Keesokan harinya, matahari baru saja naik di langit Paris, menerangi jendela kaca gedung Darriston Couture dengan kilau keemasan yang nyaris membutakan mata. Di lantai paling atas gedung tersebut, tepatnya di ruang kerja pribadi CEO, suasana tegang terselubung dalam keheningan pagi yang tampak biasa.Joana datang lebih pagi hari ini bersama sopir, tanpa mau menumpang di mobil Kennard. Setelah kejadian semalam, ia memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatan sekretaris pribadi CEO dan meminta dikembalikan ke divisi awalnya—Tim Desain yang dipimpin oleh Madame Clarisse. Dengan hati mantap, ia berdiri di depan meja kerja Kennard. Namun, keputusan itu justru memicu percakapan yang ia benci."Saya ingin mengundurkan diri dari posisi sekretaris pribadi Anda, Tuan Kennard."Kennard langsung menutup map di hadapannya. Tatapannya tidak terkejut, tetapi justru lebih gelap. “Apa alasannya?” sahutnya dingin, menggema ke seantero ruangan.“Saya merasa tidak nyaman bekerja terlalu deka
Langit Paris masih diselimuti malam tanpa bintang saat langkah cepat Arley, kepala pelayan senior keluarga Darriston, menggema di sepanjang lorong lantai satu mansion megah itu. Di belakangnya, seorang wanita cantik dibalut long coat cokelat muda dengan rambut dikuncir rapi mengikuti dengan tergesa-gesa. Itulah Dokter Leah Beatrix, sahabat masa kecil Kennard yang tadi dihubungi untuk menangani Joana."Tuan muda menunggu di lantai tiga, Dok," lapor Arley."Terima kasih. Tolong jangan sampai siapa pun tahu. Terlebih Nyonya Daniella. Ken tidak akan suka," sahut Leah cepat.“Baik, Dok.” Arley mengangguk sopan.Tak ada yang menyadari, di balik tembok itu berdiri Daniella yang sedang memegang gelas kosongnya, hendak ke dapur untuk mengambil minum. Kini, seringai miring pun terbit dari bibirnya. Sementara di lantai tiga, begitu pintu kamar dibuka Arley, Leah mendapati sosok Kennard yang berdiri dengan wajah panik di samping tempat tidur. Joana terbaring di atas ranjang, tidak sadarkan diri
Jam menunjukkan pukul 01.47 CEST dini hari. Namun, kamar tidur utama di lantai tiga mansion Darriston diselimuti atmosfer kegetiran. Angin malam menerobos lembut dari celah jendela balkon, menggoyangkan tirai tipis yang tergerai. Di dalamnya, Joana berdiri gelisah dengan mata sembap dan wajah yang tak bisa menyembunyikan kecemasan.Ia menggenggam ponsel putih yang tadi pagi dihadiahkan oleh Kennard. Sudah lima kali ia mencoba menghubungi suaminya. Namun, tidak aktif. Sinyal bahkan tak terdeteksi. Lalu ia mencoba menelepon Edmund, satu kontak lagi yang ia simpan selain suaminya. Akan tetapi, sama saja. Tidak bisa tersambung.Joana terduduk perlahan di tepi tempat tidur king size itu. Tangannya mencengkeram selimut broken white lembut yang terlipat rapi, seolah-olah ingin mengalihkan rasa takut yang merayap perlahan ke dalam dadanya.“Kamu di mana, Ken? Kenapa belum pulang juga?” gumamnya lirih, nyaris ingin menangis.“Tidak. Aku harus berpikiran positif. Kennard pasti sibuk dengan klie
Malam semakin larut. Langit Paris ditutupi awan tipis, tetapi lampu-lampu jalan tetap menyala terang di Distrik La Défense, tempat mansion keluarga Darriston berdiri kokoh dan mewah.Joana turun dari mobil dengan langkah pelan. Edmund membukakan pintu beranda untuknya, lalu mengangguk cepat. "Saya langsung pergi, Nyonya muda. Ada yang harus saya urus malam ini juga. Permisi," katanya sambil membungkuk sopan. Joana mengangguk pelan. "Terima kasih, Edmund. Hati-hati," ujarnya tanpa curiga. Edmund balas melempar senyum dan berlari kecil untuk kembali ke mobil, lantas segera melaju di tengah gerimis ringan yang mulai turun. Sementara itu, Joana berdiri di bawah atap beranda, memandangi daun pintu kayu besar di hadapannya.Tangannya bergerak pelan, menyentuh bibirnya sendiri. Ciuman itu masih terasa. Masih basah. Berbekas terlalu dalam di hatinya.Bibirnya berakhir gemetar. Ia menggigit pelan bibir bawahnya, lalu menunduk dalam. Rasanya ingin menangis. Akan tetapi, ia tahu, ia tak boleh
Begitu rombongan Joana pulang dari kediaman keluarga Lin, di Distrik ke-16, Kota Paris, lampu-lampu mewah di ruang makan mulai dipadamkan satu per satu. Pelayan merapikan piring-piring kosong, aroma makanan perlahan menguap. Namun, di lantai atas mansion megah itu, badai besar justru baru dimulai.Pintu kamar Alexa baru saja ditutup dengan cara dibanting keras, menggema di seantero lorong panjang. Gadis itu berjalan cepat dengan sepatu hak tinggi yang nyaris dilemparnya ke dinding. Gaun malam elegan berbelahan samping yang tadi membuatnya terlihat seperti putri raja, kini tampak berantakan. Rambutnya kusut separuh, dan riasan matanya mulai luntur oleh air mata amarah.Dengan teriakan tertahan, ia melempar vas bunga dari meja rias hingga pecah berhamburan di lantai. "Lagi-lagi perempuan kampung itu!!" raungnya sambil mencakar cermin besar di hadapannya.Alexa terengah, berdiri di tengah kamar super luasnya yang kedap suara. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, napasnya naik turun, dad
Kediaman keluarga Lin berdiri megah di Distrik ke-16 Kota Paris. Malam itu, lampu gantung kristal menyala terang dari langit-langit tinggi, menyinari seluruh ruang makan yang dipenuhi aura elegan dan formal. Meja makan panjang ditata sempurna dengan alas putih gading, porselen mahal, dan bunga segar yang dirangkai indah. Aroma hidangan khas Prancis menyelimuti ruangan, menandakan betapa seriusnya tuan rumah menjamu tamunya.Kennard hadir mengenakan setelan hitam klasik dengan dasi satin warna abu-abu gelap. Di sisi kirinya, Joana tampil sederhana, tetapi elegan, dalam balutan gaun hitam anggun dengan rambut disanggul setengah. Edmund, setia di belakang mereka, ikut hadir dengan setelan resmi, membawa sebuah map hitam kecil berisi dokumen kontrak kerja sama.Sambutan keluarga Lin terasa hangat. Aaron menyambut Kennard dengan pelukan khas ala Prancis, dan Ivana—dengan aura anggun keibuannya—menyapa Joana dengan hangat. Namun, yang paling menarik perhatian adalah Alexa. Malam itu, ia ta