Malam turun dengan tenang, tapi kamar mewah di lantai dua rumah megah Jason berubah menjadi neraka dan surga dalam satu waktu.
Ariana berdiri di hadapan Jason yang tengah memperhatikannya dari atas hingga bawah. Dia kini mengenakan lingerie merah darah transparan yang menyala karena kulit putih Ariana.
“Perfect!” ucapnya dengan suara beratnya.
“Kemarilah,” titahnya kemudian.
Dengan jantung yang berdebar kencang, Ariana melangkah menghampiri Jason dan berdiri di hadapan pria itu. Bau wangi parfum maskulin Jason yang hangat dan menusuk indera membuat lututnya melemas.
Jason duduk bersandar di kursi besar di dekat meja kerjanya, matanya tajam menilai setiap detail tubuh Ariana yang terbalut lingerie tipis itu. Jemari Jason terangkat, memberi isyarat agar Ariana mendekat lebih jauh.
“Putar badanmu,” ujarnya pelan.
Ariana menurut. Pundaknya menegang saat Jason berdiri dan jaraknya kini terlalu dekat hingga napas mereka nyaris bertemu.
Jemari Jason menyusuri pelan tali lingerie di punggung Ariana, menariknya sedikit seakan hendak melepaskan, namun berhenti.
“Kau tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang?” bisiknya di dekat telinga wanita itu hingga membuatnya merinding.
Ariana menelan ludah dengan pelan. “Membayar utang …,” jawabnya dengan lirih.
Jason tersenyum tipis, namun bukan senyum hangat—melainkan seperti seseorang yang memegang kendali penuh atas permainan ini.
“Bagus. Dan aku ingin memastikan kau mengerti, Ariana. Bahwa ketika aku memberi sesuatu, aku akan mengambilnya dengan caraku.”
Ariana terdiam. Tubuhnya panas sekaligus tegang ketika mendengar suara bariton itu.
Jason menunduk, hidungnya hampir menyentuh leher Ariana lalu mengendus wangi tubuh Ariana.
“Kau wangi,” gumamnya sebelum jemarinya menelusuri pelan sisi pinggang Ariana.
Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk membuat Ariana tersentak kecil.
“Tu-Tuan ….”
“Sssttt!” Jason memandang Ariana cukup lama, lalu menangkup dagunya dan memiringkan wajah Ariana hingga mata mereka terkunci.
“Aku ingin tahu … bagaimana rasanya bercinta dengan gadis yang masih perawan.”
Ariana terperangah dengan napas yang tercekat. “Bukankah … Tuan sudah pernah menikah?”
Jason mengangguk. “Ya. Tapi, aku tidak mendapatkannya. Dia sudah tidur dengan pria lain sebelum menikah denganku.”
Jemarinya turun dan mengusap pelan paha Ariana yang terbuka karena rok tipis lingerie itu.
Ariana mundur setapak, tapi Jason segera memegang pergelangan tangannya dan menariknya kembali.
“Tenang saja … aku belum akan mengambilmu malam ini,” ucapnya dengan nada yang entah menghibur atau justru menakutkan.
Ariana mencoba mengatur napas, tapi jantungnya memukul-mukul dada seperti hendak melompat keluar.
Jason menunduk lagi, kali ini bibirnya hampir menyentuh bibir Ariana. Hanya selisih milimeter, tapi cukup untuk membuat gadis itu menutup mata refleks.
Jason tertawa pelan kemudian mundur setengah langkah. “Jangan menutup mata, Ariana. Aku ingin melihat matamu saat kau menyerah padaku.”
Wajah Ariana memanas, campuran antara malu dan marah yang tak bisa dia jelaskan. Namun saat Jason menyentuh pundaknya, mendorongnya perlahan ke arah tempat tidur, tubuhnya seakan tak mau melawan.
Kaki Ariana menyentuh sisi kasur empuk itu. Sementara Jason menatapnya dari atas hingga bawah sekali lagi, lalu menurunkan tubuhnya dan berlutut di hadapan Ariana—posisi yang membuat jantung Ariana berdegup gila.
Jason menyentuh kaki Ariana dan menaikkan sedikit ujung lingerie hingga pahanya terlihat jelas. “Cantik …” gumamnya dengan suara serak.
Ariana memejamkan matanya lagi, kali ini bukan karena takut, tapi karena pusing oleh campuran rasa tegang dan malu. Jason bangkit perlahan, wajahnya semakin dekat hingga napas mereka bertemu.
“Kalau aku mau, aku bisa mengambilmu sekarang … tapi aku ingin kau sendiri yang memintanya,” bisiknya.
Ariana membuka matanya dan terperangkap dalam tatapan tajam Jason. “Sa-saya … saya tidak mengerti maksudnya, Tuan …,” jawabnya dengan pelan.
Jason menyeringai. “Aku akan mengajarimu.”
“Malam ini aku ingin kau melayaniku. Datang pukul sepuluh malam ke kamarku mengenakan lingerie hitam yang menggoda.”Sudah berapa kali Ariana membaca pesan itu hingga tiba saatnya waktu yang sudah ditunggu oleh Jason.Malam ini, pukul sepuluh malam. Jason meminta Ariana datang ke kamarnya.Ariana menggenggam erat gaun tidur tipis berwarna merah anggur yang baru saja ia kenakan—lingerie yang Jason sendiri pilihkan, lengkap dengan renda halus yang hampir tidak menutupi kulitnya.Pintu kamarnya sudah di depan mata. Cahaya samar dari dalam terlihat dari sela pintu, dan samar-samar ia bisa mendengar suara musik jazz bercampur dengan dentingan gelas.Ariana menarik napas panjang mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak terlalu cepat.Tok tok tok“Masuk,” suara Jason terdengar berat, serak, dan sedikit malas.Ariana kemudian membuka pintu tersebut. Aroma campuran alkohol mahal dan parfum maskulin langsung menyergapnya.Jason duduk di kursi kulit besar di dekat jendela, kemejanya terbuka
Jason baru saja mengenakan kemeja putihnya dan melangkah keluar dari kamar. Masih ada aroma samar parfum tubuh Ariana yang tertinggal di kulitnya.Namun, semua sisa kenikmatan itu lenyap seketika begitu dia melihat seorang wanita paruh baya berdiri di ruang tamu dengan tangan bersedekap dan ekspresi yang sama sekali tidak ramah.Jason mengerutkan kening. “Mama?”Wanita itu menoleh. Dengan rambut terikat rapi, mantel beige elegan dan sepatu hak tinggi dari Chanel, dia tampak sangat berkelas—seorang perempuan kuat, terpandang, dan nyaris tak bisa dibantah.Dialah Violeta Lubis-Salim, ibu kandung Jason dan pewaris keluarga konglomerat dari pihak Jns Corp—keluarga pemilik jaringan properti dan investasi di kota itu.“Pagi, Jason,” sapa Violeta to the point bahkan tanpa senyum.Jason menghampiri ibunya perlahan. “Kenapa datang pagi-pagi begini tanpa kabar?” tanyanya dengan suara datarnya.“Aku tidak harus menjadwal janji dengan anakku sendiri, bukan?” balas Violeta dengan nada tajam lalu m
Tangan Jason lantas bergerak ke belakang kepala Ariana, jemarinya menyelip di rambut gadis itu. Ia menariknya perlahan, memaksa wajah Ariana sedikit mendongak. Bibirnya kembali mendekat, dan baru saja dia hendak mencium bibir wanita itu ….— Tok! Tok! Tok!Ketukan di pintu memecah ketegangan. Ariana langsung tersentak dan menoleh ke arah pintu, sementara Jason menghela napas berat, jelas terganggu oleh ketukan pintu tersebut.“Siapa bedebah gila yang berani menganggu waktu bersenang-senangku?!”Jason kemudian melangkahkan kakinya dan membuka pintu kamar tersebut. “Maaf, mengganggu malam Anda, Tuan. Tapi, ada info urgent yang harus segera saya sampaikan.” Jemmy datang dan menjelaskan kedatanganya ke sana. “Cepat katakan!” titah Jason dengan suara dinginnya. Jemmy menjelaskan kalau besok ada pertemuan penting dengan investor dari luar negeri. “Urus saja!” ucapnya lalu menutup pintu kamarnya lagi tanpa basa-basi dan langsung menghampiri Ariana yang tampak terkejut atas kehadiran oran
Malam turun dengan tenang, tapi kamar mewah di lantai dua rumah megah Jason berubah menjadi neraka dan surga dalam satu waktu.Ariana berdiri di hadapan Jason yang tengah memperhatikannya dari atas hingga bawah. Dia kini mengenakan lingerie merah darah transparan yang menyala karena kulit putih Ariana.“Perfect!” ucapnya dengan suara beratnya.“Kemarilah,” titahnya kemudian.Dengan jantung yang berdebar kencang, Ariana melangkah menghampiri Jason dan berdiri di hadapan pria itu. Bau wangi parfum maskulin Jason yang hangat dan menusuk indera membuat lututnya melemas.Jason duduk bersandar di kursi besar di dekat meja kerjanya, matanya tajam menilai setiap detail tubuh Ariana yang terbalut lingerie tipis itu. Jemari Jason terangkat, memberi isyarat agar Ariana mendekat lebih jauh.“Putar badanmu,” ujarnya pelan.Ariana menurut. Pundaknya menegang saat Jason berdiri dan jaraknya kini terlalu dekat hingga napas mereka nyaris bertemu.Jemari Jason menyusuri pelan tali lingerie di punggung
“Selamat pagi, Nona Ariana.” Jemmy—asisten pribadi Jason tersenyum ramah namun dengan nada formal.“Ayo, kita punya banyak agenda hari ini,” ajaknya kemudian.Ariana hanya mengangguk lalu masuk ke dalam mobil dan duduk dengan canggung di kursi penumpang.Sepanjang perjalanan menuju pusat kota, dia hanya diam dan matanya memandang keluar jendela.Kepalanya dipenuhi pikiran campur aduk—tentang dirinya yang kini akan menjadi pemuas nafsu dari seorang duda beranak satu, tentang dia yang sudah tidak akan lagi suci begitu Jason menyentuhnya.Bukan pria yang dia cintai, atau kehormatannya yang selama ini dia jaga dengan baik, harus dia gadaikan untuk menyelamatkan rumah keluarganya.Lima belas menit kemudian. Mobil berhenti di depan sebuah mall yang tampak sangat mewah. Jemmy segera turun dan membukakan pintu untuk Ariana.“Pertama, kita ke lantai tiga. Ada butik tas dan sepatu yang sudah menunggu. Kita akan belanja kedua benda itu terlebih dahulu.”Ariana menelan ludah saat mendengarnya. “U
Pagi harinya, Ariana baru saja menyelesaikan mandinya dan kini sudah keluar dari kamar. Rambutnya masih basah dan meneteskan air di pundaknya yang tertutup oleh blouse putih sederhana.Langkahnya terhenti ketika melihat Jason berdiri di hadapannya tengah bersandar santai di dinding koridor dengan tangan disilangkan di depan dada. Mata pria itu menatapnya dengan tajam, seperti menilai setiap inci penampilannya.“Tuan? Ada yang bisa dibantu?” tanyanya dengan nada gugup dan jemarinya meremas ujung blousenya tanpa sadar.“Temani aku ke sekolah. Ini hari pertama Ethan masuk TK. Dia akan senang jika kau ikut.”Ariana mengerutkan kening. Hatinya langsung diliputi rasa ragu. “Saya? Tapi … saya hanya pembantu, Tuan.”Jason mendorong tubuhnya dari dinding dan melangkah pelan mendekati Ariana. Jarak di antara mereka hanya sekitar satu meter saat pria itu berhenti. Sorot matanya menusuk langsung ke mata Ariana.“Kau pikir pekerjaan pembantu hanya membersihkan rumah saja? Ethan yang memintamu untu