Suara Bara mengagetkan bu Aisah yang sedang memegang barang-barang saksi kelamnya kisah Bara. Saat itu Bara sudah duduk dibangku kelas dua SMA. Akhirnya mengalir kisah dari mulut bu Aisah, dan semua barang tersebut dipercayakan kepada Bara yang menyimpannya.
"Kenapa ada foto anjing, bu?" tanya Bara saat membuka kardus tersebut.
Dengan gemetar bu Aisah menceritakan bagaimana jasa anjing tersebut menjaga Bara sepanjang malam yang dingin hingga membuat sekujur tubuhnya membiru.
"Kemana anjing tersebut bu?" tanya Bara bergetar.
"Ibu gak tau nak, ibu sibuk menjaga kamu di rumah sakit. Dan setelah pulang anjing tersebut sudah tidak ada lagi disini."
"Dan ini cincin pemberian ibumu, berilah kepada istrimu nanti, nak," lanjut bu Aisah.
Bara anak yang kuat yang tidak pernah menangis dan mengeluh tentang kerasnya hidup.
*
Setelah menyelesaikan sekolahnya Bara bekerja serabutan, kerja apa saja asal mendapatkan uang untuk membantu bu Aisah membiayai adik-adiknya di panti.
Hingga dua tahun yang lalu, Bara diterima bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahan besar Hario Group. Bara bekerja dengan tekun dan jujur. Dan pada suatu hari saat sedang membersihkan meja tuan Hario tak sengaja Bara menyenggol sebuah map hingga isinya berhamburan. Betapa terkejutnya Bara saat membaca berkas tersebut adalah bukti-bukti kejahatan tuan Hario dan kecurangan tuan Hario.
Entah keberanian darimana Bara mengcopy semua berkas tersebut dan menyimpannya. Yang saat ini dia pergunakan sebagai kekuatannya dalam mencapai tujuannya menguasai harta keluarga Hario.
Sepuluh hari lalu...
"Ada apa tuan memanggil saya?" tanya Bara saat dia dipanggil tuan Hario.
Bara sebenarnya takut kejadian tersebut diketahui oleh tuan Hario.
"Menikahlah dengan anakku dan tanda tangani surat perjanjian ini!" ucap tuan Hario to the point.
"Tapi tuan..."
"Saya tidak suka dibantah, datang kerumah saya pada tanggal sepuluh. Uangnya akan ditransfer ke rekening kamu. Sekarang silakan keluar dari ruangan saya!"
Tidak ada pilihan lain selain menikahi anaknya tuan Hario jika tidak nasib buruk akan mengintai sedangkan dia harus membiayai puluhan adik-adiknya di panti asuhan.
Saat pulang ke panti asuhan, Bara langsung menceritakan kepada ibunya.
"Bu, Bara akan menikah." Cerita Bara kepada bu Aisah sore itu. Setelah pulang kerja dia memilih pulang ke panti untuk menemui ibunya.
"Alhamdulillah, sama siapa nak?"
"Anak tuan Hario."
"Kok bisa?"
"Entahlah Bara juga gak ngerti bu. Bara dipaksa menikahi anaknya tanpa boleh menolak. Jika Bara menolak akibatnya akan dirasakan kita semua," ucap Bara sambil menerawang.
"Bara sudah tau anaknya?"
"Belum bu."
"Apakah kemungkinan anaknya cacat?"
"Entahlah bu."
"Tidak bisa menolak?"
"Bara sayang ibu, sayang adik-adik. Bara tidak ingin mengorbankan kalian, karena tuan Hario itu terkenal kejam dan tak punya hati."
"Tapi, kamu mengorbankan dirimu sendiri nak," ucap bu Aisah khawatir.
"Gapapa bu, siapapun anaknya akan Bara terima asal dia memperlakukan Bara seperti manusia."
"Kamu memang anak yang kuat nak," ucap bu Aisah memeluk Bara dengan erat.
Bara beranjak dan memasuki kamar anak laki-laki yang berisi ada lima anak laki-laki dengan umur yang bervariasi. Bukan hanya Bara yang masih sering kesini, banyak anak-anak yang sudah dewasa dan bekerja selalu ke panti dan membantu biaya adik-adiknya di panti.
"Kak Bara, Leo boleh nanya?" seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun bertanya kepadanya saat Bara bersiap untuk tidur.
"Tanya apa sayang?" tanya Bara sambil mengusap kepala Leo dengan sayangnya.
"Semua teman dikelas Leo mempunyai ayah dan ibu. Ayah kita kemana ya kak, kita cuma ada ibu."
Bara tersentak mendengar pertanyaan anak sekecil itu.
" Ayah kita sudah meninggal. Tapi kamu punya banyak kakak kan? Kalau Leo mau kapan-kapan kakak akan datang kesekolah Leo ya."
"Hore," jawab anak itu kegirangan.
Bara menerawang teringat dulu dia pernah menghajar habis-habisan beberapa orang kakak kelasnya saat dia duduk dikelas dua SMP. Saat ini beberapa orang tersebut membully nya dengan mengatakan mereka yang ada di panti itu anak haram, dibuang orang tua hingga tidak memiliki ayah.
Dengan kalap Bara menghajar mereka hingga salah satu dari mereka hampir menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau terlambat dibawa ke rumah sakit kakak kelasnya bisa selesai hari itu. Hal itu juga membuat bu Aisah dipanggil ke sekolah untuk menandatangani surat peringatan.
"Bara tidak boleh lagi seperti itu ya nak," nasihat bu Aisah saat mereka dalam perjalanan pulang.
"Mereka yang salah bu, mereka menghina Bara."
"Iya, diam saja nak. Apapun yang mereka lakukan tidak perlu membalas nak biarkan Allah yang membalasnya."
"Tidak bisa bu, mereka harus diberikan pelajaran kalau tidak semua orang bisa mereka hina," Bara tetap ngotot pendapatnya.
Sejak saat itu tak seorangpun berani mengusik Bara maupun anak panti yang lainnya.
Bara tidak pernah sedikitpun menangis saat mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari seseorang, dia pasti akan membalas kapanpun ada kesempatan.
"Kenapa malah melamun?" tanyan Ainel yang mendapati Bara yang sedang melamun tersebut.
"Gapapa."
"Lo jangan berpikir bisa mendapati gua."
"Besok kita harus pindah rumah!"
"Kemana?"
"Ke kost gua."
"Gua gak mau, pasti sempit sumpek. Pokoknya gua gak mau! "
"Kalo lo gak mau, minta belikan rumah kepada tuan Hario.
Berhasil. Taktik pelan yang Bara putarkan untuk kembali menguras uang keluarga Hario. Bara tersenyum puas.
"Lo mau memeras gua?" tanya Ainel tak suka.
"Gak, mungkin lo yang mau gua peras."
"Maksudnya?" tanya Ainel bingung.
"Da-da lo buka kemana-mana. Mau gua peras?"
"Sebaiknya lo pergi dari dekat gua," ujar Ainel.
"Kenapa?"
"Gua jijik melihat lo."
"Baiklah," ujar Bara sambil meninggalkan Ainel sendirian di tepi kolam renang.
Bara memilih pergi kekantor dan bekerja seperti biasa menjadi cleaning service pada perusahaan Hario Group. Bara hanya menunggu langkah apa yang akan Ainel ambil atas permintaannya untuk pindah kerumah lain.
"Pengantin baru kok udah masuk kerja bro," ledek Musa salah satu teman seprofesinya.
"Suntuk bro dirumah," ucap Bara sambil menyulut rokoknya.
"Kok lo masih jadi CS bro, alias cleaning service. Kan lo udah jadi menantu pemilik perusahaan?"
"Hanya diatas kertas bro," jawab Bara sambil menghisap rokoknya.
"Gimana malam pertama, berhasil belah duren?" tanya Musa penasaran.
"Apa yang mau dibelah bro, durennya sudah busuk."
"Maksud lo?"
"Gua menikahi anaknya untuk menutupi aib kehamilan yang tak jelas siapa yang menghamili," ujar Bara pelan.
"What?" teriak Musa terkejut.
"Yoi bro, begitulah pergaulannya."
"Parah ya."
"Lebih dari parah, tapi cantik gua suka sih," kekeh Bara.
Keduanya tertawa kemudian datang seorang cewek cantik dan seksi yang selalu mengenakan pakaian yang sangat ngepres di badannya, dia adalah sekretarisnya pak Hario.
"Albara Kaizer, anda dipanggil pak Hario keruangannya," ucap wanita tersebut dengan angkuhnya kemudian langsung meninggalkan pantry.
Bara dan Musa saling pandang kemudian Bara mengedikkan bahunya tanda tak mengetahui apa lagi tujuan tuan Hario memanggilnya.
Bara berjalan pelan menuju ruangan tuan Hario yang merupakan pemilik Hario group sekaligus sang mertua yang tidak pernah menganggap Bara menantu.Tok! Tok! Tok!Bara mengetuk pintu tiga kali, dan kemudian mendapat sambutan dari dalam.“Masuk.”Ceklek.“Maaf, bapak memanggil saya?” tanya Bara sopan.“Diperusahaan ini ada berapa banyak karyawan yang bernama Albara Kaizer?” tanya tuan Hario sinis.“Maaf,” ucap Bara sambil menunduk.Tuan Hario menyerahkan sebuah amplop coklat tebal kepada Bara dengan cara melemparkan dengan kasar ke hadapan Bara.Bara hanya menghela nafas panjang. “Sabar Bara, belum saatnya. Biarkan dia bersenang-senang terlebih dahulu.”Bara berucap dalam hati untuk menenangkan pikirannya yang sudah hampir diselimuti dengan emosi.“Apa ini pak?” tanya Bara sambil memegang amplop tersebut.“Sisa pembayaran kamu menikahi Ainel.”Tuan Hario dengan pongahnya menjelaskan kepada Bara mengenai amplop tersebut.Bara menerima amplop tersebut dan segera memasukkan ke dalam tasnya,
"Apalagi pa?" tanya Ainel sambil memegang perutnya yang tampak mulai membesar."Duduk!"Dengan malas Ainel menurut dan kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya."Kamu mau jabatan apa untuk Bara?" tanya tuan Hario."CEO mungkin?" jawab Ainel santai."Kamu jangan asal Ainel, CEO bukan untuk orang sembarangan.""Terserah papa deh, percuma juga Ainel ngomong papa gak akan ngerti," ucap Ainel sambil kembali meninggalkan meja makan."Ainel!"Teriak tuan Hario yang kali ini tak digubris oleh Ainel."Udah pa biarin aja," ucap bu Sirra.Tuan Hario dan istrinya kembali melanjutkan makan malam tanpa Ainel. Denting bunyi sendok dan garpu yang beradu ke piring yang mengisi keheningan di meja makan keluarga Hario.Sementara itu di dalam kamarnya, Ainel sedang berlayar di sosial medianya."Kenapa hidup gua jadi ribet gini?" gumam Ainel seorang diri."Mending kemarin gua gak usah nikah nurutin papa, mending gua kabur ke luar negeri aja."Ainel terus saja menggerutu sambil melihat-lihat postin
Semenjak kejadian di meja makan itu, mbak Yen dipecat. Dan Ainel semakin terabaikan oleh kedua orang tuanya yang semakin disibukkan dengan urusan masing-masing.Hingga Ainel memasuki sekolah menengah atas, kehidupannya semakin bebas. Pulang atau gak itu tidak pernah dipedulikan oleh kedua orang tuanya. Ainel mencari dunianya sendiri, clubbing menjadi kegiatan rutinnya.Bahkan hidup bebas bercampur pria dan wanita menjadi hal yang lumrah. Hingga malam itu dalam keadaan setengah mabuk Ainel diajak Ben pulang kerumahnya setelah mereka clubbing.Ben membawa Ainel ke kamarnya kemudian menyerang bibir Ainel. Ainel yang sedang mabuk membalas pagutan demi pagutan Ben, hingga tanpa disadari oleh Ainel mereka telah melakukan hal tersebut dan Ben yang merenggut kesuciannya."Kok gua dirumah lo Ben?" tanya Ainel saat terbangun di pagi hari dan mendapatkan tubuhnya tanpa sehelai benangpun."Lo ngapain gua Ben?" tanya Ainel marah.Sementara Ben duduk dan memutar rekaman di ponselnya apa yang mereka
"Ma-aaf tuan," ujar Asep langsung menyambar pakaian nya dan segera berlalu keluar dari kamar.Bara hanya diam dengan tangan terkepal dan mata yang memerah. Wajar saja saat Bara memasuki rumah seluruh pekerja di rumah ini berusaha mencegahnya menuju kamar.."Tuan Bara mau makan?" tawar mbok Inah."Nanti aja mbok, terima kasih. Saya mau istirahat dulu mbok," jawab Bara santai menuju lantai atas."Atau tuan mau jus?""Gak.""Mau kue?""Terima kasih, gak perlu melayani saya seperti itu saya biasa melakukan sendiri mbok,"Bara menjelaskan, namun mbok Inah seperti tak putus semangat menawarkan Bara dengan sesuatu."Buah, tuan?"Bara hanya menggeleng."Atau mau mbok buatkan minuman dingin tuan?"Bara membalikkan badan menghadap mbok Inah yang tampak gelisah."Mbok sebenarnya ada apa?" tanya Bara."Gak ada apa-apa tuan, saya hanya menawarkan makan tuan.""Mbok gak usah repot-repot, mbok kan sudah tau saya disini diperlakukan seperti apa. Dan juga saya bisa lakukan sendiri untuk hal-hal sepert
Bara semakin menajamkan pendengarannya, tak disangka pintu tersebut ternyata tidak ditutup rapat. Diam-diam Bara menghidupkan video ponselnya untuk merekam pembicaraan dan juga melihat apa yang dilakukan tuan Hario di dalam ruang kerjanya saat tengah malam seperti ini.Dengan susah payah Bara mencari posisi yang pas agar tidak ketahuan sedang mengambil merekam dan mengambil video tersebut.Tuan Hario dan seorang wanita tersebut tidak menyadari bahwa apa yang sedang mereka lakukan sedang direkam oleh Bara. Keduanya terlalu sibuk dengan rencana busuk dan juga terlalu sibuk bergumul manja di tengah malam seperti ini.Hampir tiga puluh menit Bara masih di posisi semua layaknya videografer profesional, karena demi sebuah video bahkan rela berguling di lantai.Sepertinya tuan Hario sudah melakukan pelepasan dan mengakhiri permainan mereka yang hangat. Bara menghentikan rekamannya dan bersembunyi saat mendengar ada pergerakan disana. Ternyata hanya pergerakan dua manusia yang sedang mencapai
Nyonya Hario seperti terhipnotis dengan kata-kata Bara sehingga dengan sekali rayuan Bara berhasil menguasai nyonya Hario, dengan seringai jahat Bara mengaktifkan kamera ponselnya.Bara dan nyonya Hario bagai sepasang kekasih yang lama tak bertemu, keduanya saling memburu. Bara sengaja membiarkan nyonya Hario memimpin permainan, agar beliau merasa semua perkataannya adalah benar bahwa dia masih mampu diranjang.Bara hanya sesekali menguasai selebihnya hanya mengimbangi demi tercapainya misi. Bara bersorak dalam hatinya bahwa semua orang dirumah ini pada akhirnya akan tunduk kepadanya.Bara dan nyonya Hario terpekik dan mengerang bersama saat mereka melakukan pelepasan bersama. Bara terguling di samping mertuanya, sedangkan tuan Hario hingga pukul tiga dini hari belum kembali ke kamarnya hingga membuat Bara dan mertuanya melakukannya hingga beberapa kali."Mama hebat," ujar Bara sambil membelai rambut pirang mertuanya."Hmmm.""Bara kembali ke kamar Ainel, ma?" ucap Bara sambil berdiri
Bara dan Nyonya Hario saling pandang. Dengan gerakan kepala, mama mertuanya itu meminta Bara untuk bersembunyi.Ceklek!Dengan rambut yang masih acak-acakan, Nyonya Hario membuka pintu. Ternyata, sopirnya telah siap."Mobil sudah siap nyonya," ucap sang sopir ramah, namun matanya melirik ke arah dada nyonya Hario yang sedikit terbuka."Terima kasih Rudi, tunggu sebentar lagi saya sedang bersiap-siap," ucap nyonya Hario sambil kembali menutup pintu dan menguncinya.Bara sudah menunggu di belakangnya untuk melanjutkan permainan yang sempat tertunda."Satu lagi ma, mama harus menuruti apa yang Bara minta. Mama akan tahu sendiri akibatnya," bisik Bara di sela-sela serangannya.Nyonya Hario hanya mengangguk sambil memejamkan matanya menikmati sensasi yang diberikan menantunya tersebut.Setelah selesai permainan yang panas di pagi hari, Bara meninggalkan kamar ibu mertuanya dengan santai walaupun saat keluar kamar berpapasan dengan sopir yang kembali akan memanggil sang nyonya karena jadwal
"Ainel!" panggil Bara khawatir."Non!" panggil mbok Inah panik."Tuan harus bertanggung jawab jika terjadi sesuatu kepada non Ainel!" teriak mbok Inah sambil menunjuk ke arah muka Bara.Mang Bidin sibuk menenangkan mbok Inah yang terus berteriak-teriak kepada Bara.Bara memutar kemudi dengan keras dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tujuanya saat ini adalah rumah sakit atau klinik terdekat. Bara benar-benar khawatir dengan kondisi Ainel.Tak lama kemudian mobil tampak parkir sembarang di depan sebuah klinik, dengan bergegas Bara turun membuka pintu mobil disamping Ainel dan menggendong Ainel membawa masuk ke dalam klinik."Dokter! Tolong istri saya!" teriak Bara yang disusul mbok Inah dan suaminya dibelakang Bara.Beberapa perawat segera membantu Bara dan membaringkan Ainel di ranjang pasien, tak lama tampak seorang dokter dengan segera memeriksa kondisi Ainel.Bara dan yang lainnya tidak diperbolehkan masuk saat dokter sedang melakukan penanganan.Mbok Inah dan mang Bidin du
"Minum dulu Nel," ujar Bara menyodorkan air mineral yang sudah dibukanya.Ainel menerima air tersebut kemudian menenggaknya hingga setengah botol."Gua gak tahan baunya," ujar Ainel kemudian."Yaudah kita cari mini market aja," ajak Bara.Akhirnya keduanya kembali masuk kedalam mobil untuk mencari minimarket. Namun, setelah puas berkeliling hingga senja menjadi gelap mereka tak juga menemukan minimarket hanya ada beberapa toko yang lumayan besar, namun saat magrib tiba semuanya serentak tutup.Ainel hanya menghela nafas menyaksikan bagaimana suramnya kehidupannya saat ini setelah diasingkan ayahnya sendiri."Pulang aja," gumam Ainel pelan.Bara hanya mengangguk dan melirik sekilas kearah istrinya yang tampak kecewa."Inilah alasan kenapa gua gak boleh lo berangkat sendiri Nel," ujar Bara."Tempat ini seperti tempat pengasingan narapidana bagi lo yang dibesarkan dengan glamornya kehidupan kota," lanjut Bara lagi."Gua gak tahan," ujar Ainel."Sabarlah Nel, minimal sampai anak lo lahir.
"Rania tahu pak," ujar Rania santai dan duduk mepet ke Bara."Jangan menggoda saya kalau kamu sudah tahu Ran, nanti kamu menyesal," peringat Bara."Apa salahnya pak, poligami aja boleh kok asal mampu," ujar Rania sambil cemberut."Saya menghargai istri saya Ran.""Gak usah munafik deh pak, bapak menikah dengan anak pak Hario karena terpaksa kan. Dan dia juga tidak mencintai bapak kan?""Mau cinta atau tidak yang jelas kami sudah menikah," jawab Bara masih memejamkan matanya."Rania bisa memberikan apa yang dia tidak bisa berikan pak," ujar Rania sambil memegang pipi Bara.Dengan sedikit kasar Bara menepis tangan Rania, membuat wanita itu merasa sangat kesal."Dan perlu kamu ketahui Ran, saya ini bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki apa-apa Ran. Semua ini adalah milik orang tua istri saya."Bara beranjak menuju meja kerjanya melewati Rania yang kecewa mendapat penolakan. Baru kali ini ada orang yang menolak seksi tubuhnya."Jika tidak ada kepentingan lagi, kamu boleh keluar Ran," peri
Bara masih berdiri di balkon, sambil melihat sekeliling. Hanya beberapa rumah yang tampak lampu menyala ikut menerangi kompleks ini, lainnya hanya ada lampu temaram di depan rumah menunjukkan bahwa rumah tersebut tak berpenghuni.Tanpa terasa waktu menunjukkan tengah malam, Bara masih berdiri di tempatnya. Entah sudah berapa batang rokok yang dihisapnya. Hingga saat ini Bara mulai terbatuk-batuk mungkin terlalu banyak asap yang ditelannya.Akhirnya Bara memilih masuk untuk segera mengistirahatkan tubuhnya. Memandangi langit kamar yang putih dan menghipnotis Bara segera terlelap.Sementara itu di kamarnya, Ainel belum bisa memejamkan matanya. Dia mengutuk Peter yang telah melecehkannya. Karena dulu Ainel memang sering mengajak Peter menemaninya saat dia sedang bete.Semburat cahaya matahari pagi menyilaukan, membuat Bara terbangun. Matahari telah bersinar menerobos masuk ke kamarnya karena jendela dan gorden yang tidak tertutup. Segera Bara mengecek jam di dindingnya, ternyata masih ja
Hampir jam sembilan malam Bara baru tiba dirumah. Ainel masih didepan tv dengan mengenakan baju yang kurang bahan. Terlihat Peter beberapa kali melirik Ainel sebelum masuk ke kamarnya."Kamu kalo mau makan langsung aja Peter, gak usah menunggu," teriak Bara sembari duduk disebelah Ainel."Iya pak," jawab Peter singkat."Nel, ini ada martabak dan dibelakang ada ayam bakar," ujar Bara."Beli dimana?" tanya Ainel cuek."Di dekat pabrik banyak yang jualan ternyata.""Hem, gua gak suka jajanan pinggir jalan!" jawab Ainel ketus."Kenapa?""Gak enak.""Oke, gapapa kalo lo gak mau. Tapi sampai kapan? Lo coba lihat ke sekitar sini, ini adalah tempat pembuangan. Dimana lo harus menempuh perjalanan kurang lebih empat jam untuk mencapai kota dan membeli makanan yang lo maksud.""Dan juga tidak setiap hari ada yang kekota," sambung Bara."Gua punya mobil.""Terserah lo kalo gak mau," ujar Bara sambil membawa kotak martabak kebelakang dan meletakkannya di atas meja makan.Bara menaiki tangga menuju
Setelah sarapan Bara berpamitan kepada Ainel untuk berangkat kerja."Gua kerja dulu," ucap Bara sambil berdiri dari duduknya."Lo tau tempatnya?" tanya Ainel."Tuan Hario mengirimkan mobil beserta sopirnya.""Siapa?""Peter.""Peter jadi sopir?" tanya Ainel sambil mengernyitkan dahinya."Iya, kenapa?" jawab Bara singkat."Ah gapapa," jawab Ainel sedikit gugup.Di teras depan, mang Bidin sudah siap menunggu Bara. Mang Bidin akan ke pasar terdekat membeli perlengkapan berkebun."Yok mang," ucap Bara sopan.Mang Bidin mengikuti naik mobil yang akan membawanya ke pasar."Di dekat pabrik aja ojekkan, Peter?" tanya Bara."Ada tuan.""Yaudah nanti mamang ke pasar dari pabrik naik ojek aja ya," ucap Bara sambil mengedipkan mata kepada mang Bidin."Iya tuan." ucap mang Bidin pelan.Setelah sekitar tiga puluh menit mereka tiba di sebuah pabrik kertas yang akan Bara pimpin. Mang Bidin turun di depan pintu gerbang dan melanjutkan ke pasar dengan naik ojek.Sementara Bara langsung mengikuti meetin
Saat Bara membalikkan badan akan kembali menuju teras, terdengar suara ranting yang dipijak. Memang disebelah kanan rumah ini terdapat tanah kosong dan pohon-pohon besar. Namun, lagi-lagi Bara tidak melihat apapun dari dalam sini.Bara mendengus kesal, dan memilih kembali duduk di teras rumah hingga menjelang pagi."Kok tuan Bara disini?" tanya Mang Bidin saat keluar rumah setelah shalat subuh."Gapapa mang, cari udara segar aja," ucap Bara sambil mematikan rokoknya."Kayaknya dari semalam tuan disini, bekas rokoknya udah banyak banget," sambung mang Bidin sambil duduk disebelah Bara."Dari jam satu mang.""Kenapa tuan?""Mang, jangan panggil Bara tuan ya. Bara gak terbiasa dan gak pantas.""Kok tuan bicara seperti itu.""Bara sama kayak mamang hanya pekerja disini, jadi jangan panggil tuan.""Tapi kan suami non Ainel.""Iya walaupun saya suaminya Ainel tapi saya gak suka dipanggil tuan.""Mamang panggil apa?""Panggil Bara aja gapapa mang.""Mamang panggil 'nak' aja ya?""Itu juga bo
"Ah enggak tuan, gak ada apa-apa," jawab mbok Inah gugup dan berlalu ke kamarnya.Namun, belum sempat kakinya melangkah Bara sudah mencekal tangannya."Mbok Inah mau kemana?" tanya Bara."Ke-ke kamar tuan," jawab mbok Inah ragu-ragu."Mbok, saya paling benci kebohongan. Beritahu saya apa yang dikatakan tuan Hario," ucap Bara pelan, namun dengan sorot mata yang menakutkan."Iya tuan.""Cepat katakan mbok!" tekan Bara."Tadi tuan Hario kesini, beliau mengatakan kalau tuan Bara adalah Presiden Direktur di sebuah perusahaannya, terus mbok dan mamang harus memantau setiap gerak gerik tuan. Bahkan di rumah ini dipasang beberapa cctv, tapi mbok gak tau persisnya dimana. Sumpah!" bisik mbok Inah pelan."Disini ada?" tanya Bara menunjuk tempat mereka berbicara."Sepertinya tidak ada, karena tadi mbok gak lihat mereka didapur.""Yaudah, terima kasih mbok. Gak usah siapin saya makan, biar saya siapin sendiri.""Baik tuan."Langkah Bara kembali terhenti."Ah iya satu lagi mbok, jangan panggil say
"Apaan sih lo, gua panggil security kalau lo gak sopan ke gua," ujar Lily sambil mendorong tubuh Bara.Bara menyeringai, dan memutar video panas tengah malam di ruang kerja tuan Hario. Wajah Lily memerah, menahan malu dan marah."Mau gua sebar?" tanya Bara."Siniin hape lo, hapus!" teriak Lily."Disini boleh dihapus, tapi jangan lupa sudah gua pindahin di semua tempat yang siap sebar. Mau terkenal?" tanya Bara sambil meniup telinga Lily sambil memberikan ponselnya kepada Lily.Lily mematung, tampak sudut matanya sudah siap tumpah."Jangan menangis, baby?" ujar Bara sambil menarik hidung Lily."Apa yang lo inginkan?" tanya Lily."Pertanyaan yang bagus sayang," ujar Bara duduk didepan Lily."Katakan!" Lily menggertak."Turuti saja apa mau gua," Bara menarik tangan Lily.Dengan terpaksa Lily mengikuti langkah kaki Bara.Bara mendudukan Lily di kursi di sebelah pengemudi, Lily masih diam. Bara menjalankan mobilnya dengan sedikit kencang, ternyata menuju sebuah hotel bintang lima yang tida
"Halo," sapa Bara setelah menggeser tombol jawab pada layar hp nya."Apa kalian sudah sampai?" ternyata tuan Hario yang meneleponnya."Sedikit lagi, tuan," jawab Bara ramah.Bara mengaktifkan loudspeaker ponselnya dan memencet mode rekam. Bara sengaja membiarkan Ainel mendengar percakapan dengan ayahnya."Mulai hari ini kamu tidak usah lagi datang kekantor, kamu saya pecat!" ucap tuan Hario diseberang sana."Alasannya?" tanya Bara masih berusaha santai."Sekarang kamu kerja dirumah baru yang akan ditempati Ainel menjadi sopir dan penjaga rumah sampai tiba Ainel melahirkan, gaji kamu setiap bulan akan saya transfer," jelas tuan Hario."Setelah Ainel melahirkan?" selidik Bara."Kamu harus tinggalkan rumah tersebut dan saya akan berikan kamu pesangon."Ainel, mbok Inah dan mang Bidin terkejut mendengar penjelasan tuan Hario."Baiklah. Tapi saya mohon, izinkan saya bertemu tuan besok ada yang harus saya sampaikan," ucap Bara."Baik, saya tunggu jam sebelas siang. Jika lewat tidak ada kese