"Apa kamu tak bisa datang?" Suara mas Fandi terdengar lemah.Aku melirik ke arah Lala, tak ingin gadis kecilnya terjaga karena suaraku, aku berjalan menjauh dan keluar dari kamar Lala."Tidak bisa mas, tidak malam ini!" Ucapku tak ingin memberinya kesempatan lebih.Aku berjalan menuju kamarku sendiri dan menguncinya dari dalam."Kenapa? Aku sedang butuh dirimu Sri, ibu juga terus menangis di sini, aku nggak tai harus berbuat apa!""Dimana Fani?" Aku masih memegang ponsel dan meletakkan tas di meja rias."Aku belum bisa menghubunginya Sri." Suara mas Fandi terdengar kecewa."Hubungi lagi mas, dia juga harus tau bapaknya meninggal!""Nanti akan ku coba lagi Sri, yang penting kamu datang dulu!""Aku tak bisa mas, maaf!" Aku berkata dengan nada yang sedikit ketus. Kusandarkan punggungku di sofa kamar dan masih mendengarkan suara mas Fandi di seberang ruangan."Kenapa? Apa karena kami sedang bersama dokter kaya itu? Ingat Sri, kamu masih istriku dan tak elok jika perceraian kita saja masih
Mobil Tri tiba di pelataran, bapak berdiri di sisiku dan tersenyum saat Satria keluar dari mobilnya."Selamat pagi paman." Dia menjabat dan mencium tangan bapak. Adat ketimurannya masih di junjung meski lama dia ada di luar negeri."Pagi Iyan, kamu akan pergi bersama Mei?"Betul, dan nanti Iyan juga yang akan antar pulang.""Begitu? Baiklah jika begitu paman tak perlu merasa cemas."Aku berpamitan juga pada Bapak, bersama Lala aku masuk ke dalam mobil Satria. Lala masih sempat melambai, meski aku tau hatinya sedih akan kabat duka yang kusampaikan pagi tadi."Apa kabar cantik?" Satria menyapa Lala yang hanya diam di kursi belakang."Baik om Tri, tapi Lala sedang sedih.""Ya, om Tri tau yang terjadi, tapi om Tri sudah berusaha sayang, hanya saja mungkin Allah lebih sayng kakek Lala."Gadis itu terdiam dan menundukkan kepala, aku baru menyadari dia membawa buku gambarnya sejak tadi dan kini buku itu ada dalam pangkuan nya."Buku gambarnya terbawa ya sayang?" Aku bertanya dengan lembut da
Perdebatan kami menimbulkan banyak bisikan dan tatapan tak menyenangkan. Aku masih diam menghormati almarhum bapak dan para tamu lain yang pasti ingin suasana tenang sebelum jenazah di kebumikan. Beberapa kali mas Fandi mencuri pandang ke arahku, dan Satria berusaha membuatku tenang dengan terus berada di sisiku.Hingga waktu keberangkatan jenazah, ibu tersedu berdiri mengiringi peti bapak keluar dari dalam rumah, sementara ku peluk Lala dalam dekapan karena anak itu merasa sangat terpukul sekarang."Biar aku yang gendong Lala."Satria menawarkan diri saat melihatku kepayahan menopang berat tubuh Lala.Aku melihat sosok ayah dalam diri Satria, bahkan Lala yang sulit dekat dengan orang baru tak sungkan melingkarkan tangannya pada Satria."Apa kita ikut ke makam?" Satria bertanya saat kami sama-sama berjalan keluar rumah."Lala mau ikut ke makam kakek?" Aku bertanya pada gadis kecil ku, sebab aku kemari juga karena dirinya."Mau ma, kita ikut ke makam ya ma?""Lala mau di gendong Ayah sa
"Kenapa kamu begitu kejam padaku Sri?"Kalimat mas Fandi menghentikan langkahku, aku sudah berjalan keluar pemakaman bersama Satria dan Lala, namun tiba-tiba mas Fandi menghadang jalan kami."Bisakah kita bicara lain waktu, Lala sedang butuh ketenangan sekarang." Satria mencoba memberikan mas Fandi pemahaman.Lala memang belum berhenti menangis sejak tadi dan aku kira kami butuh waktu sendiri dulu untuk memberinya rasa nyaman dan tenang."Siapa kau berani mengatur apa yang harus aku lakukan pada keluargaku!"Mas Fandi yang memang sejak awal tak suka dengan satria merasa tersinggung dengan perkataan itu."Maaf mas, tapi Lala butuh tenang dulu sekarang. Lagi pula ini masih suasana berkabung, tak elok rasanya jika kita saling bertengkar di sini." Dengan nada pelan Satria mencoba lagi memberikan pengertian pada mas Fandi."Jangan sok mengatur apa yang harus aki lakukan, kamu hanya orang luar yang berada di dekat istriku sekarang."Satria akan bicara lagi, namun aku memegang lengannya."Bi
"Bagaimana jika kita makan siang dulu?"Satria memecah hening, sejak keluar pemakaman Lala memang hanya diam menatap jalanan, berkali-kali aku coba hibur, namun dia bergeming."Ah, mama juga lapar deh om Tri, kayaknya perlu di ini juga perut ini." Aku juga ikut mencairkan suasana, meski mungkin selera makanku tak ada sekarang."Bagaimana ini, ada yang belum memberikan persetujuan nih mama Sri." Satria masih merayuLala melirik ke arah Satria, meski tak tersenyum.dia mengeser duduknya menatap ke depan."Kalau mama dan om Tri lapar, makan dulu saja, Lala nggak pengen makan apa-apa." "Mana seru, kalau nggak makan sati, berarti nggak makan semua dong." Aku melipat tangan di dada."Mama juga nggak mau makan om Tri, nggak nafsu." Aku melirik Satria yang tersenyum seakan punya seribu cara membujuk Lala."Aduduh, perut aku sakit mama Sri..." Satria memegang perutnya dengan wajah di buat-buat, jelek sekali aktingnya."Sakit om Tri?" Aku ikut saja aktingnya yang kaku, mobil Satria bahkan berg
"Ma, om Tri itu baik ya." Lala tiba-tiba saja berkata padaku begitu, kami sedang duduk di balkon kamarnya pagi ini, sejak semalam dia memang tak berhenti membicarakan Satria."Kenapa Lala bisa bilang begitu?""Waktu ayah paksa Lala di gendong, om Tri ngelindungin Lala kan ma"Alisku bertaut mendengarnya." Ngelindungin dari siapa memang?""Dari ayah ma, ayah itu suka sekali makasa kan, lala nggak suka." Ucapnya polos lalu meminum susu di dalam gelasnya."Tapi ayah itu bukan orang jahat La, ayah ya tetap ayahnya Lala kan?""Iya, tapi Lala nggak suka." Ucapnya polos."Apa Lala benci ayah?"Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Kata mama kan kita nggak boleh benci orang lain. Lala nggak benci ayah, Lala cuma nggak suka ayah maksa Lala, kayak waktu ayah ajak Lala pergi dengan tante jahat itu."Aku diam, belum hilang dari ingatan memang saat mas Fandi dan mantan istri gelapnya itu membawa Lala pergi dadi sekolahnya, aku bisa melihat Lala memang sangat terpaksa saat bercerita dulu."Memangnya
"Apa yang ingin mas bicaraka?"Aku melipat tangan di dada, menatap lelaki yang pernah bertahun-tahun hidup denganku ini dengan seksama. Wajahnya yang dulu bersih dan terawat, kini terlibat kumal dan tak se menawan dulu."Aku tak akan bosan memintaku untuk memikirkan kembali tentang perpisahan kita Sri."Aku memutar mata malas mendengar ucapannya. Kamarin kami berdebat karena masalah ini dan sekarang dia memintaku datang juga karena masalah yang sama."Apa yang sebenarnya mas mau dari hubungan kita?""Maksudnya apa Sri?""Dulu pergi dan berkhianat jadi menyenangkan untukmu mas, bahkan dengan sangat bangga kamu bandingkan aku dengan wanita yang kamu anggap sempurna itu."Mas Fandi masih diam, tentu dia akan ingat bagaimana dirinya menghina dan merendahkanku."Katakan mas, bagaimana kamu bisa memintaku kembali setelah dulu kamu bilang aku wanita kumal?""Sri_""Jangan mengiba mas, hatiku tak lagi terketuk bahkan untuk memberimu rasa kasihan.""Maafkan aku Sri...""Buat apa meminta maaf m
Tunggu, sebenarnya ada apa antara mbk Aini dan Satria, bukanlah Satria tak memiliki anak? Kenapa sekarang dia begitu mesra dengan Mesya dan Mutiara."Duduk Sri...." Ucap Satria lalu berjalan pelan duduk juga di sisiku."Bisakah kamu jelaskan sesuatu Tri, sungguh aku terlihat sangat bodoh sekarang!" Ucapku masih menuntut penjelasan."Dia mbak Aini.""Ya, aku kenal mbak Aini, bukankah aku sudah ada di sini saat kamu datang."Satria tersenyum, aku rasa dia sedang binggung." Maaf jika aku salah bicara, jadi mbak Aini ini istri kakak sepupuku.""Sejak kapan kamu punya kakak sepupu?""Sejak di adopsi Sri, keluarga angkatku punya juga keluarga yang untuh."Aku sedikit lega, ternyata mbak Aini ini kakak sepupu Satria."Tunggu Iyan, kalian saling kenal?" Mbak Aini memanggil Satria dengan nama adopsinya."Sri ini wanita yang selalu aku bicarakan mbak."Wajah mbak Aini berubah, terkejut dan senyum yang puas, aku tak dapat mengartikan apa itu"Maksudnya mbak2 Sri ini teman kecilmu itu?"Satria me