Kejadian kemarin sukses membuat Dirga frustasi. Beruntung ia masih bisa memendam emosinya. Namun sejak kemarin ia tak mengaktifkan ponselnya. Bahkan melirik saja tidak. Kini yang menjadi sasarannya adalah kamarnya.Tak hanya gelap, kamar yang terkesan maskulin itu kini penuh dengan asap rokok. Kepulan asap yang sudah terkumpul dari semalam tak kunjung pergi. Jangan tanya lagi bagaimana pengapnya kamar itu.“Om!”Perlahan pintu kamar terbuka. Memunculkan Wina yang baru saja masuk kerja. Mahasiswa berbadan kecil itu hanya berdiri di ambang pintu. Enggan untuk masuk karena dari luar saja bau kamar majikannya sudah cukup mengusik penciumannya.“Om,... uhuk uhuk!” Baru saja selangkah masuk, Wina sudah terbatuk karena asap rokok.“A-aku gak tahu cerita lengkap permasalahan kemarin,” Wina maju selangkah lagi tapi dengan tangan menutup hidung.“Tapi kalau Om Dokter mau ngegalau, cukup hari ini saja, ya.”Lagi-lagi Dirga tak menjawab. Telinganya memang mendengarkan, namun bibirnya berat untuk
Langkah Wina terasa sangat ringan saat berjalan di koridor rumah sakit. Ia seakan menikmati bangsal demi bangsala, ruang demi ruang. Jangan lupakan senyum yang masih betah terpasang di bibirnya.Bagaimana tidak, karena hari ini judul skripsi yang baru diajukan langsung di ACC oleh Kepala Prodinya. Rasanya tak sia-sia ia berpenampilan rapi dan pergi pagi-pagi—setelah dari apartemen Dirga—ke kampus.Perpaduan kemeja berwarna dusty pink dan rok panjang skirt abu-abu bermotif bunga, sangat terlihat pas dan membuat Wina nampak lebih dewasa. Setiap melewati cermin atau kaca, Wina pasti berhenti beberapa detik untuk melihat refleksi dirinya. Senang saja karena hari ini ia terbebas dari pakaian zaman SMP-nya.“Pagi, Ayah.” Sapa Wina dengan riang.Ya, meski yang disapa tak memberi respon apapun.Wina duduk dan mulai membuka laptop-nya untuk sedikit mengerjakan proposal judul skripsinya. Hingga tak terasa ia betah di depan laptop sampai jam makan siang.Ia berencana pesan makan siang secara onl
Kini Dirga dan Wina berada di sebuah cafe vegetarian terdekat dari rumah sakit. Sayang sekali padahal Wina jika disuruh memilih, Wina lebih suka warung nasi padang belakang rumah sakit. Sudah porsinya banyak, enak, terjangkau lagi.Akhirnya Wina hanya memesan jus tomat dan Dirga memesan jus wortel.Cih, sok-sokan ke caffe vegan. Biasanya juga junk food! Ejek Wina dalam hati saat melihat pesanan sang dokter. Ia bertaruh minuman yang dipesan pasti tidak akan dihabiskan.Sudah lebih dari 10 menit setelah pesanan mereka datang. Namun tak satupun dari mereka memulai percakapan. Wina perlahan meminum jus tomatnya dengan nikmat tanpa memerdulikan tatajam tajam dari dokter tampan.Menatap jus tomatnya dan ‘Kakak Wina’ secara bergantian. Sedikit menyesal karena dengan percaya dirinya ia memesan jus wortel. Jus yang ia benci karena sering dipaksa minum oleh Bundanya.Sebenarnya random saja sih tadi Dirga menyebutkan jus wortel. Biar kelihatan dokter yang hidupnya sehat banget aja.“Kamu kuliah?
Tak bisa dipungkiri, Dirga memang masih galau karena tragedi sidang tesis. Rasanya ia juga enggan menemui siapapun. Namun undangan makan malam dari kakeknya tidak bisa ia abaikan.Bagai simalakama. Jika ia tidak hadir saat makan malam, kedua orangtuanya tidak akan tinggal diam. Namun jika hadir, ia harus siap akan disidang oleh kakeknya di hadapan keluarga besarnya. Sebab berita sidang tesisnya kemarin pasti sedang menjadi topik hangat di keluarga Hermanto.Sudah menjadi rahasia umum lagi jika antar anggota keluarga besar Hermanto saling berebut jabatan dan harta. Jadi tidak heran jika mereka selalu bersaing mendapat perlakuan istimewa dan perhatian lebih dari kakek Hermanto.Salah satu caranya yakni dengan selalu menunjukkan prestasi dan kelakuan baiknya—meski pura-pura.“Aku kira, calon dokter bedah kebanggaan keluarga Hermanto ini gak bakal berani muncul.” Sindir Rizal saat mereka tiba di teras mansion keluarga Hermanto.“Bukankah itu kata-kata untuk kamu sendiri?” Bukan Dirga yan
Malam itu, sehari sebelum sidang tesis Dirga. Wina sibuk mengatur strategi untuk mengacaukan hari penting sang majikan. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan cara yang sama seperti hancurnya sidang skripsi kakak tingkatnya.Yakni dengan cara menghilangkan seluruh soft-filenya.Namun kendalanya ialah bagaimana caranya menghapus file tersebut, sementara laptop selalu dipegang sang dokter. Sampai-sampai Wina rela rajin menguping dan mengintip Om Dokternya dari celah pintu kamar.Bahkan Wina sampai begadang demi mengawasi Dirga, mencari timing yang pas.Beberapa hari ini ia sudah mencari tahu password laptop Dirga dan dimana saja ia menyimpan file-file tesisnya. Tak hanya itu, untuk jaga-jaga, Wina juga sudah menyiapkan flashdisk cadangan mirip seperti milik tuannya.Semalam Wina hampir menyerah saat tidak menemukan celah sedikitpun untuk melancarkan aksinya. Hingga akhirnya kala hati sudah pasrah, keberuntungan datang berpihak.“Nyil, siapin sarapan! Aku mau
Seperti dejavu, perasaan Dirga kini persis seperti saat gagalnya sidang tesis waktu itu. Marah, kecewa, sedih, jadi satu. Ia marah pada sang kakek yang selalu menuntutnya sempurna dan sesuai keinginannya. Namun ia juga marah pada diri sendiri yang tidak bisa menjaga datanya sendiri.Sedikit menyesal juga kenapa pagi itu ia tak memeriksa kembali berkas-berkasnya. Andai dosen pengujinya bukan dosen killer itu, mungkin ia bisa memohon untuk maju lagi di akhir sidang.Andai saja ia tak memaksa ikut sidang bersama Sheryl.Andai kakeknya tak terlalu keras padanya.Andai,...Ting tong!Huh, ganggu orang melamun saja!Dirga bangkit dari duduknya dengan malas. Karena dari semalam sepulang dari pertemuan keluarga, ia memilih bermalas-malasan di kamar.Ia berjalan menuju pintu dengan langkah berat sembari mengumpat dalam hati. Sejujurnya ia tidak siap menerima tamu pagi ini.Cklek!Setelah pintu terbuka, moodnya semakin buruk. Duplikat Wina sang asisten berdiri tepat di depan pintu dengan pakaia
“Siang, Wina yang pin—!”“Eh, Kenapa tuh muka?” Rizal tak melanjutkan sapaanya saat melihat raut wajah Wina yang sangat lesu, plus penampilan kacau.Rasa kesal Wina yang tadi baru melakoni sebagai Wita nampaknya masih tersisa. Jadi bukannya menjawab pertanyaan sang bos, ia justru semakin memperlihatkan wajah ngenesnya. Wajahnya sudah seperti anak kecil yang hendak menangis karena keinginannya tidak dituruti.Tidak tega Wina melanjutkan tangisnya, Rizal berinisiatif mengambilkan es krim di freezer yang ada di pojok ruangan kerjanya. Setelah tahu partner-nya itu penyuka es krim, Rizal jadi ikutan menyediakan berbagai macam varian es krim.Slurp slurp slurp!Seperti sudah kebal dingin, Wina memakan es krim sangat cepat seakan takut keburu meleleh. Berharap es krim rasa matcha di mulutnya mampu menyiram kekesalan di hati.Untung saja hari ini—atas izin bossnya a.k.a Rizal—Wina boleh mulai kerja sedikit terlambat. Ya, karena Rizal sudah tahu kalau Wina sedang melakukan tugasnya sebagai ART
Saya datang agak siangan. Ada keperluan kuliahBegitulah kira-kira pesan yang dikirimkan Wita untuk sang dokter sekaligus majikan. Tidak bohong memang, karena pagi ini ia ada urusan dengan administrasi dan bayar-membayar terkait kuliah serta skripsi.Oh, ya. Karena kemarin Dirga minta nomor telepon Wita, ia terpaksa harus punya nomor baru untuk penyamaran. Meski di ponsel yang sama.Berbekal uang bonus dari Rizal dan gaji part time yang ia minta lebih awal, Wina menyeret paksa Edo untuk menemaninya ke kampus. Sebagai imbalannya, Wina akan meneraktir sarapan yang enak.“Emm, maaf nih ya. Cuma aku penasaran aja,” Edo ragu melanjutkan. Takut menyinggung perasaan sahabatnya.“Tentang duit yang buat bayar?”Edo mengangguk. Karena yang ia tahu, kondisi ekonomi sahabatnya itu sedang di ambang krisis. Sekalipun ia sudah bekerja, tidak mungkin bisa langsung dapat uang dalam waktu singkat.“Aku minta gajinya 3 minggu lebih awal.” Jawabnya jujur, namun berhasil membuat Edo tertawa karena berpik