LOGINWaktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Jantung Diana sudah tidak bisa berdebar seperti biasa lagi setelah berdiri tepat di depan kamar Daniel.
Malam ini juga Diana harus melakukan apa yang diminta oleh pria itu. Diana menelan ludahnya berkali-kali sembari menetralisir kegugupannya.
Diana kemudian mengetuk pintu kamar tersebut dan beberapa detik kemudian membuka pintunya.
“Selamat malam, Tuan,” sapa Diana dengan pelan.
Daniel yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatap Diana dengan tatapan gelapnya. Kemeja hitam dengan dua kancing sudah terbuka, memperlihatkan dada bidang Daniel.
Daniel beranjak dari duduknya lalu memberikan sebuah lingerie warna merah darah mencolok transparan.
“Gunakan ini,” titah Daniel dingin.
“A-apa, Tuan?” ucap Diana dengan gugup.
Daniel hanya menarik tangan Diana dan memberikan baju itu padanya. Dari tatapannya terlihat jelas kalau Daniel enggan mengatakan dua kali.
Diana pamit untuk mengganti pakaian itu ke kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, kini, tubuhnya berdiri di depan cermin besar dalam kamar mandi mewah, dengan pakaian yang bahkan tak pantas disebut sebagai kain.
Diana menatap refleksi dirinya yang nyaris tidak ia kenali. Tubuhnya terbalut lingerie merah transparan yang membalut ketat di setiap lekuknya.
Gaun tipis itu terlalu kecil untuknya, hingga setiap inci kulitnya terekspos dengan gamblang. Dada padatnya tampak menyembul, nyaris keluar dari belahan kain yang seolah menolak menutupi apa pun.
Dia memejamkan matanya lalu menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa takut yang mencengkeram dadanya.
Dalam benaknya, wajah Citra yang memohon untuk melunasi uang sekolahnya, sewa rumah yang sudah jatuh tempo. Diana tidak boleh mundur apalagi membatalkan semuanya.
Setelah beberapa saat menatap dirinya sendiri, Diana akhirnya menegakkan bahu. Ia tahu bahwa malam ini tidak ada jalan kembali.
Dengan langkah gemetar namun mantap, dia menggenggam gagang pintu dan menariknya perlahan.
Begitu keluar, hawa dingin dari ruangan utama langsung menyapu kulitnya yang terbuka.
Diana menahan diri agar tidak memeluk tubuhnya sendiri untuk menutupi rasa malu. Ia berusaha berjalan tegak, meski langkahnya terasa berat seolah setiap gerakan adalah ujian keberanian.
Dan di sanalah Daniel berdiri menunggu di dekat ranjang besar berseprai hitam satin.
Lelaki itu kini sudah tanpa atasan, hanya mengenakan celana panjang hitam yang memperlihatkan dada bidang dan perut berototnya yang terbentuk sempurna.
Aura dominannya begitu kuat hingga membuat udara di sekitar seolah ikut menunduk padanya.
Jantung Diana seketika berdebar tak karuan. Ia menelan ludah berkali-kali, berusaha menahan diri untuk tidak menunduk.
Tapi tatapannya tetap saja terseret menatap dada Daniel yang lebar, kokoh, dan begitu dekat hingga dia bisa mencium samar aroma sabun maskulin yang menempel di tubuhnya.
Daniel memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan gadis itu dari atas hingga bawah.
Tatapan matanya perlahan menelusuri setiap lekuk tubuh Diana yang dibalut tipis kain merah itu.
Pandangan itu bukan sekadar menilai, itu seperti kepemilikan. Pandangan seorang predator yang tengah menikmati hasil buruannya.
“Sa-saya sudah siap, Tuan,” ucapnya dengan terbata.
Daniel melangkah mendekat dengan langkah pelan namun mantap. Setiap langkah yang ia ambil terdengar seperti dentuman dalam dada Diana.
Saat akhirnya lelaki itu berdiri tepat di depannya, Diana bisa merasakan panas tubuhnya, bisa mencium aroma cologne yang tajam dan elegan.
“Kamu masih perawan?” tanya Daniel kemudian.
Diana mengangguk pelan. “Ya, Tuan. Saya belum pernah melakukannya dengan siapa pun.”
“Bagus. Untuk pertama kalinya melakukan itu mungkin sedikit membuatmu tersiksa.”
Diana menatapnya dengan mata membulat, tidak yakin harus menjawab apa. Ujung jarinya menggenggam kain lingerie-nya sendiri, mencari pegangan dari rasa gugup yang hampir membuat lututnya lemas.
Daniel mendekat sedikit lagi hingga wajahnya kini hanya beberapa senti dari wajah Diana. Tatapannya menembus dalam, penuh intensitas yang sulit didefinisikan.
“Namun, aku menyukainya.”
Dia berhenti sejenak dan menatap bibir Diana yang bergetar halus sebelum melanjutkan dengan nada berbisik yang membuat udara di antara mereka bergetar.
“Melihat wanita yang kukuasai merintih sakit menahan segala kegilaan yang akan kulakukan.”
Diana duduk di tepi ranjang kamarnya dengan tubuh yang terasa asing baginya sendiri. Tangannya bergetar ketika dia menurunkan pandangan ke satu lembar kertas di atas meja kecil di dekat ranjang kecilnya.Sebuah cek kosong. Angka belum diisi. Hanya satu tanda tangan tegas di sudut kanan bawah—tanda tangan Daniel.Nama pria itu tercetak jelas, seolah menertawakan segala yang baru saja dia korbankan beberapa menit yang lalu.Diana menelan ludahnya. Dadanya terasa sesak. Dia tidak tahu apakah ini akan berlangsung seminggu, sebulan, atau entah sampai kapan.Daniel tidak pernah memberinya batas waktu. Tidak ada perjanjian tertulis. Tidak ada akhir yang jelas.Hanya satu hal yang pasti bahwa malam ini adalah yang pertama. Dan itu cukup untuk membuatnya merasa kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.Dia lalu memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di sini. Tidak setelah semuanya terjadi.Ponselnya tiba-tiba bergetar di
Pria itu kemudian menuntun Diana ke ranjang luas yang rapi dan elegan. Matanya menatap bibir merah Diana yang sudah menjadi incaran Daniel sejak tadi.Tangannya menyusuri garis rahang Diana lalu bibirnya mulai menyentuh bibir wanita itu.Ciuman yang semula lembut bahkan tidak menuntut, namun berhasil membuat tubuh Diana begitu tegang.Daniel bisa merasakan betapa tegangnya Diana yang kini sedang dia kuasai. Tangannya mengusap punggung Diana dengan lembut dan bibirnya menyusuri lidah Diana dan bergerliya hebat hingga suara cecapan itu kian terdengar.“Umh ….” Diana mulai mengeluarkan desahan dan berhasil membuat Daniel menggila.Bibirnya kembali masuk ke dalam, memainkan lidahnya lalu merebahkan tubuh Diana dengan perlahan. Tangan Diana memegang lengan kokoh Daniel dengan erat.Napasnya hampir habis karena ciuman membara yang dilakukan Daniel padanya.Bibir Daniel turun ke bawah, menyusuri garis leher Diana dengan lidahnya. Memberikan sensasi panas menguasai tubuh Diana.Perempuan itu
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Jantung Diana sudah tidak bisa berdebar seperti biasa lagi setelah berdiri tepat di depan kamar Daniel. Malam ini juga Diana harus melakukan apa yang diminta oleh pria itu. Diana menelan ludahnya berkali-kali sembari menetralisir kegugupannya.Diana kemudian mengetuk pintu kamar tersebut dan beberapa detik kemudian membuka pintunya.“Selamat malam, Tuan,” sapa Diana dengan pelan.Daniel yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatap Diana dengan tatapan gelapnya. Kemeja hitam dengan dua kancing sudah terbuka, memperlihatkan dada bidang Daniel.Daniel beranjak dari duduknya lalu memberikan sebuah lingerie warna merah darah mencolok transparan.“Gunakan ini,” titah Daniel dingin.“A-apa, Tuan?” ucap Diana dengan gugup.Daniel hanya menarik tangan Diana dan memberikan baju itu padanya. Dari tatapannya terlihat jelas kalau Daniel enggan mengatakan dua kali.Diana pamit untuk mengganti pakaian itu ke kamar mandi.Beberapa menit kemudian, kini, tub
Pagi datang terlalu cepat bagi Diana. Wanita itu kembali mengenakan seragam pelayan berharap Daniel tidak jadi memecatnya.“Tolong antarkan kopi untuk Tuan Daniel,” ucap Angela sambil memberikan nampan berisi kopi kepada Diana.Wanita itu menerima nampan tersebut dan berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Daniel. Tangannya gemetar meski dia berusaha menggenggam nampan kopi itu sekuat mungkin.Aroma kopi hitam yang masih mengepul hangat tidak mampu menenangkan debar jantungnya.Setiap langkah mendekati pintu itu membuat kepalanya semakin penuh dengan ingatan malam sebelumnya, kata-kata Daniel, pintu yang terkunci, tawaran yang tak pernah benar-benar dia pahami sepenuhnya.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.“Masuk.”Dia lalu membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Daniel duduk di balik meja kerjanya, mengenakan kemeja rapi dengan lengan digulung setengah.Rambutnya tersisir rapi, wajahnya bersih bahkan Diana sempat terpana karena penampilan Daniel jau
“Pu-puaskan, Tuan?”“Ya.” Daniel mengangguk singkat. “Puaskan hasratku sampai tuntas.”Diana menelan ludahnya dan keringat dingin membasahi keningnya. “Ta-tapi, saya–”“Aku tidak butuh pelayan yang tidak berguna. Kalau tidak mau melayani sesuai perintahku, angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Kalau mau, kamu tetap akan dapat gaji, dan aku akan memberimu bonus jika berhasil membuatku puas.” Dia lalu menyandarkan tubuh ke sofa dengan malas, seperti seorang hakim yang hanya menunggu vonis dijatuhkan.Mata gelapnya menatap Diana tanpa berkedip. Alkohol membuat sorot itu semakin tidak stabil, tetapi juga semakin berbahaya.“Jika kamu mau,” lanjut Daniel pelan dan berat, “kamu tetap bekerja di sini. Malam harinya, kamu datang padaku dan melayaniku. Pagi harinya, kamu kembali bekerja seperti biasa.”Diana terperangah mendengar ucapan Daniel barusan. Bagaimana mungkin Diana melakukan hal itu sedangkan dia sama sekali belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun. Bahkan menjali
Tanpa berkata apa pun, Daniel kembali berjalan masuk ke dalam dan duduk di sofa sambil melipat tangan di dadanya.Kemeja kerjanya terbuka dua kancing di atas, lengan yang tergulung asal, dan sebuah botol whiskey kaca setengah kosong di meja kopi.“Tuan, saya bisa belajar. Saya bisa memperbaiki semua kesalahan saya. Tolong jangan pecat saya. Saya melakukan ini untuk keluarga saya. Saya … saya akan melakukan apa saja asalkan tetap bekerja di sini.”Kata terakhir itu seperti terlepas tanpa bisa ia tarik kembali.“Apa saja.”Daniel akhirnya mengalihkan pandangan menatap Diana. Dia memandangnya dari atas ke bawah secara perlahan.Bukan tatapan kejam seperti siang tadi, tapi tatapan seseorang yang tidak sepenuhnya sadar karena terpeleset di antara mabuk dan kesedihan yang menahun.Wanita di foto itu masih berada di tangannya.“Apa saja, huh?” gumam Daniel seraya menyunggingkan senyum penuh misterius.Diana menelan ludahnya karena dia tidak mengerti arah pembicaraan ini, tetapi ketakutan dan







