata dnegan begitu yakin,

Reynold tentu saja tidak bisa apa-apa, kalau Radit sudah mengambil keuptusan maka ia mau tak mau harus menurutinya. Sebenarnya ia tak begitu setuju dengan keinginan Radit, mau bagaimana lagi pria itu anak tunggalnya.

“Papa ajukan kerjasama dengan mereka tawarkan kemauan mereka apa, sampai mereka melepas anaknya untukku” pinta Radit pada sang Papa.

“Maksudmu Papa menjebak mereka dengan kerjasama agar tidak menolakmu begitu, Radit sadarlah. Lebih baik wanita pilihan Papa daripada wanita pilahanmu” tukas Reynold berat hati.

Radit yang mendengar itu langsung menatap tajam papanya yang, juga menantapnya.

“Papa keberatan? Kalau keberatan ya sudah jalankan saja sendiri bisnismu. Aku tidak akan melakukan semua pekerjaanmu dan lihat apa yang akan dilakukan paman pada perusahaan kita nanti” Radit mengeluarkan kata-kata ancamannya pada sang Papa, membuat Reynold mati kutu. Tentu saja dia tak ingin perusahaan keluarga milik ayahnya jatuh ketangan adiknya dan anak-anak dari adiknya.

“Kau memang sama saja dengan Pamanmu yang suka mengancam, kenapa kau jadi anakku bukan jadi anaknya” cibir Reynold.

“tanyakan saja pada tuhan, ayo pa” Radit langsung melenggang pergi mengajak papanya untuk berjalan kearah perkarangan sebuah rumah berlantai dua.

......................................................

“Maksud kedatangan saya kemari, saya ingin melamar putri anda untuk anak saya. Dengan tawaran kerjasama dengan perusahan milik kita, kau pasti tahu saya siapa dan anak saya siapa?” Reynold langsung menuturkan maksud kedatangannya saat mereka sudah di persilahkan masuk dan disambut oleh sepasang suami istri pemilik rumah.

“Tentu, tentu kita tahu siapa kalian berdua tuan. Ta..tapi apa anda serius ingin melamar anak saya. Anak saya yang mana ya, saya punya dua putri dirumah ini” Herman tampak sedikit terkejut dan dia tergagap untuk menjawab putri mana yang dimaksud Reynold barusan.

“Widya, saya ingin melamar Widya” sahut Radit

“Wi..Widya” gugup istri dari Hermantyo, mereka berdua saling lihat satu sama lain.

“Iya, saya ingin melamar Widya. Bisa minta dia keluar sebentar, saya ingin bicara dengannya” ucap Radit.

“Di..dia sedang keluar dengan temannya,” jawab istri Herman langsung. Herman yang mendengar itu terlihat sedikit terkejut mendengar istrinya berbicara begitu.

“Oh, Intinya saya ingin melamar putri anda. Dan katakan padanya, beberapa hari lagi saya langsung menikahinya” tukas Radit dengan keputusannya sendiri.

“Radit,.”tegur Reynold pada anaknya yang terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan.

“Baiklah akan kami sampaikan pada Widya, dia pasti mau menikah denganmu. Tadi anda bilang teman sekolahnya dulu kan?” ucap istri Hermantyo yang tak menolak sama sekali.

“Ya”

“Saya rasa pembicaraan ini sudah selesai, ayo Radit kita pulang” reynolad langsung menyudahi pembicaraan mereka begitu saja. Dia merasa tak setuju dengan keputusan Radit yang terlalu terburu-buru.

“Ke..kenapa terburu-buru tuan, ba..bagaimana tentang kerja sama kita. Itu belum kita bahas” ucap Herman yang tak mengerti kenapa tamunya terburu-buru pergi.

“Kita bicarakan lain waktu, Radit apa kau tidak dengan apa yang papa katakan. Ayo pulang” tegas Reynold, dia langsung berdiri lebih dulu tanpa tersenyum dan langsung keluar membuat sang tuan rumah kebingungan sendiri.

“Kalau begitu saya permisi, tolong maklumi sifat Papa saya. Tolong berikan bunga ini untuk Widya” ucap Radit memberikan buket bunga besar tersebut pada Herman.

“Terimakasih, nanti akan kami sampaikan pada Widya” ucap herman.

Radit langsung berjalan keluar dengan diantarkan kedua orang tersebut, sedangkan Reynold sudah masuk kedalam mobil. Pengawal pribadinya sudah membukakan pintu untuknya.

“Ini rejeki nomplok pa, rejeki nomplok. Mimpi apa keluarga kita mau menjadi besan keluarga konglomerat” girang Halima.

“rejeki nomplok apa ma, ini bukan rejeki nomplok tapi musibah ma” tukas Herman yang gelisah sendiri.

“Musibah darimana pa, ini jeas rejeki nomplok, kalau Widya mau menikah dengan putra semata wayang tuan Reynold. Kita benar-benar kaya pa, Papa tidak dengar tadi mereka menawarkan kerja sama pada kita. Ini bagus untuk perusahan tekstil kita pa” ucap Halima menggebu-gebu.

“Nah itu masalahnya ma, ia kalau Widya mau kalau tidak. Kita bisa hancur ma. Tahu sendiri mereka anti penolakan”

“Papa tenang saja, Widya pasti mau. apalagi dia teman sekolah Widya dulu kan, Mama nanti akan menelponnya, Mama bakal bilang padanya soal ini” ucap Halima tanpa rasa cemas sama sekali, dia malah girang sendiri. berbeda dengan Herman yang masih terus saja gelisah. Karena pikirannya begitu buruk, dia tahu anaknya Widya seperti apa. perempuan itu ingin berkarir di luar negeri dan mengejar keinginannya terutama kuliahnya.

“Sudahlah pa, tidak usah gelisah begitu. Ayo masuk, mama mau menelpon Widya. Lebih baik papa cari Wulan daripada gelisah mikirin hal begini”

“Wulan? Memang Wulan kemana?”

“entahlah, mama tidak tahu dia kemana. Dari subuh sudah tidak ada di kamarnya”

“Apa? dari subuh. Kenapa mama tidak bilang?”

“Papa tidak tanya, sudahlah ayo masuk” Halima malah melenggang pergi, sedangkan Herman semakin gelisah bukan karena lamaran mendadak ini tetapi soal Wulan yang dari subuh tak ada dirumah. kemana kira-kira perginya anak keduanya. Anak itu tengah rapuh dan tak punya penopang saat ini.

“Tuhan, jaga selalu putriku Wulan, lindungi dia” harap Herman, dia takut kalau Wulan kenapa-kenapa atau bahkan melakukan hal nekat. “Wira kenapa dua hari ini juga tidak pulang kerumah, apa dia tahu kondisi kakaknya yang seperti ini” gumam Herman,

Herman langsung mengambil ponselnya di dalam saku celana, hendak menelpon sang putra yang sudah dua hari tak pulang dengan alasan menginap dirumah temannya karena libur sekolah.

Wira Hermantyo, putra bungsu Hermantyo yang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah atas. Dia tengah libur sekolah sehabis ujian, membuatnya leluasa menginap dirumah temannya.

Baru saja Herman akan menghubungi Wira, remaja itu baru saja turun dari sebuah mobil yang mengantarnya saat ini.

“Kenapa Papa ada didepan rumah?” tanya remaja itu pada sang papa.

“Kau darimana, dua hari tidak pulang kerumah?” Herman malah balik bertanya pada anaknya.

“Kan aku sudah bilang, aku menginap dirumah teman pa” jawab remaja itu santai tanpa rasa takut.

“Wira, Wira, kau tidak pulang apa kau tahu kondisi kakakmu hah”

“Kakakku yang mana, kakakku ada dua?”

“Kakakmu Wulan”

“Kak Wulan kenapa?” tanya Wira wajahnya berubah serius. “mama melakukan apalagi padanya, mengambil darahnya paksa?” tukas Wira dengan sorot mata tajam dan tangannya yang mengepal.

“Bukan,”

“Lalu, eh sepertinya memang bukan karena itu. kalau darahnya diambil paksa pasti dia tidak akan sesehat tadi sampai memarahiku di Cafe” ucap Wira yang teringat soal kakaknya yang memukulnya tadi saat mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah Cafe.

“Cafe? Kalian bertemu di Cafe?”

“Ya, tidak sengaja saja aku bertemu dengannya. dia bekerja di Cafe itu” jawab Wira.

“Kakakmu bekerja?” Herman semakin terkejut mendengar hal tersebut. Ia tak tahu jika putrinya bekerja di Cafe.

“hemm, sudahlah pa. Aku mau masuk dulu, aku ingin mandi dan istirahat” Wira langsung melenggang pergi meninggalkan Papanya yang Seperti masih ingin berbicara. Alasan Wira pergi lebih dulu tentu saja ingin menghindari pertanyaan Papanya soal kakaknya. ia tadi keceplosan berbicara, padahal ini rahasia dirinya dan kakaknya Wulan.

°°°

T.B.C

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status