Malam turun dengan tenang, namun di kamar mewah di lantai dua rumah megah milik Jason, ketenangan itu terasa seperti fatamorgana.
Lampu kristal yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya redup keemasan, menciptakan bayangan yang menari di dinding.
Aroma wangi kayu cendana bercampur dengan parfum maskulin khas Jason memenuhi ruangan, membuat udara terasa lebih panas dan berat.
Di luar jendela, angin malam bertiup lembut, namun di dalam ruangan, hawa panas dan tegang membara, seakan ada badai yang siap meledak kapan saja.
Ariana berdiri mematung di tengah ruangan, tubuhnya kaku seperti patung, namun jantungnya berdetak liar tak terkendali.
Ia mengenakan lingerie merah darah yang begitu tipis dan transparan, kainnya menempel erat pada kulit putih mulusnya.
Setiap lekuk tubuhnya tampak jelas, membuat rasa malu dan takut bercampur menjadi satu di dalam dirinya.
Tangannya yang gemetar mencengkeram sisi kain yang nyaris tidak mampu menutupi apapun, seakan itu satu-satunya tameng yang dimilikinya.
Di hadapannya, Jason berdiri tegak dengan aura dominan yang memancarkan kekuasaan mutlak.
Tatapan matanya gelap, penuh intensitas yang membuat napas Ariana tercekat.
Ia menyapu pandangannya dari kepala hingga ujung kaki Ariana dengan perlahan, seperti pemangsa yang sedang menikmati pemandangan mangsanya.
Bibir Jason terangkat membentuk senyum tipis yang mengandung kesenangan sekaligus ancaman.
“Perfect,” ucap Jason dengan suara berat yang dalam, membuat bulu kuduk Ariana berdiri. Kata itu terasa seperti vonis sekaligus pujian yang menusuk ke dalam hatinya.
Ariana menggigit bibirnya, menahan rasa gugup yang hampir membuatnya ingin menangis.
Namun ia tahu, menangis tidak akan menyelamatkannya. Malam ini, ia berada sepenuhnya dalam genggaman Jason.
“Kemarilah,” titah Jason, nada suaranya tak memberi ruang untuk penolakan.
Dengan napas tersengal, Ariana memaksakan kakinya bergerak maju. Setiap langkah terasa berat, seperti berjalan menuju jurang tak berdasar.
Bau parfum maskulin Jason semakin kuat saat jarak mereka menyempit, aroma yang dulu terasa mewah kini justru membuat lutut Ariana melemas dan kepalanya pening.
Jason duduk santai di kursi besar yang terbuat dari kayu hitam mengilap, posisi duduknya seperti seorang raja yang tengah menilai persembahan dari bawahannya.
Tatapannya tajam, penuh penguasaan, membuat Ariana merasa telanjang meski ia masih mengenakan lingerie itu.
Jemari panjang Jason terangkat, mengisyaratkan Ariana agar mendekat lebih jauh.
“Putar badanmu,” ujarnya pelan namun tegas.
Ariana memejamkan mata sejenak, lalu memutar tubuhnya dengan perlahan. Ia bisa merasakan tatapan Jason yang membakar kulit punggungnya.
Saat ia kembali menghadap pria itu, jarak mereka sudah tak lagi aman. Jason berdiri, tubuh tegapnya menjulang di depan Ariana hingga napas mereka nyaris bersentuhan.
Pundak Ariana menegang saat jemari Jason menyusuri tali lingerie di punggungnya, menariknya sedikit seakan hendak melepaskan.
Degupan jantung Ariana semakin keras, begitu kuat hingga ia merasa Jason pasti bisa mendengarnya. Namun, Jason berhenti, membiarkan ketegangan itu menggantung di udara.
“Kau tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang?” bisik Jason tepat di telinganya, suara bariton itu merambat di kulit Ariana, membuatnya merinding dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Ariana menelan ludah dengan susah payah, matanya memanas karena rasa malu dan takut.
“Membayar utang…,” jawabnya lirih, hampir tak terdengar.
Jason tersenyum tipis. Itu bukan senyum hangat, melainkan senyum yang penuh dengan pengendalian dan kekuasaan. Ia seperti dewa yang memutuskan nasib manusia di hadapannya.
“Bagus,” gumamnya. “Dan aku ingin memastikan kau mengerti, Ariana. Bahwa ketika aku memberi sesuatu, aku akan mengambilnya… dengan caraku.”
Tubuh Ariana terasa semakin panas dan tegang.
Kata-kata Jason menusuk telinganya, menciptakan ketakutan yang bercampur dengan rasa tak dikenal yang membuat tubuhnya bergetar.
Jason menunduk, hidungnya hampir menyentuh leher Ariana. Ia menghirup aroma tubuh Ariana yang segar bercampur wangi lingerie baru itu.
“Kau wangi,” desisnya, suaranya serak dan dalam, membuat Ariana semakin tak berdaya.Jemarinya kemudian menelusuri pelan sisi pinggang Ariana. Sentuhan ringan itu terasa seperti aliran listrik yang menyambar kulitnya, memaksanya tersentak kecil.
“Tu… Tuan…” suara Ariana bergetar, memohon sekaligus takut.
“Ssssttt!” Jason mendesis, menatap Ariana tajam.
Ia menangkup dagu wanita itu dengan tangan besarnya, memiringkan wajah Ariana hingga mata mereka bertemu.
Pandangan itu begitu dalam, seakan Jason sedang membaca setiap pikiran dan rahasia Ariana.
“Aku ingin tahu… bagaimana rasanya bercinta dengan gadis yang masih perawan,” ucap Jason, suaranya penuh nafsu sekaligus rasa penasaran yang dingin.
Mata Ariana membelalak, napasnya tercekat. Kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. “Bukankah… Tuan sudah pernah menikah?” tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.
Jason mengangguk perlahan, namun senyum sinis tersungging di bibirnya. “Ya. Aku pernah menikah. Tapi, aku tidak mendapatkannya. Dia… sudah tidur dengan pria lain sebelum menikah denganku.”
Nada suaranya berubah dingin dan getir, menyimpan luka yang dalam. Tatapannya semakin gelap, dan Ariana bisa merasakan amarah yang membara di balik kata-katanya.
Tanpa memberi waktu bagi Ariana untuk merespons, jemari Jason turun ke bawah, mengusap pelan paha Ariana yang terbuka karena lingerie tipis itu.
Sentuhannya penuh penguasaan, membuat Ariana terhuyung ke belakang namun segera ditangkap oleh tangan Jason di pinggangnya.
Ariana mundur setapak, tapi Jason segera memegang pergelangan tangannya dan menariknya kembali.
“Tenang saja … aku belum akan mengambilmu malam ini,” ucapnya dengan nada yang entah menghibur atau justru menakutkan.
Ariana mencoba mengatur napas, tapi jantungnya memukul-mukul dada seperti hendak melompat keluar.
Jason menunduk lagi, kali ini bibirnya hampir menyentuh bibir Ariana. Hanya selisih milimeter, tapi cukup untuk membuat gadis itu menutup mata refleks.
Jason tertawa pelan kemudian mundur setengah langkah. “Jangan menutup mata, Ariana. Aku ingin melihat matamu saat kau menyerah padaku.”
Wajah Ariana memanas, campuran antara malu dan marah yang tak bisa dia jelaskan.
Namun saat Jason menyentuh pundaknya, mendorongnya perlahan ke arah tempat tidur, tubuhnya seakan tak mau melawan.
Kaki Ariana menyentuh sisi kasur empuk itu.
Sementara Jason menatapnya dari atas hingga bawah sekali lagi, lalu menurunkan tubuhnya dan berlutut di hadapan Ariana—posisi yang membuat jantung Ariana berdegup gila.
Jason menyentuh kaki Ariana dan menaikkan sedikit ujung lingerie hingga pahanya terlihat jelas. “Cantik …” gumamnya dengan suara serak.
Ariana memejamkan matanya lagi, kali ini bukan karena takut, tapi karena pusing oleh campuran rasa tegang dan malu. Jason bangkit perlahan, wajahnya semakin dekat hingga napas mereka bertemu.
“Kalau aku mau, aku bisa mengambilmu sekarang … tapi aku ingin kau sendiri yang memintanya,” bisiknya.
Ariana membuka matanya dan terperangkap dalam tatapan tajam Jason. “Sa-saya … saya tidak mengerti maksudnya, Tuan …,” jawabnya dengan pelan.
Jason menyeringai. “Aku akan mengajarimu.”
Siang itu, matahari bersinar hangat, tidak terlalu terik karena bayangan pepohonan rindang yang berjajar rapi di halaman rumah Adrian mampu meredam panasnya.Halaman rumah megah itu seolah taman pribadi dengan rumput hijau yang terawat, bunga-bunga berwarna cerah, dan sebuah kolam kecil yang airnya jernih memantulkan cahaya.Udara terasa sejuk, membawa aroma segar bunga mawar yang baru saja mekar.Ariana berdiri di tengah halaman, tengah meluapkan semua ucapan Berta yang penuh denga ancaman padanya.Dia masih membutuhkan pekerjaan ini. Tapi, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ariana semakin merasa bersalah telah mengungkapkan isi hatinya pada Jason.Tatapannya menatap pada sosok kecil yang berlari-lari sambil tertawa lepas.“Ethan, hati-hati! Jangan terlalu jauh,” serunya sambil ikut berlari mengejar bocah itu.Ethan menoleh sambil terkikik, pipinya memerah karena kegirangan. “Ariana, tangkap aku kalau bisa!”Ariana tersenyum dan roknya sedikit tersibak ketika dia berlari cepat, m
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Pagi itu, udara di rumah besar milik Jason masih terasa dingin. Mentari baru saja merambat naik dan menembus tirai besar ruang makan.Ariana berjalan pelan membawa nampan sarapan untuk Ethan.Wajahnya tetap tenang, meski hatinya berdebar setiap kali melewati lorong-lorong rumah yang kini terasa penuh dengan bisikan dan tatapan menusuk.Ia bisa merasakan jelas bagaimana tatapan para pelayan mengikuti langkahnya.Tatapan sinis, penuh cibiran, seakan tubuhnya sudah telanjur diberi label hina.Ariana menarik napas panjang, lalu menunduk, berusaha mengabaikan semua itu.Ia sudah tahu, sejak peristiwa semalam ketika Jason membela dirinya habis-habisan, gosip tentang statusnya pasti akan semakin menyebar.Tidak lagi sekadar pengasuh Ethan. Semua orang kini tahu, dia juga dianggap sebagai “pembantu pemuas nafsu” majikan mereka.Ariana menelan ludahnya lalu menghela napasnya dengan panjang. ‘Inilah risiko yang harus kuhadapi,’ pikirnya getir. ‘Selama aku
Hari ketujuh sejak kejadian penculikan itu akhirnya tiba. Dokter datang pagi-pagi ke kamar Ethan untuk memeriksa kondisinya dengan saksama.Ariana berdiri di samping ranjang sambil menggenggam tangan kecil itu dengan cemas.Jason juga ada di sana, punggungnya bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tetap dingin dan sulit terbaca.“Syukurlah, kondisi fisiknya stabil. Trauma memang masih ada, tapi secara medis Ethan sudah bisa pulang hari ini. Asal dijaga ketat, dan jangan dibiarkan sendirian terlalu lama,” ujar dokter dengan nada hati-hati.Ariana mengangguk patuh. “Terima kasih, Dok.”Ethan menoleh dengan senyum kecil yang masih tampak lemah. “Ariana, kita bisa pulang, ya?”Ariana membelai rambutnya lembut. “Iya, Sayang. Kita pulang.”Jason hanya memberi anggukan singkat pada dokter sebelum keluar sebentar untuk mengurus administrasi.Ariana memperhatikan punggung tegap pria itu menghilang di balik pintu.Hatanya terasa sesak. Sudah tiga hari penuh ia tidak benar
Malam turun perlahan menutup kota dengan cahaya lampu jalan yang berpendar di balik kaca mobil.Jason duduk di kursi belakang sedan hitamnya, bahunya tampak tegap tapi wajahnya muram. Jemmy, yang duduk di depan, melirik lewat kaca spion.“Tuan, kita langsung ke rumah?” tanya Jemmy dengan hati-hati.Jason tidak segera menjawab. Tatapannya menerawang keluar jendela, mengikuti jejeran gedung tinggi yang berkilau namun terasa dingin.Bayangan wajah Ariana muncul begitu saja, sorot matanya tadi ketika dia berdiri kaku di pintu kamar rawat Ethan. Wajah itu begitu rapuh sekaligus penuh keberanian.Jason menghela napas berat. “Ke kantor dulu,” jawabnya singkat.Jemmy tidak berkomentar, hanya mengangguk dan mengarahkan mobil menuju gedung perusahaannya.Selama perjalanan, hanya keheningan yang merayap di sana. Jason tampak menatap kosong ke depan, sementara Jemmy sibuk melirik raut wajah Jason kemudian menghela napasnya.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kantor. Jemmy mengikuti Jason dar
Koridor rumah sakit sore itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Perawat berlalu-lalang, suara roda troli obat berderit di lantai, dan bau antiseptik menyengat menusuk hidung.Di depan pintu kamar Ethan, dua bodyguard Jason berdiri tegak dengan jas hitam, wajah mereka keras tanpa ekspresi.Tiba-tiba langkah tergesa terdengar mendekat—hak sepatu beradu lantai dengan irama cepat.Violeta.Wanita elegan dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan itu melangkah dengan wajah merah padam. Matanya berkilat, bibirnya terkatup rapat penuh amarah.“Apa kalian pikir bisa menghalangiku?!” bentaknya pada para bodyguard. “Aku nenek anak itu! Singkirkan tubuh kalian dari depan pintu ini!”Salah satu bodyguard menggeleng dengan sopan. “Maaf, Nyonya Violeta. Perintah langsung dari Tuan Jason, Anda tidak boleh masuk.”“Apa?!” Violeta hampir berteriak. “Dia anakku! Itu cucuku! Apa Jason sudah kehilangan akal sehatnya sampai melarang ibunya sendiri?!”Ia mencoba menerobos, tapi kedua bodyguard dengan sigap
“DIO, PENCULIK ANAK PENGUSAHA TERKENAL JASON LUBIS, JADI BURONAN POLISI!”Tidak hanya di media cetak, berita itu juga memenuhi layar televisi, portal daring, hingga trending di media sosial.Foto Dio terpampang jelas dengan label “DPO – Daftar Pencarian Orang”.Polisi membuka sayembara bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi keberadaannya.Di ruang kerjanya, Jason duduk santai di kursi kulit hitam tengah menatap layar televisi besar yang menayangkan siaran langsung.Liputan itu memperlihatkan barisan polisi sedang memasang poster wajah Dio di beberapa titik kota.Sudut bibir Jason terangkat membentuk seringai puas. Tangannya mengetuk-ngetuk meja pelan, seolah sedang memainkan irama kemenangannya sendiri.“Lihatlah,” gumamnya dingin nyaris seperti desisan. “Salahmu karena berani mengganggu hidupku.”Ia lalu bersandar dan matanya berkilat penuh kemenangan. Baginya, menjadikan Dio buronan adalah langkah pertama menuju kehancuran total musuh lamanya itu.Baru saja dia hendak mematik