Duak!Benturan mobil terdengar keras. Erin merasakan dirinya seperti terbang. Namun mata Erin tetap dibiarkan terpejam. Tak sanggup rasanya melihat kenyataan. Entah Erin akan pindah alam atau masih dikasihani oleh Tuhan. "Woooooowwwwww! Wuuuhuuuu!" teriak Alex kegirangan.'Pria gila! Akan menghadap sang pencipta bisa-bisanya berseru senang!' batin Erin.Braakk! Braakkk! Braakk! Ciiiiitttttt! Kraaaakkkk!Erin mendengar jelas bunyi aneh yang menyakitkan. Sepertinya berasal dari truk yang sempat dilihat tadi. Karena Erin merasa tidak berguncang seperti tadi. Rasa penasaran Erin membuatnya membuka mata. Rupanya mobil yang ditumpangi Erin berada di jalan raya lagi. Entah kapan bisa terjadi seperti itu."Yeeeeaahhh! Aku pasti menang!" Alex berseru dengan semangat. Saat Erin akan mendebat Alex, justru kesulitan kembali dengan fantasi Erin yang lebih menyesakkan. Adegan pergulatan panas antara pria dan wanita di atas ranjang membuat Erin berkeringat. Tanpa sengaja Erin juga melepaskan suar
Sebuah hal yang diminta oleh Alex semalam rupanya bukan hal yang menakutkan bagi Erin. Namun sangat merepotkan. Karena Erin harus membujuk kekasih Alex yang sedang marah dan menyampaikan pesan jika Alex ingin menghabiskan malam yang panjang dengan sang kekasih.Akibat kelelahan dalam menuruti segala perintah Alex dan pacarnya membuat Erin harus tertidur di sofa sebuah hotel yang ada di lobi hotel. Erin tidak bisa berada di kamar hotel yang dipesan Alex, karena suara sahut-sahutan Alex dan pacarnya saat beradu aset masa depan sangat mengganggu. Kini Erin terpaksa dibangunkan oleh Alex. "Hei! Ayo pergi!" ucap Alex dengan nada lirih sembari mengguncang keras tubuh Erin. Erin mengerjapkan mata. Rasa pusing masih mendera kepala Erin akibat kurang tidur dan meminum sesuatu yang aneh semalam. Namun Alex tidak membiarkan Erin menyelaraskan tubuhnya hingga normal kembali.Kini Erin berada di dalam mobil bersama Alex. Erin merasa Alex berbeda dengan yang semalam. Harapan Erin sekarang Alex te
"Ada apa?" tanya Edward tampak penasaran. "Ayahku tiba-tiba kondisinya menurun. Bolehkah aku turun di depan sana saja. Aku janji akan kembali ke rumahmu setelah ini." Edward yang pada dasarnya suka iba dengan derita orang lain, akhirnya menepikan mobilnya. Sejujurnya Edward ingin mengantarkan Erin kembali ke rumah sakit. Namun pesan dari ayahnya untuk segera ke kantor membuat Edward mengurungkan niat."Punya ongkos untuk ke rumah sakit?" tanya Edward sebelum meninggalkan Erin."Punya. Kau tenang saja. Terima kasih. Maaf, ya."Edward kemudian melajukan mobilnya meninggalkan Erin. Erin memandangi mobil Edward yang telah menjauh. Ia harus memesan ojek online agar cepat sampai di rumah sakit. Jika menunggu taksi akan lama bagi Erin. Ojek online pesanan Erin telah tiba. Erin naik ke motor setelah memakai helm. Perlahan motor melaju menuju ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan Erin merapalkan doa untuk keselamatan sang ayah. 'Tuhan ... tolong jangan ambil ayah sekarang. Aku masih belum m
Erin pusing tujuh keliling mendengar pertanyaan Vije. Belum sempat memberi jawaban, Erin ditelepon oleh pak Edo. Hal itu membuat Erin pamit keluar sebentar dari kamar Vije. Di luar kamar, Erin mengangkat telepon dari pak Edo. "Halo, Pak. Ada apa?""Erin, tolong segera siapkan tuan muda. Rapat di kantor akan dimulai empat puluh menit lagi.""Masalahnya, sekarang Edward sedang berganti kepribadian menjadi Vije, Pak. Saya bingung harus bagaimana membujuknya untuk pergi ke kantor.""Aduuhhh! Bisa gawat kalau seperti ini. Karena rapat yang akan diadakan merupakan rapat penting. Kalau tidak datang, kesempatan tuan muda untuk bisa mengelola perusahaan akan jatuh ke tangan sepupunya."Erin mengigit kukunya. Ia harus berpikir keras. "Pak, sebenarnya Vije mau ke kantor dengan dua syarat.""Apa itu? Pertama minta dimandikan dan kedua minta naik kereta pulang dari kantor.""Turuti saja.""Ta ... tapi ... Pak. Saya kan wanita. Tidak mungkin memandikan Vije yang merupakan pria dewasa, Pak.""Keing
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Vije. Erin terkejut dengan tindakan pria yang ada di depannya itu. Tindakan tersebut membuat Vije menatap dengan air mata yang tertahan."Anak sialan! Kenapa kau ke kantor dengan seperti ini!" Pria di hadapan Vije dan Erin meninggikan suara. Vije berlari menjauh dari sana. Erin langsung menyusul Vije. Tidak mungkin Erin membiarkan Vije sendirian. Namun langkah Erin kalah dengan langkah Vije yang lebih cepat hingga pintu lift tertutup. Erin harus menunggu lift naik kembali. Suasana sepi di lantai dua memberikan keuntungan bagi Vije. Erin bisa memastikan jika rapat memang akan diadakan lebih lambat dari perkiraan. Sepertinya memang disengaja. Ting!Pintu lift terbuka. Erin segera masuk ke dalam lift. Sebuah doa terus dipanjatkan Erin agar Vije tidak pergi jauh. Sampailah Erin di lantai dasar. Ia menatap ke sana kemari untuk mencari Vije. Terlihat di sana ada pria lain yang menghentikan Vije. Erin berlari mendekati Vije. "Tolong lepaska
Erin pergi dari taman bermain bersama Edward. Tujuan mereka tentu saja kembali ke kantor. Harapan Erin, semoga saja Edward tidak berganti kepribadian pada saat yang penting. "Kau memikirkan sesuatu?" tanya Erin yang sempat menangkap Edward menatap jalanan dengan serius. "Hanya penasaran dengan apa yang akan dibicarakan di kantor sampai memanggilku kembali. Padahal jelas tadi aku membuat kekacaun." "Jangan buat dirimu tertekan. Penting untuk menjaga dirimu yang sekarang sebagai kendali penuh atas tubuhmu."Edward mengangguk. "Lakukan apa saja yang bisa membuatku tidak berganti kepribadian." Erin meminta pak Edo untuk memutarkan musik. Tidak ingin memaksakan kesukaan dirinya pada Edward, maka Erin bertanya tentang lagu kesukaan Edward. Deretan lagu diberikan Edward pada Erin. Sepanjang perjalanan menuju ke kantor diiringi dengan lagu bahasa Inggris yang disukai Edward. Sesekali Erin juga memastikan ekspresi wajah Edward. "Ehem! Tidak perlu setiap menit juga kau menatapku." "Oh, m
Orang yang memanggil Erin langsung menyeret tangan Erin. Sementara Erin yang ditarik hanya diam saja. Kemungkinan besar Erin diam karena berada di rumah sakit atau orang yang menarik Erin adalah orang baik. "Aman sekarang." Pria yang menarik tangan Erin berbicara yang sekarang berada di kantin rumah sakit. "Terima kasih, Andi. Tapi ... kau tau dari mana kalau aku menghindari orang itu?" Erin terlihat penasaran, karena tidak pernah mengatakan pada orang lain soal dirinya yang dikejar oleh anak buah tante Desi."Aku tadi sempat bertemu dengan orang tadi. Aku tanya tentang kepentingannya kemari. Ternyata ingin bertemu denganmu. Dari tatapannya saja sudah tidak bersahabat. Apalagi sempat melihat sekilas reaksimu tadi."Erin tersenyum sekilas. Dari dulu Andi tidak pernah berubah. Selalu saja Andi cepat membaca situasi dan menjadi penolong Erin. "Sekali lagi terima kasih. Hanya itu yang bisa aku lakukan sampai sekarang padamu. Maaf tidak bisa membalas setimpal.""Tidak apa-apa. Santai sa
"Vije gak suka naik gerbong yang itu!" Vije akhirnya berbicara di sela-sela tangisnya. Erin yang masih mencari cara agar Vije tenang, berusaha mendudukkan Vije. Ia tidak tahu jika Vije suka gerbong tertentu. Jadi, Erin memesankan kereta asal saja. Tidak mempedulikan eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Kebetulan kereta yang dipesan sekarang adalah kereta ekonomi."Kalau gitu, kita pulang ya." Erin tidak bisa memaksa Vije menaiki apa yang tidak disukai."Vije mau ganti gerbong aja! Bisa kan, Kak?"Erin melihat jam tangannya. Masih ada waktu. Biasanya pihak kereta api menjual tiket kereta secara mendadak dengan harga miring. Hanya saja harus berebut dan belum tentu dapat."Ayo kalau begitu! Tapi, kalau tidak dapat ... jangan menangis heboh lagi. Karena mendadak. Lalu, kalau tidak bisa duduk bersama juga jangan protes, ya. Karena yang dijual nanti hanya sisanya saja." Erin menarik tangan Vije. Vije menahan dirinya agar tidak mudah ditarik Erin. Akhirnya Erin pasrah."Kenapa lagi?""Vije te