Se connecterPermintaan gila dari suami majikannya itu membuat Alea mundur selangkah, menatap Adrian tak percaya.
Seluruh tubuh Alea menolak, tapi, pikirannya hanya terpusat ke keinginannya untuk segera menyelesaikan urusannya dengan Rian, mantan suaminya. Dari mana lagi ia bisa mendapatkan uang? Bahkan, jika ia bekerja sampingan lain, ia tak akan pernah bisa mendapatkan uang sebanyak itu. “B-bagaimana mungkin, Tuan? Selain itu, bagaimana dengan Nyonya Gina?” Keputusasaan kembali menyelimuti Alea. Tak mungkin ia menerima penawaran gila dari suami majikannya itu. “Asal kamu tetap diam, Gina tidak akan tahu.” sahut Adrian. Alea tertegun, meskipun begitu, dia tidak bisa mengkhianati penolongnya. “Tapi semua terserah kamu, aku juga tidak memaksa, lanjut Adrian sambil mengambil remote TV dan menyalakan televisi besar di ruangan itu. Dilema melingkupi Alea. Ia tak ingin mengkhianati Gina yang telah memberinya pekerjaan. Haruskah ia menjadi narapidana? Bayangan seragam oranye menari di kepalanya. Tidak, dia tidak mau. Mata Alea mulai berkaca-kaca. Apa yang harus dia lakukan? “Tuan, apakah tak ada syarat yang lebih baik?” pinta Alea memelas. “Aku tidak perlu apa-apa selain itu,” ujar Adrian tanpa menatap Alea, menyeringai. Alea terdiam sementara Adrian menghela napas dan melihat jam tangannya. Adrian bangkit, lalu mematikan TV yang baru saja dinyalakan itu. “Baiklah, masalah ini selesai di sini. Waktumu sudah habis, pinjam ke orang lain saja, Alea. Lain kali aku tak ingin membahas ini lagi.” Keringat dingin muncul di kening Alea. Jika ia tak mendapatkan uang, hidupnya hancur dengan citra buruk, dan jika ia menerima uang, dia juga hancur di hadapan majikannya. Benar-benar pilihan yang sulit. “Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” batinnya. Saat Adrian berlalu, Alea dengan berat hati memanggilnya. “Tuan Adrian, saya setuju.” Mendengar itu Adrian menghentikan langkahnya, dia membalikkan badan kemudian tersenyum licik menatap Alea. “Bagus, mulai sore ini, kamu akan melaksanakan pekerjaan barumu.” Titah Adrian sebelum pergi meninggalkan Alea. Ketika Adrian pergi, Alea terkulai di lantai, menangis memikirkan nasibnya. “Maafkan saya, Nyonya, karena harus menerima tawaran gila ini … aku tak punya pilihan lain …” Dia tidak ingin menjadi perusak rumah tangga majikannya, tetapi syarat dari Adrian tidak bisa dia tolak. Memikirkan keputusan itu, pikiran Alea terbang kemana-mana, hingga dia tidak fokus bekerja. Tak sadar, sore tiba dengan cepat, dan membuat Alea merasa cemas saat mobil Adrian memasuki carport. “Sore, Tuan,” ucap Alea menyambut di foyer. “Naik ke atas dan tunggu aku di kamar tamu.” Ucapnya dingin. Di dalam kamar tamu, Alea menunggu dengan rasa takut yang mencekam. Dia berharap Adrian mengubah pikiran, namun dia tahu itu tidak mungkin saat pria itu akhirnya masuk. “Buka bajumu,” perintah Adrian sesaat setelah masuk. Namun, alih-alih mengikuti keinginan Adrian, Alea memegangi bajunya erat-erat. “Tuan, saya takut,” katanya menatap Adrian dengan penuh harap. “Kalau takut, kita berhenti disini, Alea. Kamu bisa keluar sekarang, sebelum terlambat. Aku tak mau melakukan ini atas dasar pemaksaan.” Alea bisa merasakan dingin dari tatapan suami majikannya yang tajam itu. Akhirnya, Alea menggeleng. Demi mendapatkan pinjaman uang, dia harus merelakan tubuhnya. Mau tak mau, ia harus menjadi penghangat ranjang, dan juga pemuas nafsu untuk suami dari majikannya sendiri. “Maaf, Tuan. Kalau begitu … jangan terburu-buru …” Satu per satu kancing bajunya terbuka, hingga ia menanggalkan pakaiannya secara menyeluruh. Tubuh bersih, dan montok dari wanita yang sudah beberapa bulan terakhir ini menjadi pembantu di rumahnya membuat Adrian menelan air liurnya. Ia tak menyangka, wanita itu menyembunyikan semua keindahan itu di balik pakaiannya. “Aku tak menyangka tubuhmu seindah ini, Alea.” Tanpa buang waktu, Adrian dengan gairah yang lama terpendam menerjang Alea. Dia menjelajahi tiap inci tubuh Alea dengan rakus hingga membuat asisten rumah tangganya kewalahan mengikuti gerak Adrian. Alea, yang belum pernah dijamah oleh pria manapun, bermain cukup kaku sehingga membuat Adrian gerah. "Kamu seorang janda, tapi mengapa kamu bermain begitu kaku?" Alea hanya tersenyum pahit. Meski berstatus janda, dia belum pernah disentuh, bisa dibilang Adrian adalah orang pertama yang melihat dan merasakan dirinya. Saat Adrian bersiap memasukkan miliknya ke inti tubuh Alea, pria itu merasa sedikit kesulitan mengingat betapa sempitnya milik Alea. "Ini yang pertama bagimu?" tanyanya tak percaya, sementara Alea yang menahan rasa sakit hanya mengangguk pelan. "Bagaimana mungkin! Bukankah kamu seorang janda?" gumamnya. Adrian pun mulai memasuki dengan perlahan agar wanita di hadapannya tidak terlalu merasa sakit. Sesaat setelah itu, suara desahan Adrian bergema sedangkan Alea menggenggam erat sprei untuk menahan sensasi yang dirasakannya. "Sakit, Tuan," bisik Alea. "Aku akan pelan-pelan," jawab Adrian. Perlahan rasa sakit mulai berganti menjadi kenikmatan yang belum pernah Alea alami sepanjang hidupnya. Seiring berjalannya waktu, keduanya tenggelam dalam hubungan yang bergelora, melupakan status mereka masing-masing. Setelah puas menyalurkan keinginannya, Adrian jatuh terkulai di samping Alea, napasnya terengah-engah karena kelelahan.Baru saja hendak naik ke atas terlihat Azalea dan grey turun. Aea yang kesel menatap anak dan menantunya. “Bagus! dari tadi ditunggu ngapain saja di kamar!” Sambil berkacak pinggang. Azalea dan Grey saling pandang, mereka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Itu Ma, perut Kak Grey mules,” sahut Azalea berbohong. “Mules apa ngebet.” Masih dalam mode kesal. Adrian berjalan mendekati istrinya pria itu merangkul sang istri mencoba menenangkannya.“Sudahlah sayang ayo kita berangkat,” ujar pria itu. Netra Adrian juga menatap Azalea dan Grey mengkode anak serta menantunya untuk mengikutinya. “Ayo.”Singkat cerita mereka kini telah berada di pelabuhan mereka semua bersiap naik kapal yang telah bersandar dari kemarin. Kamar VVIP untuk keluarga besar Aiden. Sedangkan lainnya memakai kamar VIP dan kamar kelas satu. Suara kapal hendak berangkat berbunyi, jangkar mulai ditarik dan kapal perlahan berjalan. Sebenarnya Aiden dan sekeluarga ingin naik pesawat tapi mereka mengurungkannya
Aiden terkejut mendengar ucapan sang istri, “Apa! kembar!” Tanyanya. “Iya tadi waktu di USG ada dua titik di perut Melati dan katanya itu janin yang kembar.” Jelas Aira dengan tersenyum. Terlihat sekali kalau wanita itu sangat bahagia. Dia berpesan pada Arya agar selalu memperhatikan istrinya karena hamil anak kembar tidaklah mudah. “Arya belilah hadiah yang banyak untuk istrimu.” Pinta Aiden kemudian mengelus rambut Melati. Alea yang mendengar itu juga turut berbahagia anak Arya adalah cucunya juga. “Mas kita akan memiliki cucu kembar.” kata Alea yang kemudian memeluk Adrian. “ Lihatlah mamamu Azalea, bagaimana kalau juga kamu juga memberikan kami cucu kembar.” Sindir Adrian sambil menatap Azalea dan Grey. Azalea menggeleng keras anak satu saja sudah membuatnya kewalahan apalagi anak kembar. “Azalea tak sanggup Pa, anak kembar itu benar-benar menguras tenaga.” Cicit Azalea dengan melemas. “Kan sekarang banyak baby sitter Azalea, ngapain harus bingung,” sahut Aiden. Semua te
Mereka semua menunggu kabar Arya dan Melati dengan cemas, terlebih Yesa yang tak sabar ingin mendengar kabar baik dari kakaknya. “Apa Om Aiden yakin kalau Kak Melati hamil?” Yesa menatap Aiden yang duduk tenang sambil menghisap rokok. “Yakin, kalau orang mual karena melihat makanan apalagi kalau bukan tanda kehamilan,” sahut pria paruh baya itu. Adrian juga turut menimpali dulu Alea maupun Azalea juga sama, mencium aroma makanan tertentu pasti langsung muntah-muntah. “Katanya kamu juga hamil, udah berapa minggu?” Azalea berbasa-basi kepada adik Arya.“Berjalan 12 minggu.” Jawab Yesa. Azalea tersenyum kemudian dia mengelus perutnya sendiri berharap ada kehidupan di dalam perutnya. “Apa kamu ingin hamil sayang?” tanya Grey ketika melihat tangan istrinya. “Pengen tapi aku tidak mau, aku ingin Arsen tumbuh besar dulu baru memikirkan adik untuknya.” Azalea takut kalau Arsen merasa iri dengan adiknya, lagipula dia juga masih belum tega membagi kasih sayang antara Arsen dan adiknya.
Beberapa orang bermasalah di kantor Laura sudah dipecat, Papa Yesa yang merupakan pendiri perusahaan turun tangan langsung yang dibantu oleh Arya. Setelah para tikus berdasi telah diusir, Papa Yesa membagi perusahaan itu. Beliau kembali menawarkan pada Arya untuk membantu sang adik tapi jawaban Arya tetap sama, dia tidak ingin meminta apapun dari papa kandungnya. Selama ini Yesa lah yang berjuang jadi biar Agam yang membantu istrinya.“Tapi Agam sibuk dengan restorannya Arya.” Ujar Sang Papa. “Tidak Pa, Arya yakin dia bisa membagi waktu.” Arya membujuk papanya. Menjadi konglomerat ternyata repot juga, banyak perusahaan yang harus dihandle tapi pewarisnya hanya sedikit. Mewarisi perusahaan Aiden saja Arya sudah repot apalagi harus mewarisi perusahaan Papa kandungnya. Malam itu Arya meminta semua untuk berkumpul, termasuk Agam dan Yesa. Ada yang ingin dibicarakan mengenai perusahaan. “Ada apa Kak?” Tanya Yesa. Arya menghitung beberapa perusahaan yang akan mereka warisi. Disin
Sudah seperti ini Agam tidak bisa mengelak lagi. Netranya menatap Yesa dan papa mertuanya.Seolah tahu apa yang Agam pikirkan, Yesa mengangguk, memberi kode pria itu untuk memberitahukan siapa dia. “Sebenarnya Yesa adalah istriku,” ungkapnya. Semua orang yang berada di sana terkejut siapa sangka asisten yang mereka anggap tidak berkompeten adalah suami CEO-nya sendiri. Mereka saling tatap, ekspresi mereka menunjukkan rasa tak enak, bagaimana tidak orang yang sedari tadi mereka jelek-jelekan dan mereka anggap tidak berkompeten adalah orang dalam sendiri. Sebelum terlambat mereka berpura-pura tertawa dan bersikap baik. Mereka mengatakan kalau apa yang mereka ucapkan tidak bermaksud apa-apa. “Tidak bermaksud apa-apa gimana! Jelas tadi anda bilang dia tidak becus apa-apa.” Kekesalan Yesa merangkak naik. Padahal selama ini kinerjanya begitu baik,” Sambung Yesa. Melihat ekspresi orang-orang itu Agam pun tersenyum tipis kemudian duduk menghadap mereka semua. “Justru kalianlah yang t
“Apa Dok istri saya hamil?” Agam nampak tak percaya dengan apa yang Dokter katakan. “Iya, selamat Pak.” Dokter memberikan selamat atas kehamilan pasiennya. Netra Agam kini mengarah pada istrinya, dia sungguh tak percaya akan secepat ini menjadi seorang ayah. “Sayang aku akan menjadi ayah?” Agam menunjuk dirinya sendiri. Yesa mengangguk kemudian mereka berpelukan di depan dokter. Dalam pelukan Agam, Yesa menangis, Tuhan telah mempercayakan seorang anak padanya dan Agam. Melihat mereka, dokter turut terharu, terlebih ucapan Yesa yang begitu menyentuh. Kecupan demi kecupan mendarat di wajah Yesa, membuat Dokter dan suster saling pandang. “Maaf mengganggu, silahkan tebus obatnya.” Tak mungkin dokter menunggui orang yang tengah berbahagia bisa-bisa pasien lainnya kelamaan mengantri. Kini mereka telah berada di dalam mobil, karena takut terjadi apa dengan janinnya Agam menyetir dengan kecepatan yang sangat rendah. “Mas kapan sampainya?” Protes Yesa. “Aku tidak ingin terjadi apa-







